Dalam menyambut momentum Satu Abad NU yang akan jatuh pada 16 Rajab 1444 H atau awal Februari 2023, PBNU menggelar serangkaian kegiatan yang menyentuh persoalan riil keumatan. Dalam menyonsong Satu Abad ini, NU menggulirkan tema “Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Satu Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru”. Tema ini menegaskan bahwa peringatan satu abad tersebut dapat menjadi momentum kebangkitan baru bagi NU untuk merespons tatanan dunia baru segala global.
Salah satu agenda besar dalam mensukseskan perayaan satu abad NU ini adalah dengan melaksanakan Halaqah Fikih Peradaban. Forum-forum halaqah fikih peradaban telah dilaksanakan di banyak pesantren sejak beberapa bulan yang lalu hingga pada Januari 2023 mendatang.
Acara ini secara masif dilaksakan di lebih dari 300 titik di seluruh Indonesia. Meski diadakan di pesantren, halaqah fikih peradaban mencoba mengangkat isu-isu global atau problem-problem riil di tingkat internasional.
Forum halaqah ini sebetulnya merupakan agenda yang digelar sebagai rangkaian acara untuk menyambut perhelatan Muktamar Internasional Fikih Peradaban yang akan dilaksanakan pada bulan Februari 2023. Acara ini juga akan dihadiri oleh ratusan ulama dari berbagai negara di dunia.
Fikih Peradaban sebagai Solusi
Secara definitif, fikih peradaban dapat dipahami sebagai penggalian terhadap produk hukum Islam yang disertai dengan usaha manusia –melalui kemampuan intelektualnya– yang diproyeksikan untuk merespons segala keadaan zaman. Sehingga peradaban dapat dibangun berdasarkan nilai-nilai yang dimotivasi oleh Islam.
Ini bukan berarti fikih peradaban ingin mengubah dunia sesuai dengan tatanan Islam. Tetapi lebih pada menjadikan Islam sebagai solusi bagi dunia. Alih-alih ingin membangun tatanan dunia baru yang sesuai dengan ajaran Islam, fikih peradaban ingin agar Islam dapat memiliki dampak dan memberi solusi bagi masalah-masalah global.
Latar belakang munculnya gagasan halaqah fikih peradaban ini tidak bisa dilepaskan dari ide-ide yang telah mendahuluinya. Ketika dilaksanakan Muktamar NU di Krapyak Yogyakarta pada tahun 80-an, Gus Dur telah memproyeksikan agenda rekontekstualisasi kitab kuning. Ide ini merupakan usaha untuk meneguhkan pribumisasi Islam yang digagas sendiri oleh Gus Dur.
Menurut Gus Dur, pembaruan Islam haruslah dimulai dari tradisi, dan itu harus dilakukan melalui tradisi kitab kuning. Gagasan rekontekstualisasi kitab kuning yang digulirkan Gus Dur kala itu adalah cara NU merespons realitas melalui tradisi pesantren. Yakni melakukan pembacaan kontekstual terhadap kitab kuning. Sehingga antara isi kitab dan realitas memiliki kesinambungan dan relevansi. Dengan hal itu, kita diharapkan dapat merumuskan nilai-nilai instrumental dalam menghadapi tatangan zaman yang terus berubah.
Gagasan rekontekstualisasi kitab kuning dalam payung pribumisasi Islam ini di kemudian hari makin diperkuat oleh gagasan Islam Nusantara yang digulirkan secara revolusiner oleh KH. Said Aqil Siradj.
Meski berbeda secara nomenklatur, ide pribumisasi Islam dan Islam Nusantara sejatinya memiliki basis ideologis dan kultural yang sama. Yakni meneguhkan Islam yang khas Indonesia, Islam yang cocok dengan budaya Nusantara. Bukan bermaksud menghapus Islam ala Arab, tetapi justru memerkaya dimensi Islam yang disesuaikan dengan tempat dan zamannya.
Baik pribumisasi Islam ala Gus Dur maupun Islam Nusantara ala Kyai Said sama-sama memberikan basis teoritis yang sangat kuat untuk meneguhkan Islam yang khas Indonesia. Tujuan kedua gagasan ini tidak lain agar dapat merespons problem-problem aktual yang dihadapi umat Islam Indonesia, baik dalam merepsons masalah politik, ekonomi, budaya, maupun pendidikan.
Sebab, problem keumatan yang dihadapi oleh umat Islam Indonesia sangat berbeda dengan apa yang dihadapi oleh umat Islam di belahan dunia yang lain, termasuk di Timur Tengah.
Melalui dua gagasan keislaman di atas, Gus Yahya selaku ketua PBNU melakukan sebuah sintesis yang sangat brilian dengan mencanangkan gagasan fikih peradaban. Latar belakang lahirnya gagasan fikih peradaban sejatinya bukan hanya berasal dari kebutuhan NU dalam merespons realitas kekinian. Tetapi sesungguhnya merupakan kelanjutan dari ide pribumisasi Islam Gus Dur dan Islam Nusantara.
Hal ini diperkuat dengan misi Gus Yahya sejak terpilih sebagai ketum PBNU. Beliau secara jelas ingin menghidupkan kembali gagasan keislaman yang telah dimulai sejak Gus Dur dan juga makin memperkuat dimensi Islam Nusantara.
Ulil Abshar Abdalah (Gus Ulil) selaku ketua panitia halaqah fikih peradaban juga menuturkan bahwa fikih peradaban (fiqhul hadharah) merupakan fase lanjutan dari Islam Nusantara. Menurut beliau, fikih peradaban dengan Islam Nusantara tidak terdapat kontradiksi. Keduanya sama-sama meneguhkan identitas terhadap praktik keislaman yang berkembang di kawasan Nusantara.
Bedanya, bila Islam Nusantara bertitik tolak pada tradisi dan khazanah kenusantaraan, maka fikih peradaban ingin membawa dimensi lokalitas dari gagasan Islam Nusantara itu ke kancah internasional. Tujuan utamanya supaya Islam Indonesia dapat merespons isu-isu global yang berkembang di seluruh dunia.
Respons-respons itu merupakan bentuk keterlibatan NU dan kontribusi umat Islam Indonesia dalam menyelesaikan masalah-masalah global yang dihadapi bersama. Sederhananya, fikih peradaban merupakan fase baru dalam memperjuangkan model Islam ala Indonesia untuk ikut serta dalam percakapan-percakapan global.
Usaha NU Mengatasi Masalah Global
Sebagaimana umum diketahui bahwa globalisasi bukan hanya memberikan dampak yang positif bagi umat manusia. Tetapi ia juga memiliki sisi-sisi negatif yang dapat merusak dan mengancam keberlangsungan hidup umat manusia.
Misalnya, konflik politik antar negara, krisis ekonomi, maraknya pengungsi, kasus terorisme, kemiskinan akut, krisis perubahan iklim yang semakin meningkat, pelanggaran terhadap HAM, malnutrisi, penyakit, dan virus yang meluas. Semua ini merupakan masalah-masalah global yang dapat mengancam keberlangsungan hidup manusia.
Globalisasi sejatinya ingin menjadikan umat manusia menjadi satu kesatuan sebagai warga dunia, yang sekaligus juga dapat menyelesaikan masalah secara bersama-sama. Tetapi mengapa hasilnya justru terbelah dengan berbagai persoalan yang seolah mustahil dihadapi. Mengapa globalisasi lebih terasa sebagai suatu ancaman ketimbang solusi?
Apakah globalisasi semengerikan itu? Lalu di mana posisi umat Islam? bagaimana umat Islam dapat merespons isu-isu global itu? Apakah Islam dapat menjadi solusi bagi dunia? Pada titik inilah fikih peradaban ingin ikut andil dalam memberikan kontribusi pada masalah-masalah global yang menjadi problem seluruh umat manusia.
Selain itu, keadaan yang juga sering menjadi keprihatinan NU dan segenap intelektual muslim tanah air bahwa hingga saat ini warga muslim yang hidup di kawasan Melayu keberadaannya belum diperhitungkan dalam percakapan global. Pemikiran-pemikiran yang lahir dari Indonesia, baik dalam konteks Islam maupun lainnya, belum bisa menyentuh dan mewarnai diskurus global. Melihat realitas ini, NU berkesadaran untuk dapat membawa ide-ide lokal bisa masuk ke kancah internasional.
Tapi persoalan lanjutan yang tidak kalah pentingnya, bagaimana persisnya NU merespons semua problem internasional itu? Apakah NU memiliki cukup kekuatan dan sumber daya untuk andil di dalamnya? Pertanyan-pertanyaan ini tentu tidak mudah dijawab, tetapi juga bukan sesuatu yang mustahil untuk dilakukan.
Itulah kiranya, fikih peradaban diproyeksikan sebagai usaha untuk merespons tata dunia baru secara riil. Yakni dunia yang tidak hanya mencita-citakan kemajuan dan perdamaian, tetapi juga sekaligus dunia yang sedang mengalami sakit.
Tentu fikih peradaban belum bisa disebut sebagai solusi. Tetapi usaha-usaha yang sejauh ini dilakukan secara bersama-sama, baik yang dilakukan oleh NU maupun ormas-ormas lain seperti Muhammadiyah dengan gagasan briliannya ‘Islam Berkemajuan’ adalah sebuah usaha untuk ikut andil dan lebih dekat pada solusi-solusi yang lebih nyata.
Editor: Yusuf