Tajdida

Fikih Tata Kelola Zakat (1): Urgensi bagi Muhammadiyah

4 Mins read

Para pimpinan Muhammadiyah di pelbagai tingkatan baik pusat, wilayah dan daerah serta cabang/ranting sejak awal berdirinya organisasi ini menjadikan zakat sebagai salah satu sandaran dalam menghidupkan roda organisasi, khususnya untuk mengakselerasi aksi-aksi layanan. Zakat dipandang bukan hanya karena kedudukannya menjadi salah satu rukun Islam, dan bukan hanya karena menjalankannya adalah ibadah. Tetapi juga karena dampak dan manfaat sosial-ekonomi zakat sangat besar untuk kemaslahatan umat Islam dan kemanusiaan.

Dalam rangka memperkuat dampaknya, maka pelaksanaan kewajiban berzakat memerlukan perangkat metodologi yang kuat, instrumen operasional yang jelas, serta starategi yang tepat. Salah satu kelemahan yang kerap dihadapi dan terjadi dalam kalangan masyarakat Muslim saat ini adalah upaya untuk mengimplementasi kekuatan doktrin agama kerap tidak diiringi dengan metodologi dan strategi yang tepat. Dengan kata lain, pelaksanaan zakat sebagaimana pelaksanaan ibadah yang lain, memerlukan perangkat metodologi yang lain.  

Terdapat beberapa hal pokok yang harus menjadi perhatian Muhammadiyah, yaitu: 1) Bagaimana tatakelola zakat yang ingin diimajinasikan oleh Muhammadiyah? 2) Apakah Muhammadiyah memiliki cita-cita besar dengan dana zakat? 3) Bagaimana model tatakelola zakat yang ingin dibangun di masa akan datang?

Tiga pertanyaan di atas tentunya bukan terkait dengan masalah kewajiban zakat sebagai bagian dari rukun Islam yang harus dipenuhi oleh setiap individu Muslim, tidak terkecuali warga Persyarikatan Muhammadiyah. Melainkan tentang ‘Fikih Tata Kelola Zakat’, yaitu bagaimana warga persyarikatan membentuk dan memperkuat lembaga pengelola zakat, mengimplementasikan regulasi zakat, dan merumuskan cita-cita sosial yang diinginkan dari pemanfaatan dana-dana zakat.

Ideologi Kesejahteraan Muhammadiyah

Beberapa tahun lalu, tepatnya tahun 2010, saya menerbitkan sebuah buku dengan judul Melayani Umat: Filantropi Islam dan Ideologi Kesejahteraan Muhammadiyah. Pada prinsipnya, dalam buku tersebut saya ingin menekankan bahwa kesejahteraan dan aktivisme filantropi sudah menjadi ‘ideologi’ Muhammadiyah.

Di dalam buku tersebut saya memuat banyak pernyataan gagasan dari para tokoh Muhammadiyah maupun hasil kebijakan organisasi. Arahnya adalah mendorong terwujudnya kemasalahatan umat. Namun belakangan, saya berfikir ulang, bahwa ternyata  relasi filantropi dan perubahan sosial bukanlah masalah ‘ideologi kebaikan’ ataupun masalah ‘ketaatan spiritual’ semata. Melainkan juga tentang strategi, inovasi dan manajemen perubahan. 

Baca Juga  Tringulasi Dakwah Muhammadiyah

Ideologi saja ternyata tidak cukup untuk menjawab kebutuhan untuk mewujudkan masyarakat Islam yang “sebenar-benarnya” dan sekaligus sebaik-baiknya. Di dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa kaum mu’minin juga diberi kehormatan dengan diberikan gelar khairu ummah (umat yang terbaik) yang menjalankan amar makruf (memerintahkan kebaikan) dan nahi munkar (melarang kemunkaran).

Saya ingin menekankan bahwa pengelolaan zakat ada kaitannya dengan good ummah governance. Prinsip yang juga disemangati oleh konsep-konsep modern seperti transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi dan kewajaran.

Filantropi ala Kiai Dahlan

Gerakan filantropi mencakup di dalamnya adalah pengelolaan zakat. Meskipun secara filosofis, istilah ‘filantropi’ berbeda dengan zakat. Aksi filantropi dapat dimotivasi oleh berbagai sebab, dan setiap kebudayaan atau peradaban memiliki alasan dan cara pandang dunia yang berbeda. Aksi filantropi bisa berasal dari rasa cinta, sebagai bentuk kasih sayang, sebagai ekspresi rasa kasihan, atau boleh jadi karena solidaritas.

Makna umum filantropi bila disepadankan kepada perbuatan baik atau shadaqah.  Namun, di dalam al-Qur’an, istilah shadaqah juga dapat bermakna zakat. Artinya menunaikan zakat adalah bagian dari ekspresi shadaqah tetapi secara teknis zakat adalah bentuk kewajiban individual seorang Mukmin dan ditunaikan sebagai bentuk kepatuhan kepada perintah Allah Swt. 

Karena itulah, zakat menjadi bagian dari rukun Islam. Ibadah yang bila tidak ditunaikan menjadi dosa, atau bila ditunaikan dengan cara yang kurang baik dan tidak benar maka kesempurnaan zakat sebagai bentuk ibadah menjadi kurang sempurna. Namun perlu dicatat bahwa, seperti halnya shalat, zakat juga banyak fikihnya. Bahkan para ulama telah menulis banyak kitab yang secara khusus membahas tentang zakat.

Para ulama banyak mengaitkan semangat dari pelaksanaan salat yang bisa menghindari seseorang dari perbuatan buruk dan keji. Tidak sedikit juga saat ini yang mendekati fikih zakat dari semangatnya, seperti keadilan.

Baca Juga  Muhammadiyah versus Salafi

Ahmad Dahlan dikenal sebagai seorang aktivis Muslim yang memiliki komitmen sosial yang kuat, khususnya dalam membantu fakir miskin. Ia pernah memerintahkan murid-muridnya untuk mencari orang miskin dan menemukan anak-anak terlantar untuk dimandikan, diberikan pakaian yang bersih, dan diberi makan yang layak. Itulah aktivitas filantropi yang hingga saat ini masih menjadi trend dalam Persyarikatan Muhammadiyah.

Namun, tidak banyak narasi khusus yang dibangun tentang zakat dalam persyarikatan Muhammadiyah. Karena itu, penting kiranya untuk dilihat kapan zakat menjadi perhatian Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi.

Sekilas Pengelolaan Zakat di Muhammadiyah

Pengelolaan zakat fitrah nampaknya menjadi salah satu yang dilembagakan dalam bentuk kepanitian. Biasanya, dalam praktik membayar fitrah, sebagian kaun Muslim juga menunaikan zakat harta (mâl) atau bahkan mendonasikan infak/sedekah mereka.

Salah satu bukti bahwa pengelolaan ‘dana sosial’ dalam Muhammadiyah sudah mulai terorganisir sejak masa awal lahirnya Persyarikatan adalah ketika terjadi bencana alam. Bukti selanjutnya adalah ketika Persyarikatan mulai ekspansi dengan mebangun amal usaha para periode awal. Digambarkan Amelia Fauzia bahwa Oetoesan Hindia memberitakan bahwa pada bulan Juli tahun 1919, Muhammadiyah berhasil mengumpulkan dana sebesar ƒ. 5.067.13 (2013: 151) untuk bantuan becana alam. 

Dalam Profil Satu Abad Muhammadiyah disebutkan bahwa antara tahun 1900-1910 terdapat empat peristiwa penting, yaitu: 1) dibentuknya panitia zakat yang pertama; 2) panitia Qurban pertama; 3) pembangunan metode hisab; 4) dirobohkannya ‘Surau Kyai Dahlan’. Bila betul adanya demikian, maka bisa diklaim bahwa sebelum Muhammadiyah berdiri, Ahmad Dahlan sudah pernah membentuk panita pengelola zakat.

Sayangnya tidak ada penjelasan historis lanjutan terkait narasi tersebut di atas (2010: 59). Dokumen resmi dan produk intelektual yang diproduksi Muhammadiyah terkait dengan zakat tentunya adalah HimpunanPutusan Majelis Tarjih, yang salah satu babnya membahas masalah zakat. Produk kedua adalah Al-Amwal fi al-Islam, hasil Muktamar Tarjih ke-20 di Garut Jawa Barat tahun 1978 yang juga merupakan ‘penjelasan operasional’ dari hasil Putusan Tarjih.  

Baca Juga  Beberapa Penyebab Muhammadiyah Dianggap Anti Budaya

Pengurus Besar Muhammadiyah juga pernah mengeluarkan seruan khusus tentang penggalangan dana zakat atau anjuran untuk menggalang dana zakat. Hasil Sidang Majelis Tarjih ke-1 pada 21-26 Desember 1950 yang merupakan revisi dari Sidang Tarjih Darurat 25-27 September 1942 menyerukan agar pimpinan atau mengurus Muhammadiyah dapat mendata anggota Muhammadiyah dan mengklasifikasikan siapa yang mampu membayar zakat dan siapa yang tidak mampu.

Artinya, seruan ini menunjukkan bahwa pada waktu itu, sebelum Indonesia merdeka, pimpinan Muhammadiyah sudah memiliki kepedulian tentang ‘big data’ dalam rangka mensyiarkan Islam dan menggalang dana zakat (Latief 2017: 99).

Informasi-informasi tentang pengelolaan zakat dalam Persyarikatan Muhammadiyah masa lalu barangkali juga bisa didapat dalam Soeara Moehammadijah, yang belum diungkap dalam tulisan ini.

Pedoman Pelaksanaan Zakat

Perlu dicatat bahwa sebetulnya Muhammadiyah sudah memiliki pedoman pelaksanaan zakat. Pedoman itu dirumuskan dalam bagian akhir dari al-Amwal fi al-Islam, satu produk Majelis Tarjih yang sangat penting. Di dalamnya dimuat berbagai hal terkait teknis pelaksanaan zakat. Mulai dari makna atau fungsi zakat, jenis-jenis harta yang dizakati, pembagian zakat, dan beberapa aspek lainnya.

Sebagaimana dinyatakan dalam al-Amwal fi al-Islam, “Pedoman Zakat” ini disusun dengan dasar agar “mudah diamalkan dan dilaksanakannya terutama dari segi tertib adminsitrasinya” (1978: 22).

Justru yang hilang atau sama sekali tidak disinggung di dalam Himpunan Putusan Tarjih maupun al-Amwal fi al-Islam adalah bagaimana caranya membayar zakat? Ke mana zakat harus dibayarkan? Dan siapa yang berhak mengelola zakat? Juga apakah pembayaran zakat tidak menjadi bagian dari kajian fikih Islam? Apakah amil zakat tidak menjadi bagian dari kajian fikih Islam? Mengapa amil tidak banyak dibahas dalam dua dokumen hasil Majelis Tarjih tersebut? (Bersambung)

Catatan:
Makalah pernah Disampaikan dalam Sidah Tarjih Fikih Keagamaan Tingkat Nasional, Banda Aceh, 14-16 Oktober 2019.

Editor: Azaki K.

Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds