Saya setuju FPI dibubarkan. Namun, yang harus direfleksikan ke depan adalah bagaimana proses penegakan hukum di Indonesia ke depan? Perihal ini perlu ditekankan agar masyarakat mengerti bahwasanya main hakim sendiri itu adalah bentuk pelanggaran hukum yang justru selama ini dibiarkan. Pembiaran terjadi karena memang negara abai dalam melindungi hak-hak warganegara sekaligus adanya dukungan kepada FPI untuk kepentingan politik elektoral.
Di sini tugas berat elit pemerintah sekaligus aparatnya, bagaimana mereka harus bisa menegakkan rasa keadilan kepada semua warga negara tanpa memandang bulu. Jika hukum ditegakkan dengan melihat figur dan kelas tertentu, saya yakin, spirit FPI, dalam bentuk nama organisasi yang berbeda akan terus tumbuh. Lebih jauh, hal yang perlu dikhawatirkan adalah mereka bisa bergerak ke dalam organisasi dengan ragam bentuknya yang sulit untuk dikontrol.
Lihat saja kelompok HTI. Meskipun sudah dibubarkan, organisasi ini sebagai sebuah komunitas terus bergerak dan tumbuh menguat secara kultural. Kita memang tidak bisa melihat simbol dan juga nama organisasi seperti sebelumnya. Namun, keyakinan mengenai khilafah terus direproduksi oleh para anggota maupun simpatisannya. Ajaran mereka akan terus subur selama struktur hukum masih berpihak kepada kelas, kelompok, dan elit tertentu.
Di sisi lain, figur-figur Islamisme ini, meskipun saat ini mengalami kekalahan, pengaruh mereka sangat dibutuhkan saat momentum politik elektoral. Kita enggak usah menutupi, tanpa ada dukungan Rizieq Shihab dan FPI kepada Anies Baswedan, ia tidak mungkin memenangkan pertarungan melawan Ahok. Tanpa ada dukungan FPI dalam Pilpres 2019 yang mendukung Prabowo-Sandi, Jokowi tidak akan memiliki lawan yang tangguh dan kemudian memilih Ma’ruf Amin jadi Wakil Presiden.
***
Aksi-aksi kekerasan FPI di pelbagai daerah juga harus dilihat terkait dengan diamnya elit politik dan aparatus di daerah yang dianggap sebagai bentuk dukungan diam-diam kepada mereka di tengah Islamisasi ruang publik yang terus menguat. Apalagi pengaruh mereka dalam menentukan kemenangan DPRD dalam politik elektoral mempengaruhi bagaimana elit lokal harus bersikap kepada mereka.
Dengan kata lain, FPI hadir bukan karena dukungan publik Islam, melainkan juga ada penyokong kuatnya. Kehadirannya tidak didukung saat ini karena sepele. Mereka tidak membawa faedah lagi dalam kemenangan politik elektoral yang masih jauh, yaitu 2024. Di sisi lain, oposisi yang dahulu bersama mereka telah bergabung menjadi bagian dari pemerintah Jokowi saat ini. Selain itu, kekuatan FPI satu-satunya sebagai ormas yang bisa melakukan mobilisasi melalui demonstrasi menjadi tidak memiliki kekuatan di tengah pandemi Covid-19.
Di sini, sekali lagi, rasa keadilan menjadi penting untuk dilihat. Jika elit politik sekaligus penyelenggara negara tidak pernah mempertimbangkan hal tersebut, spirit FPI dalam bentuk lainnya akan terus tumbuh dan berlipat ganda. Di sisi lain, meskipun bukan kewajiban, Muhammadiyah dan NU sebagai payung besar organisasi Islam di Indonesia menjadi titik tumpuan untuk menjadi suara umat di tengah tegangan kepentingan elit politik dan kemaslahatan Islam lebih besar.