Report

Fikih Muhammadiyah, Apa Bedanya dengan yang Lain?

3 Mins read

IBTimes.ID – Ketika Muhammadiyah memutuskan untuk tidak berafiliasi pada mazhab tertentu, gosip pun berkembang. Dari yang menyatakan keputusan tersebut benar-benar ahistoris, sampai dituduh melakukan diskontinuitas ilmu pengetahuan lantaran dianggap mengabaikan turats. Gerakan Islam modernis yang memiliki jargon kembali ke al-Quran dan al-Sunah ini digosipkan melakukan pemutusan dengan tradisi keilmuan klasik Islam yang begitu kaya.

Kalau kita menarik ke belakang di generasi para Sahabat Nabi, definisi fikih tidak berkutat pada persoalan-persoalan hukum, melainkan “deep understanding” atau pemahaman yang mendalam terhadap suatu persoalan. Setelah berakhirnya masa Sahabat, definisi fikih ini dipersempit oleh Imam Abu Hanifah. Walau pendiri mazhab Hanafi ini tidak meninggalkan karya tulis mengenai pandangan-pandangan hukum, hanya saja terdapat risalah-risalah kecil yang dinisbatkan kepadanya seperti al-Fiqh al-Akbar. Dalam risalah tersebut, term fikih menyempit untuk urusan-urusan teologi atau ilmu kalam.

Setelah era Abu Hanifah, definisi fikih dirombak lagi secara radikal oleh Imam Syafi’i menjadi terbatas pada pengetahuan tentang aspek-aspek hukum Islam. Pada masa penulis kitab al-Risalah dan al-Umm ini, fikih diartikan sebagai suatu ilmu tentang hukum Islam (furuʻiyyah) yang diperoleh melalui penalaran atau istidlal dari ayat-ayat dan hadis-hadis yang mendetail (tafshili). Sementara itu, fikih Pasca-Imam Syafi’i dan mungkin masih dipahami oleh sebagian umat Islam sampai sekarang, dideskripsikan sebagai produk kumpulan hukum yang terdiri dari penjelasan tambahan (syarh), catatan pinggir (hasyiyah), komentar-komentar (ta’liqat) dan tidak jarang merupakan replika.

Lalu di manakah posisi term fikih Muhammadiyah? Kalau kita membaca produk-produk Fikih yang telah diterbitkan Majelis Tarjih seperti Fikih Kebencanaan, term fikih tidak hanya berkutat untuk urusan teologis sebagaimana era Abu Hanifah; tidak juga terbatas pada aspek furu’iyyah seperti era Imam Syafi’i; dan bukan pula dipahami sebagai syarh, hasyiyah, dan ta’liqat layaknya era Pasca-Imam Syafi’i.

Baca Juga  Haedar Nashir: Muhammadiyah Selalu Proaktif Memecahkan Masalah Bangsa

Pengertian fikih dalam Muhammadiyah dikembalikan ke makna awal di mana para Sahabat memaknainya sebagai “pemahaman yang mendalam” terhadap suatu persoalan. Dengan demikian, tidak benar jika Muhammadiyah secara sporadis melakukan diskontinuitas atau pemutusan total dengan latar sejarah masa lalu.

Metode Fikih Muhammadiyah

Dalam diskusi online diseminasi materi Munas Tarjih Muhammadiyah XXXI dijelaskan bahwa fikih Muhammadiyah merupakan tafsiran kreatif (reinterpretation) atas terminologi fikih dengan mengembalikan ke makna literalnya, kemudian merekonstruksi pemahaman baru dengan mengandaikan norma-norma berjenjang sebagai bangunan fikihnya (metode asumsi hirarkis) dan memasukkan berbagai dalil yang berkaitan dengan suatu persoalan sebagai basis legitimasinya (metode asumsi integralistik).

Hal di atas termaktub Manhaj Tarjih Muhammadiyah yang menyebutkan bahwa Fikih Muhammadiyah dibangun dengan dua metode, yaitu: metode asumsi integralistik, dan metode asumsi hierarkis. Pertama, metode asumsi integralistik merupakan kumpulan dalil-dalil baik yang berkaitan langsung maupun yang tidak langsung tentang suatu persoalan kemudian dikoroborasikan. Contoh sederhana tentang hukum musik. Diperlukan untuk mengumpulkan berbagai dalil baik yang terdapat dalam al-Quran maupun al-Sunah dan baik yang berkaitan langsung maupun tidak langsung tentang musik.

Kedua, metode asumsi hirarkis adalah suatu anggapan bahwa norma itu berlapis dari norma yang paling bawah hingga norma paling atas. Apabila lapisan norma tersebut dilihat dari atas ke bawah maka lapisan norma pertama ialah nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah), kemudian prinsip-prinsip umum (al-ushul al-kulliyah), dan lapisan paling bawah ketentuan hukum praktis (al-ahkam al-far’iyyah).

Genealogi Metode Fikih

Dalam diskusi tersebut ditegaskan bahwa kerangka metode Fikih Muhammadiyah tidak berangkat dari ruang hampa. Secara genealogi, metode yang digunakan Fikih Muhammadiyah merupakan pengembangan dari metode istiqra ma’nawi milik Imam al-Syatibi dan teori hirarki hukum milik Hans Kelsen. Majelis Tarjih sebagai penggagas penyusunan Fikih Muhammadiyah tidak dapat memungkiri bahwa kelahiran metode tersebut berasal dari berbagai sumber. Namun akar utamanya berasal dari Imam al-Syatibi dan Hans Kelsen.

Baca Juga  Islamofobia dan Tren Ateisme Baru di Dunia

Metode asumsi integralistik dan asumsi hirarkis telah melahirkan beragam putusan tarjih. Seperti Fikih Tata Kelola, Fikih Air, Fikih Kebencanaan, Fikih Perlindungan Anak dan lain-lain. Memang isinya terlalu berat karena tendisi filosofis-teoritis dan sedikit yang praktis-aplikatif. Namun justru dari sana terdapat keuntungan yang semakin menunjukkan bahwa konsep Fikih Muhammadiyah benar-benar berkemajuan.

Jika biasanya fikih secara umum terlalu banyak memuat isu-isu praktis-kasuistik, Fikih Muhammadiyah memuat tuntunan dan pedoman yang dapat digunakan dalam berbagai kondisi ruang dan waktu. Apa yang sedang dibangun dalam Fikih Muhammadiyah sebenarnya mengikuti jejak para ulama klasik yaitu merancang bangunan kaidah-kaidah fikih (qawaid al-fiqhiyyah) untuk kemudian digunakan sebagai respon terhadap kasus-kasus yang berkembang di masa depan.

Misalnya salah satu produk Majelis Tarjih yaitu Fikih Air, disusun bukan berdasarkan kasus-kasus detail. Melainkan dibangun atas fondasi-fondasi tuntunan dan pedoman. Hal ini berguna untuk merespon hal-hal yang bersifat praktis secara fleksibel karena landasannya telah dibangun terlebih dahulu. Hal ini juga membuat Fikih Air tidak hanya berhenti pada kasus tertentu tapi akan selalu berkembang karena masalah air itu terus bergulir. Kalau sekiranya Fikih Air dibangun atas persoalan kasuistik, isinya tidak akan terus aktual karena terpenjara pada situasi ruang dan waktu tertentu.

Pada hari ini, kita menyaksikan bahwa term ‘fikih’ di Muhammadiyah tidak lagi berkutat pada diskusi panas soal halal-haram. Namun menjadi seperangkat pedoman dan tuntunan yang dihiasi dengan nilai-nilai filosofis dan ketentuan praktis. Logika biner hitam-putih sekarang tidak lagi terlalu digunakan dalam konsep Fikih Muhammadiyah yang baru.

Reporter : Yusuf

Avatar
1341 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Report

Haedar Nashir: dari Sosiolog Menjadi Begawan Moderasi

2 Mins read
IBTimes.ID – Perjalanan Haedar Nashir sebagai seorang mahasiswa S2 dan S3 Sosiologi Universitas Gadjah Mada hingga beliau menulis pidato Guru Besar Sosiologi…
Report

Siti Ruhaini Dzuhayatin: Haedar Nashir adalah Sosok yang Moderat

1 Mins read
IBTimes.ID – Siti Ruhaini Dzuhayatin Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyebut, bahwa Haedar Nashir adalah sosok yang moderat. Hal itu terlihat…
Report

Hamim Ilyas: Islam Rahmatan Lil Alamin Tidak Sebatas Jargon

1 Mins read
IBTimes.ID – Hamim Ilyas Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan, Islam Rahmatan Lil Alamin harusnya tidak sebatas jargon belaka,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *