Saat ini kita sudah memasuki bulan Muharram yang di Jawa disebut dengan bulan Suro. Suro sebenarnya berasal dari kata Asyura yang artinya sepuluh. Memangnya ada apa dengan Hari Asyura? Dan mengapa kelompok radikal mempermasalahkannya bak Bu Tejo dari film Tilik menggunjing Dian?
Hari Asyura, Bulan Muharram, dan Bulan Suro
Pada tanggal 10 Muharram 61 H, terjadi pembantaian cucu Nabi Muhammad SAW, Sayyidina Husein bin Ali bin Abi Thalib. Bukan hanya cucu, namun seluruh laki-laki keturunan dan sahabat Nabi dibunuh oleh Yazid bin Muawiyah untuk mendapatkan gelar khalifah. Hanya ada satu keturunan laki-laki Nabi yang masih hidup hingga nasabnya masih ada sampai sekarang.
Di Jawa, bulan Suro adalah bulan yang terlarang untuk bersenang-senang, termasuk menikah, syukuran, membuat acara besar, berpesta, dsb. Pada bulan ini juga dilarang bersolek, berhias, bahkan ada tradisi mengusapkan kotoran sapi di badan. Hal ini disebabkan karena bulan ini adalah bulan duka, umat sangat berduka atas kedukaan Nabi karena cucunya dibunuh.
Masyarakat Jawa yang begitu besar kecintaannya kepada Nabi dan keturunannya menjadikan bulan Muharram sebagai bulan yang sarat akan duka nestapa. Tak ada kebahagiaan dan kemewahan yang terpancar di bulan ini. Tak hanya di Jawa, tradisi ini juga ada di berbagai suku di Nusantara, berbagai upacara peringatan besar dilakukan di Nusantara.
Bulan ini juga dikenal dengan bulannya anak yatim, kita semua dianjurkan untuk menyantuni mereka. Karena pada bulan inilah seluruh anak cucu Nabi menjadi yatim, ayah mereka syahid di medan pertempuran melawan kebathilan.
Pada bulan ini juga digelar majelis Asyura untuk mengenang syahidnya Sayyidina Husein dan seluruh keluarga serta pengikut setia Nabi SAW. Namun kelompok radikal ekstremis seringkali menyerang acara ini, bahkan melakukan kekerasan fisik pada jamaahnya.
Acara yang semestinya sakral ini seringkali digagalkan dan diganggu oleh kelompok radikal. Mereka yang tidak tau apa itu Hari Asyura mempercayai berbagai tuduhan dan fitnah lalu menyerang peringatan ini. Ketika nonton film Tilik dan lihat karakter Bu Tejo, saya jadi ingat pada kelompok radikal ini. Kebetulan film Tilik ini viral di bulan Muharram, karakter Bu Tejo mencerminkan sikap kelompok radikal yang doyan membuat fitnah yang bisa menimbulkan perpecahan, dan parahnya penyerangan fisik.
Bu Tejo, Kelompok Radikal, dan Tuduhan
Kelompok radikal ini seperti Bu Tejo yang memfitnah Dian dengan berbagai tuduhannya. Loh, Bu Tejo kan gak salah-salah amat? Memang benar, Bu Tejo mengatakan Dian kepergok pergi dengan laki-laki seusia bapaknya disertai dengan bukti foto. Itu fakta, namun pengantar menuju fakta ini lah yang salah. Untuk menyampaikan fakta itu, Bu Tejo sampai mengatakan Dian muntah karena hamil, punya banyak uang dengan instan, dan sebagainya. Bayangkan jika banyak orang percaya pada Bu Tejo, mungkin Dian akan diserang oleh warga karena dituduh zina.
Sama dengan kelompok radikal, mereka tau fakta tentang peringatan Hari Asyura. Namun pengantarnya menuju fakta itu berisi fitnah. Orang-orang memang melakukan peringatan Hari Asyura. Mereka berdoa, berziarah, bersedih, menangis, dan melaknat para pembunuh cucu Nabi. Melaknat para pembunuh cucu Nabi ini sama seperti yang kita lakukan ketika melaknat Zionis yang membantai rakyat Palestina.
Mereka juga memaknai dan merefleksikan peristiwa kesyahidan Sayyidina Husein. Peringatan ini dilaksanakan dengan hikmat dan sakral, disertai kebangkitan spiritual atas peristiwa syahid sosok yang agung. Mereka tidak melakukan hal-hal yang dituduhkan kelompok radikal. Kelompok radikal ini menuduh bahwa peringatan ini berisi pelaknatan istri dan sahabat Nabi, menyakiti diri sendiri, dan melakukan hal-hal menyimpang dari Islam. Akibatnya beberapa orang tersulut fitnah dan menyerang acara tersebut.
Tabayyun pada Peringatan Hari Asyura
Padahal jika Bu Tejo mau tabayyun pada Dian, beliau pasti senang dan mendukung langkah Dian. Dian kan kembang desa yang belum menikah, Bu Tejo dan kebanyakan ibu-ibu lain khawatir suaminya akan tergoda oleh Dian. Meskipun hal itu tidak pernah terjadi.
Namun, jika Bu Tejo tau bahwa Dian ini punya hubungan dengan bapaknya Fikri yang merupakan seorang duda (mantan suami Bu Lurah), beliau pasti mendukung hubungan mereka. Dengan demikian, Bu Tejo tak perlu khawatir pada suaminya. Beliau mungkin malah akan menjelaskan pada Fikri agar siap menerima Dian sebagai ibu tirinya.
Alasan Dian menyembunyikan hubungannya karena khawatir Fikri belum siap menerima Dian sebagai ibu tiri. Bu Tejo, seorang yang solutif, mungkin yang akan woro-woro dan mengajak warga untuk mendukung pernikahan Dian dan bapaknya Fikri. Bu Tejo yang suaminya mau mencalonkan diri menjadi lurah, mungkin malah akan membantu terselenggaranya pernikahan Dian dan bapaknya Fikri.
Sama dengan Bu Tejo, kelompok radikal ini jika tabayyun dengan orang-orang yang memperingati Hari Asyura malah akan mendukung. Cobalah mereka mau tabayyun, diskusi, dan ikut acaranya sekali saja. Mereka mungkin yang akan membantu terselenggaranya acara itu, mereka yang akan mengajak masa, dan menghidupkan acara tersebut. Saya yakin mereka akan bersimpuh dan menangis ketika mendengar fakta sejarah yang memilukan itu dibacakan. Hati mereka pasti tercabik-cabik jika junjungannya disakiti.
Haruskah acara peringatan kesyahidan cucu Nabi dinodai dengan tindakan kekerasan oleh kelompok radikal? Apakah mereka ingin peristiwa kekerasan itu terulang kembali?
Apakah mereka ingin membela Islam, atau malah menjadi Bu Tejo?
Editor: Shidqi Mukhtasor