Hubungan Filsafat dan Agama
Hubungan antara filsafat dan agama tidak selalu mulus. Kekuasaan agama selama beberapa lama pernah begitu bengis memusuhi filsafat. Misalnya yang terjadi pada kebangkitan Eropa dan pada masa Islam yang fanatik menentang kebebasan berfikir. Saat itu, mereka ingin membelenggu pemikiran manusia sambil menjadikan diri mereka sebagai “panglima” bagi akal (pemikiran).
Perbedaan mendasar antara agama dan filsafat itu terletak pada sifat nilai kebenarannya sebagai akibat dari perbedaan sumber pokok masing-masing. Di satu pihak, filsafat memiliki nilai kebenaran yang relatif atau spekulatif karena bersumber dari sesuatu yang relatif pula, yaitu akal manusia.
Sedangkan di pihak lain, nilai kebenaran agama menjadi absolut dan mutlak serta abadi karena bersumber dari sesuatu yang absolut dan abadi pula, yakni Tuhan.
Kendati ada perbedaan mendasar pada keduanya, namun tidak berarti bahwa keduanya sama sekali tidak memiliki titik singgung atau tidak bisa saling menyapa dan melakukan timbal-balik yang erat.
Dalam upaya memperoleh kebenaran pengetahuan atau pun pengetahuan yang benar, maka filsafat sesungguhnya bisa menjadi alat yang baik untuk menjelaskan dan memperkokoh kedudukan agama. Sedangkan, agama dapat menjadi sumber inspirasi bagi timbulnya pemikiran filosofis yang kuat dan benar.
Tidak sedikit pemikiran filosofis ternyata bermuara kepada keimanan akan adanya Tuhan. Sebuah ciri dasar agama sebagai sistem kepercayaan kepada Tuhan. Sehingga, tidak sedikit pula para filsuf yang semakin kuat keimanannya justru setelah melakukan pengembaraan filosofis di dunia yang mereka geluti secara mendalam.
Filsafat di Dunia Timur
Di Jalur Timur, yaitu di dunia Islam, keadaannya hampir sama dengan keadaan di Barat. Hampir sama berarti tidak sama. Tatkala akal sedang kalah total di Barat, akal sedang dihargai di Timur.
Hal ini mengenai waktu, akal di Timur di hargai akan tetapi tidak sampai mendominasi jalan hidup sehingga menyebabkan orang Islam meninggalkan Agama.
Kitab Suci umat Islam menghargai akal. Dan Islam pun memuliakan Akal namun tidak berlebih-lebihan dalam memposisikannya, karena akal manusia juga memiliki keterbatasan.
Kecerdasan akal manusia tidak akan berjalan lurus tanpa bimbingan wahyu. Akal manusia itu seperti sepasang mata sedangkan dalil wahyu bagaikan lentera atau cahaya.
Mata baru bisa berfungsi dengan baik dan benar jika ada cahaya. Cahaya tersebut sebagaimana kedudukan dalil wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah) terhadap akal.
Penghargaan Al-Qur’an kepada akal telah menimbulkan kemajuan yang amat penting. Hal itu menjadi akibat yang positif, akibat negatifnya, Al-Qur’an cenderung dirasionalkan, padahal banyak Ayat Al-Qur’an yang tidak dapat ditafsirkan secara rasional.
Akibat yang lain adalah, rasa beragama itu kering. Maka, kesungguhan beragama akan kurang. Dengan kata lain, agamanya menjadi kurang kuat.
Dua Sumber Pemikiran Rasional dalam Islam (Filsafat)
Berkembangnya pemikiran rasional (filsafat) dalam Islam memperoleh dorongan dari dua Sumber : dari Al-Qur’an dan dari luar Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kitab suci yang diterima kebenarannya sehingga ia amat berwibawa. Sumber dari luar Al-Qur’an adalah Yunani dan India, dua daerah yang mempunyai tradisi rasional yang tinggi.
Berbeda dengan kitab suci Kristen, kitab suci yang dibawa oleh Muhammad Saw. Amat menghargai akal. Kata dalam Bahasa arab yang dapat berarti “kegiatan berpikir” cukup banyak terdapat didalam Al-Qur’an.
Salah satunya seperti kata nazara dalam surat Qaf ayat 6-7, Ayat seperti ini lebih dari 140 banyaknya. Selain itu hadis Rasulullah Saw. Banyak juga yang menjelaskan perlunya akal digunakan dan dikembangkan.
Dalil-dalil naql itu mempunyai kekuatan yang amat dahsyat mendorong orang Islam untuk menggunakan dan mengembangkan akalnya. Hasilnya, seperti dapat dilihat dalam sejarah, ialah berkembangnya pengetahuan rasional (filsafat) dan sains dalam Islam dan pemikiran Rasional telah menunjang perkembangan budaya dalam Islam.
Perkembangan itu terutama terjadi selama abad ke-8 sampai dengan abad ke-13. Pada masa ini, berkembanglah penerjemahan karya Yunani kedalam bahasa Arab atas dorongan Khalifah Al-Manshur dan Harun Ar-Rasyid, kemudian Al-Ma’mun. Berdirilah perguruan Bait al-Hikmah yang selain sebagai pusat penerjemahan, juga menjadi pusat pengembangan.
Editor: Yahya FR