Review

Hikayat Terorisme: Sayyid Quthb dan Generasi Muda

5 Mins read

Terorisme: Merusak Citra Umat Islam

Terorisme Buku ini berjudul Hikayat Al Irhab yang secara harfiyah berjudul kisah terorisme, dan dapat kita sebut sejarah radikalisme dan terorisme. Karena di dalamnya, tidak hanya menyebut awal mula terorisme dalam sejarah Umat Islam di era modern ini, akan tetapi juga penyebabnya yaitu nalar radikalisme.

Buku ini terbit pada tahun 1438 Hijriyah atau 2017 Masehi, ditulis oleh Prof. Ali Jum’ah Muhammad Abdul Wahab, salah satu anggota Haiah Kibar Ulama Al Azhar dan guru besar Ushul Fikih di Universitas Al-Azhar Mesir. Yang antara tahun 2005 – 2013,  menjabat sebagai Grand Mufti Mesir. Sampai saat ini, ia merupakan kepala dari yayasan Misr Khair yang banyak membantu masyarakat fakir miskin di Mesir. Khususnya di kawasan pedesaan yang tertinggal.

Buku ini merupakan buku keenam dari rangkaian Silsilah Al Bayan (seri penjelas) terhadap permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam dan umat manusia. Yaitu terkait kemunculan kelompok-kelompok radikal berideologi terorisme yang merusak citra Islam. Dengan provokasi kedustaan yang berdasarkan pemahaman agama yang salah.

Sehingga, menimbulkan aksi-aksi kekerasan, terorisme, dan pertumpahan darah. Pada pembukaan buku ini, Syaikh Ali Jum’ah menyebut mereka sebagai pewaris Khawarij yang eksistensi dan fitnah-fitnahnya telah diperingatkan oleh Nabi Muhammad SAW. Syaikh Ali Jumu’ah menyebut mereka sebagai anjing neraka (الخوارج هم كلاب النار) yang hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ahmad, dan Al-Hakim.

Institusionalisasi Syariat

Pada bagian pertama buku ini membahas pengalaman kemajuan Mesir yang dapat ditiru oleh umat Islam dalam segi institusionalisasi syariat Islam dalam kehidupan bernegara. Para ulama dan cendikia dari umat Islam telah membuat gagasan konsep hukum yang berasal dari kitab-kitab fikih sebagai hukum positif. Di antaranya Abdul Qadir Al Baghdadi, Al Murtadla Az Zubaidi, Syaikh Hasam Al ‘Athar, Muhammad Abduh,  dan Abdul Razaq As Sanhuri.

Tentunya, institusionalisasi ini didorong oleh para penguasa di zamannya seperti Sulaiman Al Qanuni, Muhammad Ali Pasha, dan Khadive Ismail yang melakukan kajian terhadap Napoleon Code dan Al Majallah Al ‘Adalah (konstitusi Turki Utsmani yang berlandaskan Fikih Hanafi).

Baca Juga  Bahaya Paham Qutbisme dan Cara Membendungnya

Syaikh Ali Jum’ah sangat menyayangkan bahwa kaum radikal tidak memahami bahwa hukum positif di negara Islam saat ini merupakan hasil kajian yang berlandaskan pada kitab-kitab fikih terkait mu’amalah (interaksi) keduniawian yang bersumber pada Al-Qur’an dan sunah. Akan tetapi, diinstitusionalkan dalam suatu konstitusi dan aturan-aturan hukum.

Pada abad ke-19 dan abad ke-20, para ulama dan cendikia umat Islam terus melakukan kajian sebagai bentuk reformasi dan tajdid (pembaharuan) terhadap produk hukum (konstitusi dan perundangan) untuk dapat mengkoreksi kesalahan dan menyesuaikan perkembangan zaman.

Terorisme yang Selalu Mencari Pembenaran

Syaikh Ali Jum’ah pada bagian kedua dalam karyanya ini menyebutkan bahwa kelompok-kelompok radikal merupakan kaum munafik yang menginginkan agar umat Islam terpecah belah. Seperti kaum munafik yang hidup pada zaman Nabi Muhammad SAW yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubai bin Salul. Dan mendirikan masjid yang oleh Allah SWT dalam firman-Nya pada ayat ke-107 surah At Taubah, disebut sebagai masjid dlirar.

Abdullah bin Ubai bin Salul memanfaatkan pertikaian antara Suku Auz dan Suku Khazraj untuk menjadi penguasa Yatsrib. Skan tetapi, Nabi Muhammad SAW datang atas permintaan rakyat Yatsrib dan kemudian menggagalkan hasrat kekuasaan Abdullah bin Ubai bin Salul.

Tidak hanya itu, Syaikh Ali Jum’ah juga menggambarkan para demagog kelompok-kelompok radikal seperti As Samiri yang memprovokasi bangsa Yahudi menyembah patung sapi memanfaatkan kepergian Nabi Musa AS selama 40 hari. Nalar dan pandangan kelompok-kelompok radikal tidak lain adalah memecah umat Islam. Dengan narasi-narasi yang menyebutkan bahwa umat Islam yang tidak mengikuti mereka, harus diperangi.

Tentunya nalar ini berbeda dengan nalar yang dibangun oleh Al Azhar yang konsisten dalam garis ilmu-ilmu keislaman. Sayangnya, kelompok-kelompok radikal ini selalu merasa benar walaupun dalam kesalahan dan kesesatan bernalar. Syaikh Ali Jum’ah membandingkan seorang Al Azhari dengan Al Ikhwani, di mana seorang Al Azhari mampu memahami teks agama (Al Qur’an dan As Sunnah), kondisi masyarakat sekitarnya dan Bahasa Arab, sebagai alat untuk memahami teks agama.

Baca Juga  Quraish Shihab: Radikalisme itu Tanda Orang Bodoh

Tak Ikut Al Ikhwan Al Muslimun: Murtad!

Pada bagian ketiga, Syaikh Ali Jum’ah mengurutkan kisah Hasan Al Banna dari biografi pribadinya, pembentukan Al Ikhwan Al Muslimun, masuknya para tokoh masyarakat ke Al Ikhwan Al Muslimun, penyusunan do’a-do’a (Al Ma’tsurat) sampai pada partisipasi politik dan konflik Al Ikhwan Al Muslimun dengan As Sa’adiyun (pengikut Saad Zaghlul).

Kemudian, Syaikh Ali Jum’ah memaparkan pembentukan tandzim khash (organisasi khusus para-militer) yang awalnya diklaim untuk melawan Inggris, sehingga dilatih secara militer termasuk penggunaan senjata dan merakit bom. Akan tetapi, justru untuk meneror masyarakat dan membunuh pejabat tinggi negara di antaranya PM Mahmud An Naqrasyi, Hakim Ahmad Bek Al Khazindar, dan Mayjend Salim Zaki.

Syaikh Ali Jum’ah mengutip pendapat Syaikh Muhammad Al Ghazali yang menyatakan keluar dari Al Ikhwan Al Muslimun. Karena, menjatuhkan martabat Islam dan umat Islam. Di mana, setiap orang yang tidak bergabung dalam Al Ikhwan Al Muslimun, dianggap telah keluar dari Islam (murtad).

Kiprah Sayyid Quthb

Syaikh Ali Jum’ah dalam bagian keempat mengupas tuntas Sayid Quthb yang oleh kelompok-kelompok radikal, khususnya oleh kader-kader Al Ikhwan Al Muslimun,  dianggap sebagai sosok pemberani melawan penguasa tiran yang lalim.

Pada bagian ini dibahas biografi Sayid Quthb sebagai sastrawan. Serta kepentingan dan langkah-langkah politiknya (dari partisipasinya dalam As Sa’adiyun yang beraliran sosialis, terlibat dalam Revolusi 23 Juli 1952 dan bergabung dengan Al Ikhwan Al Muslimun).

Sayid Quthb merupakan satu-satunya tokoh sipil yang mengikuti rapat dan pertemuan Dewan Komando Revolusi yang berisikan para perwira militer. Sebagai kepala badan redaksi penerbitan Dewan Komando Revolusi sampai pada awal tahun 1953, Sayid Quthb keluar dan bergabung dengan Al Ikhwan Al Muslimun.

Rekan Sayid Quthb, Abbas Khidlr, seorang kritikus sastra menyatakan bahwa Sayid Quthb kepada dirinya mengakui kecewa atas kebijakan Dewan Komando Revolusi.  Khususnya Presiden Jamal Abdun Nasser yang tidak menunjuknya sebagai menteri pendidikan. Setelah bergabung dengan Al Ikhwan Al Muslimun, Sayid Quthb menggunakan para-militer Al Ikhwan Al Muslimun untuk melawan pemerintah Mesir. Di antaranya, upaya pembunuhan Presiden Nasser di Mansyiyah Square Alexandria pada tahun 1954.

Baca Juga  Bapak Radikalisme itu Bernama Ibn Taimiyyah (?)

***  

Sehingga, semua anggota Al Ikhwan Al Muslimun dipenjara. Selama dalam masa hukuman, Sayid Quthb menulis buku Fii Dlilali Al Qur’an yang dalam pengamatan Syaikh Yusuf Al Qaradlawi bahwa Sayid Quthb menganggap Umat Islam yang tidak mengikuti pemahamannya, adalah masyarakat Makkah yang masih kafir (dalam artian mengkafirkan umat Islam yang tidak bergabung dengan Al Ikhwan Al Muslimun dan sepandangan dengan Sayid Quthb).

Syaikh Yusuf Al Qaradlawi juga menyebutkan bahwa dalam karya Sayid Quth yaitu Ma’alim fii Ath Thariq dan Al Islam wa Musykilaat Al Hadlarah, Sayid Quthb berpandangan bahwa ijtihad pada masa kini sangat tidak diperlukan.

Dampak Negatif Pemikiran Quthb kepada Generasi Muda

Pada bagian kelima, Syaikh Ali Jum’ah memaparkan dampak negatif dari pemikiran Sayid Quthb kepada generasi muda, karena terpapar nalar yang mengharuskan untuk selalu berkonflik dengan masyarakat dan negara (sistem bernegara). Sehingga kemudian, terbentuklah organisasi-organisais teroris yang melakukan aksinya atas nama Islam.

Salah satu contoh dari dampak negatif pada diri Al Ikhwan Al Muslimun dan Komunitas Salafi adalah terbentuknya aliran Salafi Sururi dengan tokoh sentralnya Muhammad Surur Zainul Abidin, seorang perwira dinas intelijen militer Tentara Suriah yang terpengaruh pemikiran Sayid Quthb kemudian bereksodus ke Arab Saudi. Dan komunitas Salafi Sururi mengafirkan semua penguasa negara Islam. Sehingga, para tokoh Salafi Ilmiyah di Arab Saudi, memperingatkan kepada para pemuda umat Islam agar menjauhi pandangan Salafi Sururi.

Pada bagian ini, Syaikh Ali Jum’ah juga membahas kelemahan bernalar (seperti kelemahan menguasai teks agama) dan membantah narasi-narasi khayalan kelompok-kelompok radikal (seperti penggambaran masyarakat sebagai masyarakat jahiliyah).

Editor: Yahya FR
Mush’ab Muqoddas Eka Purnomo
5 posts

About author
Alumnus Jurusan Sejarah dan Peradaban Universitas Al Azhar Cairo Mesir Pengajar di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta TA 2019-2020 & 2020-2021
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *