Filsafat intuisionisme merupakan salah satu aliran filsafat yang dianut oleh para filsuf, baik di Barat mau pun di Timur (khususnya Islam). Meskipun demikian, aliran ini mendapatkan posisi yang berbeda di dua wilayah tersebut.
Dalam filsafat Islam, aliran intuisionisme dikenal dengan istilah ‘irfani. Aliran ini mayoritas dianut oleh filsuf muslim. Sebaliknya, filsafat intuisionisme merupakan filsafat minoritas di Barat. Ia kalah bersaing dengan dua aliran utama filsafat Barat lainnya, yaitu empirisme dan rasionalisme.
Kemunculan filsafat intuisionisme di Barat dapat dikatakan terlambat, karena setelah era Plotinus (205-270 M), filsafat ini baru mulai dibahas secara mendalam oleh Henri Bergson (1859-1941), yang kemudian dikenal sebagai bapak filsafat intuisionisme modern. Sedangkan bibit-bibit filsafat intuisionisme dalam Islam sudah tampak sejak era Nabi Muhammad saw masih hidup, di mana filsafat ini berkaitan erat dengan ajaran-ajaran tasawuf.
Mengenal Filsafat Intuisionisme
Secara epistemologis, filsafat intuisionisme, baik di Barat mau pun Islam, sama-sama berangkat dari keyakinan bahwa ada pengetahuan yang didapat secara tiba-tiba. Sumbernya adalah intuisi.
Jika menilik ke Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata intuisi dimaknai sebagai “daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari; bisikan hati; gerak hati”.
Fahruddin Faiz dalam Menghilang, Menemukan Diri Sejati memberikan ilustrasi sederhana untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan intuisi. Misalnya, ketika seseorang mau berangkat kerja, tiba-tiba dia merasa tidak enak. Perasaan tidak enak ini biasanya disebut dengan firasat. Dan firasat itu sendiri merupakan salah satu jenis pengetahuan intuitif (berasal dari intuisi).
Jadi, intuisi adalah pengetahuan yang muncul tiba-tiba dalam diri kita tanpa diupayakan oleh akal atau pancaindra (Faiz 2022, 74).
Dalam dunia akademik, untuk menjelaskan intuisi biasanya digunakan cerita masyhur tentang Newton yang mendapat inspirasi mengenai teori gravitasinya setelah melihat apel jatuh, atau dari cerita tentang kemunculan teori benzena oleh Kukele setelah mendapatkan sebuah mimpi.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa intuisionisme adalah sebuah aliran filsafat yang memandang bahwa manusia memiliki satu alat untuk mencapai pengetahuan yang melebihi akal dan pancaindra, yaitu intuisi.
Kritik Terhadap Rasionalisme
Kemunculan Bergson dengan filsafat intuisionismenya tidak dapat dilepaskan dari corak berpikir Barat di masa itu yang sangat rasionalis. Di mana dia tampil dengan mengkritik cara berpikir tersebut. Menurutnya, sebagaimana yang telah menjadi diskusi sepanjang sejarah filsafat, akal bukanlah satu-satunya sumber pengetahuan.
Akal atau rasio memiliki kelemahan, yaitu hanya dapat diterapkan pada hal-hal yang bersifat material. Ketika berhadapan dengan realitas manusia yang kompleks, akal sering kali tidak dapat menjelaskan permasalahan-permasalahannya, khususnya yang berkaitan dengan psikologi dan spiritualitas.
Dalam Islam, filsafat intuisionisme atau aliran ‘irfani, sebagaimana disebutkan sebelumnya, merupakan aliran yang banyak dianut. Hal ini tentu saja dikarenakan Islam sendiri merupakan agama yang menekankan prinsip-prinsip spiritual. Dalam aliran ini, pengetahuan diyakini berasal dari kasyf (penyingkapan) rahasia-rahasia, wahyu, atau ilham oleh Tuhan kepada hamba-Nya, yang kemudian sering dikenal juga dengan istilah ilmu laduni atau ilmu hudhuri.
Namun demikian, tidak semua orang dapat diberi pengetahuan tersebut. Mereka yang hendak mendapat pengetahuan jenis ini harus melalui serangkaian riyadhah atau olah batin yang ketat (Latief 2014, 155). Kesucian jiwa merupakan syarat yang harus dipenuhi. Lalu, dari manakah pengetahuan jenis ini didapat menurut kelompok intuisionisme di Barat, yang secara garis besar skeptis terhadap Tuhan?
Dinyatakan oleh Bergson, intuisi sebenarnya adalah naluri atau insting yang menjadi kesadaran diri dan dapat menuntun manusia menuju kehidupan yang lebih dalam atau batin (Muslih 2016, 82).
Persamaan dan Perbedaan Intuisionisme di Barat dan Islam
Baik filsafat Barat maupun filsafat Islam, keduanya sama-sama memiliki aliran yang mendasarkan intuisi sebagai sumber pengetahuan. Meskipun antara keduanya memiliki budaya yang sangat berbeda, mereka sama-sama meyakini bahwa pengetahuan yang didapat dari intuisi adalah pengetahuan tertinggi.
Pengetahuan intuitif melampaui pengetahuan yang didapat dari hasil kerja rasio atau pancaindra. Namun, tentunya ada distingsi yang jelas dalam pola pikir epistemologis antara dua kebudayaan yang berbeda ini. Perbedaan tersebut terletak pada bagaimana pengetahuan ini dapat diperoleh.
Dalam skala kecil, keduanya memang meyakini bahwa pengetahuan ini dapat diperoleh bahkan tanpa syarat tertentu. Orang bisa saja mendapatkan pengetahuan secara tiba-tiba, terlepas dari apakah dia orang muslim atau bukan.
Akan tetapi, dalam skala besar, pengetahuan ini sebenarnya dapat diusahakan. Dalam filsafat Islam, usaha tersebut berupa riyadhah dan penyucian jiwa dan batin. Sedangkan di Barat, yang diwakili oleh Bergson, intuisi yang merupakan naluri dapat diasah agar lebih tajam. Hasilnya adalah pengetahuan yang didapat dari dalam diri dan bersifat langsung, bukan hasil kerja intelek yang berasal dari luar diri.
Dalam perkembangan selanjutnya, filsafat intuisionisme di Barat juga mendekati nilai-nilai filsafat ‘irfani. Dalam hal ini, Douglas V. Steere (1901-1995) menyatakan bahwa intuisi dalam dunia mistik dapat berimplikasi lebih jauh pada kemungkinan terjadinya penyatuan antara aku dan Tuhan dalam kesadaran kosmis (Muslis, hlm. 82).
Hal ini juga diyakini secara luas dalam filsafat Islam. Karenanya, muncullah berbagai tokoh yang meyakini dapat terwujudnya wahdah al-wujud, seperti al-Farabi, Ibnu Sina, dan lainnya.
Bergson juga pernah menyatakan bahwa kesadaran mistis bukanlah rekayasa atau halusinasi belaka. Dalam berbagai kasus, sering kali orang mengalami peristiwa spiritual yang sama antara satu dengan yang lainnya. Padahal, orang-orang tersebut berada di wilayah yang sangat jauh, bahkan kadang berbeda generasi, sehingga kemungkinan mereka untuk bersengkongkol adalah tidak mungkin. Demikian demikian, dapat dipahami bahwa filsafat intuisionisme adalah filsafat yang menyakini bahwa pengetahuan tertinggi berasal dari intuisi atau ilahi, bukan dari hasil olah pikir (rasio) atau kerja anggota badan (panca indra).
Editor: Aida AL