Muhammadiyah–Tulisan ini berisi curhatan atau kekecewaan tidak begitu jelas. Sebab dua hal tersebut tercampur aduk dalam pikiran saya. Tulisan ini bisa memantik kemarahan pihak-pihak tertentu yang berpikir sempit. Dapat juga memicu diskusi ke arah yang lebih serius.
Berawal dari surat edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang Tuntunan dan Panduan Menghadapi Pandemi dan Dampak COVID-19. Disusul infografis yang menjelaskan isinya. Bagi saya, isinya menjadi tidak sesuai dengan spirit Muhammadiyah COVID-19 Command Center (MCCC) yang dengan tegas menyatakan dengan tegas “MENOLAK BERDAMAI DENGAN COVID-19”.
Dalam Surat Edaran No 5 Tahun 2020 tersebut terdapat kontradiksi dengan Surat Edaran No 2 dan No 3 Tahun 2020 sebelumnya yang menghimbau warga Muhammadiyah untuk menyelenggarakan ibadah di rumah. Kontradiksi tersebut seolah-olah Muhammadiyah mengizinkan kembali warganya shalat berjamaah di masjid.
Protokol kesehatan mengatur jarak saf, menggunakan masker, dan sebagainya tersebut, sebenarnya hal yang dikritik Muhammadiyah pada saat Surat Edaran No 2 dan No 3 dikeluarkan. Namun, sangat disayangkan pada Surat Edaran No 5 hal tersebut diberi legitimasi. Padahal MCCC masih kekeh menolak berdamai dengan COVID-19.
Fatwa dan Problem Psikologis
Akhirnya yang konsisten menjalankan fatwa ibadah di rumah saat ini hanya orang Salafi. Bagi pengikut s=Salafi, selama fatwa belum dicabut untuk beribadah di masjid, mereka masih konsisten di rumah.
Sementara Muhammadiyah, seperti malu-malu, kembali membuka masjid. Slogan masjid menjadi pelopor melawan COVID-19 sudah luntur. Paling tidak kontradiktif dalam kebijakan.
Memang sebuah perubahan membawa dampak dan guncangan psikologis. Tajdid (pembaruan) membutuhkan mental yang kuat. Berbeda dengan yang lain ternyata berat. Muhammadiyah seperti kehabisan energi untuk tegar membawa perubahan.
Memang benar kerinduan kepada masjid sangat kuat. Menjauhi masjid membawa guncangan dan tekanan keyakinan dan iman yang amat dahsyat. Tapi berlaku konsisten dengan memperjuangkan pembaruan butuh mental.
Saya jadi amat paham bagaimana penderitaan KH. Ahmad Dahlan pada waktu membawa paham agama yang melawan arus. Bagaimana tekanan batin, psikologis, bahkan ancaman fisik dirasakan beliau. Sementara yang dirasakan Muhammadiyah saat ini amatlah kecil. Hanya seujung jari kelingking.
Bayangkan saja beberapa pengurus Muhammadiyah masih was-was karena meninggalkan shalat Jumat lebih dari tiga kali. Mereka masih beranggapan kafir. Dosa besar.
Padahal yang dilakukan Muhammadiyah bukan meninggalkan shalat Jumat, melainkan mengganti shalat Jumat dengan shalat Zuhur. Jadi guncangan psikologis karena menjalankan komitmen beragama yang berbeda memang berat. Itulah ranah jihad.
Dahulu KH. Ahmad Dahlan karena mempertahankan prinsip, Langgar Kidul sampai dirobohkan. Saya selalu menangis melihat adegan itu. Karena yang terjadi saat ini, Muhammadiyah tidak sampai seperti itu.
Saat ini Muhammadiyah sudah terlalu nyaman. Sehingga tidak berani menerima, bahkan mendengar kritik dan keluh kesah.
Tidak Ada yang Baru
Dalam Surat Edaran No 5 Tahun 2020, tidak ada yang baru. Saya membayangkan fatwa tarjih terkait ibadah di tengah pandemi benar-benar baru dan dapat menjadi contoh yang lain. Apa yang dilakukan KH. Wawan Gunawan Abdul Wahid dengan mencontohkan ibadah melalui ruang virtual shalat Jumat dan Idulfitri adalah yang paling relevan di tengah pandemi saat ini.
Dalam dialog pribadi, beliau dengan tegas mengatakan bahwa ibadah di ruang virtual sebenarnya bukan hal yang baru. Hal tersebut sudah pernah dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu. Itupun dilakukan bukan tanpa dalil. Semua bersumber dari nash-nash yang kuat.
Di sinilah Muhammadiyah perlu merenungkan kembali istilah berjamaah dan masjid. Definisi berjamaah bukan berarti harus dilakukan bersama-sama dalam sebuah ruang. Berjamaah bisa dilakukan bersama-sama di ruang yang berbeda.
Saya membayangkan masjid-masjid besar Muhammadiyah memberikan contoh. Menyelenggarakan ibadah berjamaah di ruang virtual. Imam di-shooting dan disiarkan ke seluruh jamaah masjid. Sehingga jamaah dapat mengikutinya di rumah masing-masing.
Begitu juga masjid. Bukan hanya menunjukkan sebuah tempat ibadah. Namun, ruang yang dapat digunakan untuk beribadah dapat menjadi masjid.
Definisi jamaah juga berubah. Di era sekarang jamaah adalah para subscribers yang setia menunggu konten baru dalam sebuah channel. Perluasan makna seperti ini menjadi isyarat bahwa ada perubahan baru menuju fikih new normal.
Sebentar lagi akan memasuki Idul Qurban, akankah Muhammadiyah memberikan kebaruan lagi? Atau melegitimasi hal biasa yang berisiko. Wallahu’alam bishawab.