Fikih Kebencanaan mungkin lebih tepat dimaknai sebagai salah satu produk pemikiran Islam kontemporer daripada perkembangan diskursus bidang Fikih secara terpisah. Selama ini Fikih dianggap telah selesai dengan mengatur persoalan muamalah, siyasah, dan ibadah. Fikih Kebencanaan tampak berada di luar jangkauan kajian fikih an sich karena dianggap dapat diselesaikan dengan hukum-hukum klasik yang mengatur tata cara ibadah di tengah kondisi darurat.
Padahal, situasi kebencanaan tidak hanya berkaitan dengan letak hukum ibadah seorang muslim di tengah situasi bencana. Terdapat situasi kompleks yang yang berelasi antara peristiwa alam dan manusia. Dalam posisi inilah, Fikih Kebencanaan bagi Muhammadiyah menjadi penting untuk dirumuskan karena berkaitan dengan persoalan teknis di lapangan yang sangat kompleks. Tidak hanya persoalan teologis tetapi juga melibatkan HAM dan sains.
Fikih Kebencanaan meletakkan secara khusus konsepsi bencana, pengelolaan situasi bencana, pemenuhan hak-hak korban bencana, dan praktik peribadahan di tengah situasi bencana ke dalam satu kompilasi. Fikih Kebencanaan dengan demikian tidak hanya mengatur bagaimana hukum ibadah dan muamalah selama kondisi bencana, tapi juga mengakomodir rekomendasi-rekomendasi perspektif sains dan sosial humaniora terkini. Konstruksi pemahaman terhadap kebencanaan inilah yang disebut sebagai Fikih Kebencanaan.
Fikih Kebencanaan yang dipahami oleh Muhammadiyah bukan sekadar pedoman tindakan praktis. Fikih bagi Muhammadiyah adalah seperangkat ketentuan Islam yang mengatur nilai dasar (al-qiyam al-asasiyah), prinsip umum (al-ushul al-kulliyyah), dan aturan hukum konkrit (al-ahkam al-far’iyyah).
Muhammadiyah merumuskan Fikih Kebencanaan sebagai hasil dari Musyawarah Nasional Tarjih ke-29 tahun 2015 di Yogyakarta. Dalam buku Fikih Kebencanaan (2015) yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid serta Lembaga Penanggulangan Bencana Pimpinan Pusat Muhammadiyah (MDMC), bencana memiliki beragam padanan istilah; musibah, bala’, fitnah, ‘azab, fasad, halak, tadmir, tamziq, iqab, dan nazilah. Bencana alam dengan demikian tidak selalu berkonotasi sebagai azab atau kemurkaan Tuhan terhadap perbuatan manusia. Bencana alam tidak dapat serta merta diinterpretasi sebagai hukuman. Bencana alam lebih baik dimaknai sebagai musibah terlebih dahulu. Kosakata musibah bermakna bahwa segala bentuk takdir kehidupan manusia merupakan ujian dan cobaan.
Mengembalikan Makna Bencana
Letak utama Fikih Kebencanaan ala Muhammadiyah yang pertama adalah mengembalikan makna konseptual bencana yang selalu dikonotasikan sebagai “hukuman Tuhan terhadap manusia”. Padahal di dalam Al-Qur’an, musibah digambarkan dan dikonspetualisasi dengan beragam cara yang berbeda.
Dalam Fikih Kebencanaan, penggunaan istilah akan sangat mempengaruhi cara manusia memaknai berbagai peristiwa. Secara luas, Islam memperkenalkan istilah musibah, berasal dari kata a-saba yang bermakna “sesuatu yang menimpa manusia” sebagai bentuk umum.
Dalam Al-Qur’an, musibah bisa berupa kejadian yang baik maupun kejadian buruk sesuai dengan persepsi manusia atas peristiwa yang menimpa dirinya. Surat Al-Baqarah ayat 155-156 menyatakan “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) Orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan: Inna lillahi wa inna ilahi raji’un”. Ayat ini memang tidak mengisahkan secara khusus untuk kondisi yang dialami oleh manusia akibat peristiwa alam. Tetapi ayat ini memberi bekal bagaimana manusia bersikap atas berbagai kejadian yang menimpa dirinya.
Musibah baik berasal dari Allah Swt, sedangkan musibah yang buruk merupakan hasil dari perbuatan manusia (Q.S. Al-Nisa ayat 79). Tindakan manusia yang mengeksploitasi lingkungan dapat berakibat buruk terhadap daya tahan ekosistem, dan menjadi merugikan bagi manusia. Musibah memang akan menimpa siapa saja.
Terdapat beragam istilah yang dekat dengan makna bencana di dalam Al-Qur’an.
- Bala’ misalnya berarti “cobaan untuk memperteguh keimanan” (Q.S. Al-A’raf, 168).
- Fitnah merujuk pada bencana sosial yang melibatkan ketegangan antar tiap manusia.
- Azab bermakna “berbagai peristiwa yang menimpa manusia karena perbuatan yang melanggar ketetapan Allah”.
- Fasad adalah bencana yang diakibatkan oleh praktik kehidupan manusia yang bertolak belakang dengan ketetapan Allah Swt. Fasad dicontohkan dengan perang, pertumpahan darah, kriminalitas, dan lain sebagainya.
- Halak merujuk pada kebinasaan dan kehancuran yang menjadi ketetapan Allah Swt.
- Tadmir adalah sifat dari sebuah peristiwa atau kejadian yang berakibat mega destruktif, bisa disebabkan oleh manusia juga oleh alam.
- Tamziq adalah kata sifat untuk berbagai peristiwa buruk yang murni disebabkan oleh manusia.
- Iqab adalah kejadian berupa hukuman disebabkan oleh sikap pengingkaran manusia terhadap Allah dan Rasul.
- Nazilah merujuk pada bencana sebagai hukuman yang diturunkan dari Allah terhadap manusia.
Berbagai istilah yang digunakan secara bergantian untuk menggambarkan “segala sesuatu yang menimpa manusia” menjadi sangat penting bagi pengetahuan dasar tentang Fikih Kebencanaan.
Pemahaman konsepsional ini penting karena berkaitan dengan bagaimana seseorang membingkai peristiwa, baik sebagai seseorang yang terdampak langsung (insider) atau tidak langsung (outsider). Pembingkaian persepsi akan mempengaruhi kesadaran kemanusiaan seseorang. Apakah mereka akan berempati atau justru antipati. Model komunikasi sosial berplatform digital akan menunjukkan bagaimana pengaruh persepsi seperti ini akan menciptakan wacana yang konstruktif atau sebaliknya.
Apakah setiap orang akan terdorong untuk menggiatkan pengetahuan dan tindakan yang semakin pro-ekologi atau justru menganggap bahwa peristiwa alam sebagai hukuman Tuhan yang tidak dapat direspon. Dampak pemahaman konseptual terhadap musibah memiliki pengaruh terhadap pemaknaan manusia.
Fikih Multisipilin
Sebagaimana disebutkan bahwa Fikih Kebencanaan ala Muhammadiyah merupakan produk pemikiran Islam. Alasan utamanya adalah karena dalam pemikiran fikih ini, ilmu sains dan sosial-humaniora berhasil diintegrasi dengan ajaran Islam. Karakter utama fikih an-sich adalah berpegang pada warisan khasanah kognitif ulama klasik. Mereka adalah intelektual Islam yang sukses memformalisasi hukum Islam. Tentu saja pekerjaan semacam itu bukan berarti bahwa fikih tidak dapat dikembangkan atau diperluas.
Fikih Kebencanaan adalah contoh lain dari praktik formalisasi dengan pemanfaatan instrumen ilmu pengetahuan sains dan humaniora yang berupaya memperluas kemungkinan manfaat ilmu ini di ruang publik kontemporer.
Di sinilah letak keberhasilan Fikih Kebencanaan, meletakkan dampak peristiwa alam terhadap manusia dengan ajaran keagamaan atas situasi tersebut. Keberasilan mengkontekstualisasi hal semacam ini tidak mudah. Dibutuhkan kesungguhan dan upaya keras untuk mengatasi problem-problem yang selalu menjadi momok eksperimen integrasi Islam dan situasi kontemporer terutama dalam bidang fikih.
Spirit Neo-Filantropi
Fikih Kebencanaan ala Muhammadiyah lahir dari pergulatan lanjutan spirit neo-filantropi. Produk Fikih Kebencanaan ala Muhammadiyah didahului oleh proses panjang praktik kerelawanan dalam berbagai peristiwa sosial, politik, dan ekologi. Dapat dianggap titik kulminasinya terjadi pada tahun 2007 saat Muhammadiyah membentuk secara resmi lembaga penanggulangan bencana (disingkat dalam akronim Inggris MDMC).
Fikih Kebencanaan adalah sumbangan kognitif Muhammadiyah selama sewindu terlibat dengan berbagai dampak peristiwa alam di Indonesia, menempatkan produk pemikiran ini sebagai bagian utuh dari proses praktik di lapangan dan refleksi teologis aktivis Muhammadiyah.
Fikih kebencanaan telah menjadi sumbangan Islam Indonesia terhadap dunia. Ketika diterbitkan ke dalam Bahasa Inggris dengan judul Coping With Disaster: Principle Guidance from an Islamic Perspective” pada tahun 2016, buku ini telah dibawa ke ajang World Humanitarian Summit yang diadakan PBB di Turki.