Perspektif

Ketika Seorang Filsuf Bermain Sosial Media

4 Mins read

Dampak Adanya Sosial Media

Kalau dipikir-pikir, perkembangan sosial media belakangan ini banyak mengarahkan penggunanya pada keburukan. Kita melihat sosial media telah digunakan melebihi hakikat awalnya.

Para pionir sosial media bermaksud menyatukan seluruh dunia tanpa terhambat ruang dan waktu, tetapi kini yang terjadi malah memecah belah.

Sosial media menjadi ruang baru berbasis digital yang digunakan kelompok yang satu untuk menentang kelompok yang lain. Para pengguna terbagi ke dalam beberapa kubu, terkadang kita yang tidak tahu apa masalahnya begitu tergoda ingin bergabung ke salah satu pihak.

Hal yang paling menyedihkan dari perdebatan ini adalah nihilnya kesimpulan. Masing-masing pihak terus berkoar tanpa dasar sehingga kesimpulan yang harusnya menjadi produk akhir sering kali gagal untuk dicapai.

Sosial media telah menjadi sarana untuk menyebarkan ujaran kebencian, provokasi, berita hoaks, bahkan ajang pamer. Sosial media sudah seperti ring tinju yang digunakan untuk berkonflik, dan menunjukkan kepada dunia siapa yang paling sejahtera.

Sosial media banyak mengandung jebakan-jebakan yang melemparkan kita ke jurang kehidupan. Sering kali, jebakan-jebakan tersebut teramat halus hingga tidak disadari keberadaannya. Mereka akan mulai tersadar ketika penyesalan mulai menggigitnya.

Sebelum menyesali atas apa yang kita lakukan di sosial media, alangkah baiknya kita mengetahui bagaimana bersosial media dengan sehat. Di sana terlalu banyak harum-harum mawar yang sebenarnya tumpukan sampah.

Kita sering tergoda untuk melakukan apa pun di sana hingga tidak pernah tahu apa risikonya.

Bagaimana Jadinya Jika Filsuf Bermain Sosial media?

Dalam sebuah lamunan yang tak karuan, mendadak terbersit pertanyaan lucu dalam pikiran saya: bagaimana jadinya kalau seorang filsuf bermain sosial media? Ah, itu akan luar biasa!

Ketika pencerahan itu menyengat otak, saya mulai berpikir bahwa saya mesti menerapkan karakter dari para filsuf dalam bersosial media.

Baca Juga  Tidak Ada Habib di Muhammadiyah

Filsuf sering dipahami sebagai orang yang ahli filsafat. Meskipun tidak keliru, hakikat dari kata “filsuf” adalah orang yang mencintai kebijaksanaan. Maka bersosial media ala filsuf berarti memakai media sosial dengan tetap mencintai kebijaksanaan.

Ketimbang basa-basi saya lebih ngawur, inilah yang (kira-kira) akan terjadi jika seorang filsuf bermain sosial media.

Pertama, Ketika Filsuf Memakai Media Sosial, Ia Tak Mudah Terkena Hoaks

Salah satu modal penting untuk menjadi seorang filsuf yang baik adalah memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Namun sekadar ingin tahu saja tidaklah cukup. Keingintahuan yang menggebu itu ditindaklanjuti lewat pencarian hingga sampai ke akar masalah.

Ketika seorang filsuf menemukan sebuah berita di beranda, dia tidak akan langsung menelannya seperti yang dilakukan banyak orang. Dia akan menggali berita itu hingga ke akar. Tidak hanya mencari sumber yang terpercaya, tapi dia juga akan menganalisis berita itu secara rasional.

Jika terdapat kejanggalan, meskipun berita itu diwartakan sumber terpercaya, dia akan tetap menunda kesimpulan. Salah satu kemampuan luar biasa para filsuf adalah kemampuan mereka dalam meragukan sesuatu.

Mereka sangat hati-hati dalam memahami sesuatu, sebab analisis yang keliru akan menghasilkan kesimpulan yang kacau. Dan kesimpulan yang kacau berdampak pada keruwetan dunia nyata, terutama jika kesimpulan itu berkaitan dengan masalah banyak orang.

Inilah keterampilan yang semestinya dimiliki setiap orang. Di sosial media, menemukan berita hoaks itu seperti menemukan hamparan pasir di pantai. Begitu banyaknya, dari mulai klaim penemuan obat virus hingga ke seorang pemuka agama yang dituduh menggelapkan uang sumbangan untuk Palestina.

Anda bisa menemukan berita apa pun di sosial media, nyaris mengungguli portal-portal berita online. Tetapi lebih bahayanya, berita di sosial media juga diwarnai berbagai opini dari para pengguna sosial media. Ini membuat kita mesti lebih berhati-hati agar tidak mudah diadu domba.

Baca Juga  Kuntowijoyo (1): Iman dan Kemajuan

Kedua, Anti Iri

Satu dari banyak penyakit hati di sosial media adalah mudah merasa iri. Sebenarnya, rasa iri tidak sedemikian buruk jika kita tahu cara mengolahnya menjadi api semangat. Tetapi kenyataannya, mayoritas orang malah keliru dalam mengolah rasa iri itu.

Seorang filsuf memahami persoalan itu. Dia akan selalu membuka dirinya pada berbagai kemungkinan dan bertoleransi pada apa yang berbeda dari dirinya. Ketika orang lain mengunggah mobil mewah yang berjejer, dia menerima itu sebagai keragaman nasib manusia.

Ini bagus. Jika Anda memahami konsep tersebut, Anda tidak akan lagi merasa iri dengan unggahan teman Anda. Katakanlah seorang teman mengunggah foto wajahnya yang begitu rupawan.

Apabila Anda punya karakter seorang filsuf, Anda akan segera sadar bahwa unggahan itu tidak berpengaruh apa-apa terhadap kehidupan Anda. Rasa iri itu juga sia-sia sebab struktur wajah Anda, bagaimana pun juga, tidak akan bisa disamakan dengannya.

Ketiga, Merenungkan Setiap Kutipan

Sosial media merupakan sarana bagi kita untuk menemukan atau membagikan kutipan (quote). Kita banyak menjumpai kutipan di sana semudah menemukan batu di hamparan daratan. Mulai dari yang hanya basa-basi, curahan hati, hingga ke yang bermakna dalam.

Seorang filsuf tidak akan berhenti sampai tahap membaca. Ketika dia menjumpai suatu kutipan di layar beranda, dia akan berhenti menggulir layar. Sejenak dia merenung, berkontemplasi, menari-nari bersama pikiran.

Dia mulai bertanya, “Apa makna dari kutipan itu? Apakah hanya sekadar hiburan, atau menyimpan cahaya yang belum tersingkap? Bagaimana kutipan itu bisa menjadi benar? Apa yang keliru darinya?”.

Meskipun terkesan ruwet, tapi perilaku itulah yang benar-benar berharga bagi kita yang suka menyantap kutipan. Adakalanya sebuah kutipan disalahpahami maknanya. Terkadang juga, kita melewatkan mutiara berkilauan itu yang hanya bisa didapat jika kita menyelaminya hingga ke dasar.

Baca Juga  Neo-Sufisme dan Efek Negatif Media Sosial

Keempat, Menertawakan Mereka yang Pamer

Ada cacat di alam duniawi. Segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak ada yang abadi. Semuanya amatlah rapuh dan singkat. Bahkan gunung-gunung pun perlahan mulai tercerabut dari akarnya. Kemudian, terbang bersama-sama dan berbenturan hingga meledak.

Menuntut satu hal yang abadi di dunia ini mirip seperti mencari sebatang jarum di tumpukan jerami.

Kelima, Filsuf Membuka Sosial Media Secukupnya

Ciri utama seorang filsuf adalah keinginan mereka untuk mencapai hakikat dari sesuatu. Jadi seandainya seorang filsuf bermain sosial media, dia akan gatal untuk mengetahui apa hakikat atau tujuan asli dari terciptanya sosial media.

Katakanlah hakikat sosial media sebagai sarana berkomunikasi dan hiburan. Maka titik; dia akan menggunakan sosial media sebagaimana mestinya. Dia tidak melebih-lebihkan sosial media sebagai tempat provokasi, tempat konten vulgar, atau tempat maki-memaki.

Tak Semua Ahli Filsafat adalah Filsuf

Demikianlah reka-reka saya seandainya seorang filsuf bermain sosial media. Hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah, tidak semua ahli filsafat dapat dikatakan seorang filsuf, dan mereka yang tidak mengerti filsafat dapat saja dikatakan sebagai filsuf.

Jika kita kembali pada arti katanya, “filsuf” berarti orang yang cinta kebijaksanaan. Dalam KBBI, filsuf juga diartikan sebagai ahli berpikir. Maka merekalah yang kita kenal sebagai pemikir, dan tidak semua ahli filsafat mampu membangun gagasannya sendiri.

Dalam kata-kata Ludwig Wittgenstein, “Ketika kita tidak bisa berpikir sendiri, kita selalu bisa mengutip.” Maka bukanlah seorang filsuf jika dia tidak mampu berpikir sendiri.

Anda pun punya kesempatan yang sama. Mari bijak bersosial media dan menjaga budaya Indonesia sebagai bangsa yang ramah.

Editor: Rozy

Rifda Arifah Zain
1 posts

About author
Mahasiswi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds