Pada asalnya, filsafat Islam tidak mengenal pembagian cabang-cabang filsafat sebagaimana terdapat dalam filsafat Barat, seperti metafisika, epistemologi, dan aksiologi. Dua yang pertama sebenarnya bagian dari filsafat teoritis, sedangkan yang ketiga bagian dari filsafat praktis. Hal ini dikarenakan pembahasan dalam filsafat Islam berpaksi pada pembahasan mengenai realitas, yakni wujud. Sehingga, diskursus filosofis dalam filsafat Islam cenderung bersifat integral, universal, abstrak, objek tidak terpisah dari subjek—dikarenakan bahasannya melampaui keduanya.
Artinya, filsafat Islam sejak awal telah bersifat holistik dan integratif. Jikalah kita ambil contoh yang gamblang menggunakan terminologi yang berkembang kini, akan kita dapati bahwasanya sesuatu yang etis–sebagai bagian dari filsafat praktis–acapkali tak lekang dari pertimbangan sesuatu yang metafisis dalam filsafat Islam.
Pengertian Filsafat Menurut Para Filsuf
Kita bisa melihat hal ini dari cara para filsuf muslim awal memberikan pengertian akan filsafat. Abū Yūsuf Ya’qūb al-Kindī (801–873) menulis, “Filsafat adalah pengetahuan akan realitas segala sesuatu dalam jangkauan kemampuan manusia, karena tujuan filsuf dalam pengetahuan teoritis adalah memperoleh kebenaran, dan dalam pengetahuan praktis adalah bertindak sesuai dengan kebenaran.”
Abū Nashr Muhammad al-Fārābī (870-951) menerima pengertian ini sambil menambahkan bahwasanya filsafat didasarkan atas kepastian (al-yaqīniyyah) dan bukan opini (al-mazhnūnah).
Syaikh ar-Raīs Ibn Sina (980-1037) menerima pula pengertian ini sambil membuat presisi, “al-hikmah adalah penyempurnaan jiwa manusia melalui konseptualisasi (tashawwur) segala sesuatu dan penilaian (tashdīq) realitas teoritis dan praktis sesuai dengan ukuran kemampuan manusia.” Lebih lugas lagi, murid terkemuka Syaikh ar-Raīs, Bahmanyār (w. 1037) menyatakan bahwasanya “Tujuan filsafat adalah pengetahuan akan segala yang wujud.”
Demikianlah sehingga cabang filsafat Islam mencakup pembahasan yang jauh lebih luas daripada yang kita kenal sekarang. Dalam filsafat teoritis terdapat tiga cabang, yaitu (1) fisika (ath-thabī`ah), yang membahas hal-hal fisik, mencakup ilmu-ilmu seperti kedokteran, meteorologi, mineralogi, botani, zoologi, kimia, dll; (2) metafisika (al-ilahiyyah), yang membahas ontologi, kosmologi, teologi filosofis, kausalitas, dan hal-hal non-materi lain, (3) matematika (ar-riyādhī atau at-ta`līmī), yang berada di antara kedua ilmu sebelumnya, mencakup aritmatika, geometri, astronomi, musik, mekanika, dll.
Adapun filsafat praktis pun terdapat tiga cabang, yaitu (1) etika (al-akhlāq), (2) ekonomi (tadbīr al-khāshshah), dan (3) politik (tadbīr al-`āmmah). Adapun logika, sebagian ada yang menganggapnya bagian dari filsafat teoritis, sedangkan sebagian lain menganggapnya sebagai yang ketiga, berbeda dari filsafat teoritis dan praktis namun mendasari keduanya.
***
Dalam perkembangannya kemudian, pembagian pembahasan filsafat sebagaimana yang terdapat dalam tradisi filsafat Barat tak terelakkan diterapkan juga dalam filsafat Islam, khususnya dalam proses pengajaran filsafat. Awalnya, pembagian cabang filsafat menjadi ontologi, epistemologi, dan aksiologi bertujuan untuk lebih mengorganisir dan memudahkan dalam memahami berbagai aspek pemikiran filosofis secara lebih sistematis. Akan tetapi, pada akhirnya justru terjadi pengerucutan pembahasan filsafat hanya pada ketiga cabang ini saja. Tak pelak lagi, pembahasan inti dalam filsafat Islam pun ditarik ke dalam ranah metafisika, lebih khusus lagi ontologi.
Ironisnya, pengerucutan ini justru terjadi karena semakin kompleksnya perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Perkembangan ilmu pengetahuan dalam cabang-cabang filsafat di luar metafisika, seperti fisika, kimia, biologi, astronomi, matematika, mekanika, psikologi, ekonomi, politik dll justru berujung pemisahan diri cabang-cabang ilmu pengetahuan tersebut dari induknya. Cabang-cabang ilmu pengetahuan tersebut menjadi disiplin tersendiri dengan melepaskan pemikiran filosofis yang mendasarinya. Suatu kondisi yang tak hanya terjadi di Dunia Islam, tapi juga di Dunia Barat.
Uniknya, setelah pengerucutan ini, sekitar akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 justru muncul tren baru dengan melekatkan kajian filsafat pada suatu disiplin ilmu tertentu. Sehingga muncullah beberapa cabang filsafat baru seperti filsafat ekonomi, filsafat politik, filsafat sosial, filsafat militer, bahkan filsafat teknologi, etika bisnis, etika politik, dll. Memang bahasan mengenainya sudah ada sejak lama dan sudah dibahas oleh para filsuf sebelumnya, seperti Politeia karya Plato, Politika karya Aritoteles, mapun Arā Ahl al-Madīnah al-Fadhīlah karya al-Fārābī. Akan tetapi, penegasan dengan melekatkan kembali disiplin tertentu kepada filsafat–setelah pengerucutan yang sebelumnya terjadi–adalah suatu fenomena yang baru.
Filsafat adalah Induk Ilmu Pengetahuan
Menilik kembali sejarah filsafat Islam, fenomena ini seolah justru menjadi pengakuan dari sejarah ilmu pengetahuan bahwa taksonomi filosofis para filsuf muslim terdahulu adalah suatu hal yang sangat relevan dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Tentu, manakala disiplin-disiplin ini kembali dalam pangkuan filsafat pembahasannya akan berbeda. Misalnya, filsafat politik lebih bersifat normatif, teoritis, analitis, walau kadang evaluatif.
Tentunya ini berbeda dengan ilmu politik yang bersifat deskriptif, evaluatif, dan praktis. Pemikiran radiks dan upaya mendetailkan prinsip-prinsip azasi dari suatu disiplin sehingga mampu memberikan landasan filosofis pada disiplin tersebut adalah posisi tak tergantikan manakala disiplin-disiplin ini kembali dalam pangkuan induknya: filsafat.
Dengan demikian, adagium bahwasanya filsafat adalah induk ilmu pengetahuan bukanlah tanpa alasan. Hal ini akan semakin jelas apabila menilik sejarah manusia. Sejak dini manusia selalu ingin mengetahui tentang hakikat akan segala sesuatu. Di mulai dari hakikat dirinya, baik dalam hubungannya dengan dirinya sendiri dan orang lain, hakikat lingkungan di sekitarnya, hingga keingintahuannya akan segala hal yang bersifat transenden.
Pengetahuan akan berbagai hakikat tersebut adalah filsafat dan upaya terhadapnya adalah upaya yang bersifat filosofis. Dalam sejarah filsafat Yunani, misalnya, dari rasa ingin tahu akan diri sendiri melahirkan para filsuf awal yang disebut Phusikoi. Mereka berupaya mencari jawaban akan hakikat dirinya, dari mana bahkan dari apa mereka berasal, apa yang mempengaruhi keberadaan mereka, dan seterusnya.
Dalam perjalanannya kemudian, pertanyaan-pertanyaan ini melahirkan berbagai ilmu pengetahuan seperti kimia, fisika, kedokteran, dan lain-lain. Maka jelaslah bahwasanya filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan bukanlah sebuah adagium kosong karena ia beranjak dari perjalanan panjang kesadaran kemanusiaan.
Perbedaan Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
Perbedaannya, apabila filsafat berupaya menjawab hakikat dari segala sesuatu atau realitas atau wujud, maka berbagai ilmu pengetahuan yang lahir kemudian darinya adalah imbas dari upaya untuk menjawab pertanyaan tersebut secara praktis. Maka sesungguhnya berbagai ilmu pengetahuan yang bersifat praktis tersebut memang sudah seharusnya dikembalikan kepada duduk perkaranya semula, yakni sebagai satu bagian dari upaya untuk mencari jawaban dari hakikat atau pertanyaan filosofis yang hadir dalam benak manusia sejak ia mulai berpikir.
Ironisnya, tidak dapat dipungkiri bahwa kini pengajaran filsafat terjebak pada suatu bentuk pengajaran yang sama sebagaimana berbagai cabang ilmu pengetahuan yang lahir darinya. Sehingga filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan yang berupaya menjawab berbagai persoalan mengenai hakikat tersebut seolah sama kedudukannya dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang dilahirkannya. Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dari disorientasi berbagai cabang ilmu pengetahuan tersebut, yang bersifat praktis, memiliki manfaat pragmatis, yang tidak perlu waktu bagi kebanyakan orang untuk mengernyitkan dahi memikirkan manfaatnya sebagaimana manfaat yang diperoleh dari pengkajian filosofis.
Pada saat filsafat diposisikan demikian, yang dalam konteks pendidikan tinggi hanya sebagai suatu ‘mata kuliah belaka’, maka pengkajian filsafat pun mengalami disorientasi. Filsafat tak ubahnya seperti suatu study tour dari satu benak ke benak lain, dari satu kutipan ke kutipan lain; dalam pemaknaan positif kondisinya menjadi suatu pengkajian akan kekayaan khazanah pemikiran manusia, sedangkan dalam pemaknaan negatif menjadi suatu koleksi paragraf yang kemudian dimanfaatkan para pengkajinya untuk bertindak tak ubahnya seperti Sophist. Padahal kelompok terakhir inilah yang sesungguhnya menjadi musuh besar bagi para filsuf terdahulu. Atau sekedar kumpulan quotes untuk diperdagangkan para motivator dan content creator.
Lantas Bagaimana Seharusnya?
Para pengkaji filsafat—dengan segala keterbatasan yang dihadapinya saat ini—semestinya berupaya untuk mengembalikan orientasi pengkajian filosofis sebagaimana seharusnya. Pengkajian Filsafat sebagaimana yang saat ini berlaku sebagai suatu ‘Satuan Kredit Semester’ di berbagai kampus semestinya ditingkatkan hingga tahap refleksi atas pembelajaran filosofis itu sendiri, sehingga ia tidak berhenti hanya sekedar pada kemampuan menjawab soal apalagi sekedar kumpulan kutipan belaka. Meskipun yang begini bukanlah suatu hal yang sia-sia, tapi seharusnya ada suatu keutamaan yang mesti dikejar dan ditingkatkan.
Menilik kembali pembagian cabang-cabang filsafat sebagaimana yang kini berlaku, dalam ranah filsafat teoritis sendiri muncul pertanyaan. Manakah yang mendahului: apakah ontologi mendahului epistemologi ataukah epistemologi mendahului ontologi? Dalam bahasa yang lebih populer, apakah tahu sehingga ada atau ada sehingga tahu? Jika pilihannya yang pertama, berarti pengetahuan kita meniscayakan keberadaan kita. Adapun jika pilihannya yang kedua, berarti keberadaan kita meniscayakan pengetahuan kita.
Epistemologi sendiri berasal dari kata ‘episteme’ yang berarti pengetahuan dan ‘logos’ yang berarti diskursus. Sehingga epistemologi berarti suatu ranah filsafat yang membahas pengetahuan sebagai pengetahuan, ringkasnya membahas pengetahuan itu sendiri. Dalam filsafat Islam, jelas ada persoalan manakala epistemologi yang dipahami dalam filsafat Barat ini kemudian diterapkan untuk membahas bahasan pokok dalam filsafat Islam: wujud. Dikarenakan ia akan membangun suatu garis pemisah antara subjek yang mengetahui realitas dengan objek pengetahuan, yakni realitas itu sendiri. Artinya, pembahasan mengenai realitas telah dipisahkan dari realitas itu sendiri. Padahal, bukankah subjek pun adalah realitas?
Dalam pertanyaan yang diajukan sebelumnya, jelas jawabannya adalah ontologi mendahului epistemologi. Ada sehingga tahu. Ketahuan dan ketidaktahuan kita akan keberadaan kita adalah bukti akan keberadaan kita. Dalam hal ini ada pengalaman keberadaan mengetahui dan tidak mengetahui. Kaitannya dengan epistemologi, ia menjelaskan pengalaman ini meski penjelasan itu sendiri bukanlah pengalaman itu sendiri. Dengan demikian, apapun taksonomi yang dipakai, sesungguhnya sampai di sini kita bisa menentukan di mana keutamaan ilmu berada.
Editor: Soleh