Pada penghujung penutupan tahun 2020, tepatnya 30 Desember kemarin, pemerintah resmi membubarkan Front Pembela Islam (FPI). Banyak pihak yang merespons positif keputusan itu, namun di sisi lain, banyak pula yang mengkritiknya.
Salah satu yang mengkritik ialah Amin Mudzakkir, seorang peneliti di LIPI, yang mempertanyakan apa langkah pemerintah setelah pembubaran FPI ini. Mengingat, menurut beliau, secara ideologi FPI tidak akan mati.
Bagi saya, pertanyaan ini sangat penting sekali dijawab, untuk memastikan bahwa baik secara organisasi dan ideologi, FPI benar-benar sudah dibubarkan. Tentu pertanyaan yang akan muncul selanjutnya, bagaimana cara melihatnya?
Mungkin kita bisa mengacu kepada ideologi FPI itu sendiri. Apa saja visi misi mereka? Lalu, pemerintah harus memastikan agar visi misi tersebut tidak berkembang di wilayah pendidikan.
Jika kita tilik pernyataan Tito Karnavian di Kompas, kita akan menemukan bahwa salah satu visi misi FPI terdapat penerapan Islam secara kaffah di bawah naungan khilafah Islamiyah, memperjuangkan NKRI bersyariah, dan mendukung penegakan hisbah, yang disebut oleh Tito sebagai cara main hakim sendiri.
Nah, PR-nya bagi pemerintah setelah FPI dibubarkan yaitu bagaimana pemerintah men-tracing ketiga poin itu supaya jangan sampai masuk ke dalam wilayah pendidikan. Lewat apa? Tentunya lewat riset. Supaya pembubaran FPI ini tidak terkesan sebagai kebijakan politis semata.
Oleh karenanya, pemerintah tidak cukup sekadar mengundang para ahli ke istana, meminta pendapat para ahli tanpa melihat bagaimana perkembangan riset dalam permasalahan yang lain. Misalnya di wilayah pendidikan, ternyata banyak sekali ditemukan pemahaman yang serupa dengan visi misi FPI.
Khilafah Islamiyah
Temuan-temuan riset menyoal paham Khilafah Islamiyah cukup mengkhawatirkan. Salah satunya riset yang dilakukan pada tahun 2010 oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menemukan bahwa paham khilafah ternyata sudah ada di lima kampus besar di Indonesia, yakni UGM, UI, IPB, Undip, dan UNAIR. Jadi, sejak 10 tahun yang lalu, paham ini sudah mengakar di kampus-kampus besar.
Riset lain ialah survei Setara Institute pada tahun 2015 di SMU Negeri Jakarta dan Bandung, di mana dalam penelitian itu menemukan 75,3% siswa SMU menyatakan tahu tentang ISIS, dan mereka yang setuju dengan gerakan ini sebanyak 9,5%.
Hanya selang 5 tahun, paham ini sudah merambah ke siswa SMU. Lalu, penelitian yang terbaru, riset survei yang dilakukan oleh Alvara (2017) menemukan bahwa radikalisme dan paham intoleran di kalangan pelajar dan mahasiswa, di mana 23.4% mahasiswa dan 23.3% pelajar SMA, setuju jihad untuk tegaknya negara Islam atau khilafah.
Oleh karenanya, temuan-temuan ini jangan sampai hanya dianggap sekadar dokumentasi laporan radikalisme dan paham intoleran. Karena yang terpenting berikutnya adalah bagaimana pemerintah semakin menggalakkan penelitian ini, apalagi setelah HTI dan FPI dibubarkan.
Hal yang tak kalah penting adalah mencari solusi yang ampuh untuk mereformasi guru-guru agama Islam yang intoleran, supaya masyarakat tahu bahwa wilayah pendidikan terbebas dari paham Khilafah Islamiyah, baik itu dari buku ajarnya ataupun dari pemahaman guru agama Islamnya.
NKRI Bersyariah
Salah satu visi misi FPI berikutnya adalah memperjuangkan NKRI Bersyariah. Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah pada 2018 menemukan bahwa mayoritas guru agama memiliki aspirasi kuat bahwa Indonesia seharusnya menerapkan hukum Islam.
Aspirasi guru soal NKRI Bersyariah ternyata merata di 11 kabupaten/kota (Garut, Tasik, Ciamis, Solo, Mataram, Lombok Timur, Aceh Besar, Pidie, Makassar, Bulukumba, Maros).
Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa terdapat inkonsistensi pemahaman para guru dalam memaknai Pancasila dan UUD 1945 hubungannya dengan syariat Islam. Seakan konsep Pancasila dan UUD 1945 dengan syariat Islam bagaikan air dan minyak yang tak dapat disatukan.
Hasil dari penelitian-penelitian ini perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Memang satu sisi, perlu diapresiasi pemerintah telah berani membubarkan organisasi FPI. Namun di sisi lain, banyak guru agama Islam yang sudah terpengaruh dengan agenda-agenda FPI. Sehingga akan sangat membahayakan jika pemahaman itu ditanamkan dalam pemahaman siswa. Pada akhirnya, hanya akan memperpanjang deretan generasi FPI-FPI yang lain.
Yang perlu dilakukan oleh pemerintah ialah merumuskan di dalam buku ajar bahwa Pancasila dan UUD 1945 sejalan dengan nilai-nilai dalam syariah Islam. Pemerintah bisa menguatkan pandangan ini dengan mengutip pandangan Kiai Achmad Siddiq, Ketua Syuriah NU (1982-1984) dan juga pendapat Ahmad Syafi’i Maarif, Ketua Umum PP Muhammadiyah (1998-2004).
Tak luput pula, jika melihat hasil penelitian di atas, nampaknya, pemerintah perlu juga mengadakan pelatihan pengayaan pemahaman guru-guru agama Islam tentang hal ini secara terus-menerus.
Penegakan Hisbah
Hisbah adalah kewajiban individu atau bersama untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar (menegakkan yang benar dan melarang yang mungkar) sesuai dengan ketetapan syariah. Masalahnya, seringkali penegakan hisbah ini sering disalahartikan, seakan bisa diberlakukan di negara Indonesia yang berlandaskan hukum.
Maka tidak mengherankan, ketika penelitian Lakip pada tahun 2010 menemukan bahwa hampir 50% para pelajar menyetujui tindakan radikalisme. Tidak hanya itu, para siswa juga menyatakan bersedia dalam aksi kekerasan seperti penyegelan rumah ibadah hingga aksi sweeping.
Penelitian lainnya yang dikerjakan oleh PPIM pada 2016 menemukan bahwa banyak guru agama Islam yang menolak pendirian gereja. Mereka menganggap bahwa sikap seperti itu adalah bagian dari menegakkan hisbah, yang mereka klaim sebagai kewajiban amar ma’ruf nahi munkar.
Bahkan, di penelitian yang terbaru (2018), PPIM melansir survei bahwa setidaknya terdapat 81% guru PAI yang menyatakan tidak akan memberikan izin pendirian rumah ibadah non-muslim. Sungguh ini merupakan jumlah yang sangat besar.
Penelitian PPIM di Ciamis juga menemukan ada beberapa guru yang mendorong anak-anak pelajar untuk mencintai Front Pembela Islam (FPI), alih-alih Muhammadiyah, atau NU. Guru-guru tersebut menganggap bahwa FPI sebagai pahlawan yang memberantas kemaksiatan di Indonesia.
Tentu bagi saya hal ini sangat berbahaya. Bisa jadi siswa akan mempunyai anggapan bahwa ulama yang tindak lakunya tidak seperti aspirasi FPI akan dianggap sesat.
Kebijakan Berlandaskan Riset
FPI memang terkenal sering membuat aksi-aksi kekerasan atas nama syariat Islam, seperti menutup atau menolak rumah ibadah agama lain, melakukan diskriminasi terhadap minoritas yang dianggap sesat, men-sweeping rumah makan saat bulan puasa atas alasan menghormati bulan puasa, dan lain-lain.
Lalu, dengan FPI dibubarkan, harapannya tidak akan ada lagi orang-orang yang melakukan tindakan kekerasan mengatasnamakan agama.
Tapi, harapan itu hanya tinggal harapan semata jika ternyata guru-guru agama Islam terus memproduksi paham-paham kekerasan kepada siswa mereka.
Pada akhirnya, Islam Nusantara yang menjadi program utama pemerintah dan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah, hanya akan menjadi slogan yang digaungkan di depan media. Tidak pernah tertanam di lubuk hati para siswa dan guru-guru agama Islam.
Itulah pentingnya semua penelitian riset soal (in)toleransi dan radikalisme harus terus didukung oleh pemerintah sebagai masukan bagi pemerintah apa langkah-langkah yang perlu dilakukan dan bisa dipertanggung jawabkan secara keilmuan. Kebijakan yang berlandaskan research itu yang ditunggu, bukan research yang disesuaikan dengan kebutuhan pemerintah.
Editor: Lely N