Pohon beringin adalah penggambaran dari pohon yang kuat akarnya, menjulang batang, dahan dan rantingnya sehingga memberi kesejukan pada siapa pun yang berteduh di bawahnya. Di samping itu, pohon ini biasanya juga menjadi simbol kemusyrikan, dipuja dan disembah karena diyakini dihuni oleh kekuatan yang memberi manfaat atau mudhorat.
Namun tulisan ini tidak hendak membahas politik pohon beringin yang sedang bergoyang diterjang badai, namun menghadirkan kecerdikan Imam Al-Ghazali dalam mengilustrasikan konsep ikhlas dalam sebuah cerita Israiliyat pada jilid 4 Ihya’ Ulumuddin. Jadi cerita penebangan pohon beringin ini bukan soal isu politik, namun gambaran melemahnya iman karena jatuh pada orientasi keduniaan.
Meskipun gaya cerita dalam tulisan ini tidak sama persis, namun substansinya sama dengan apa yang tertulis dalam Ihya’ Ulumuddin. Cerita ini juga sering disampaikan para pendakwah ketika menyampaikan materi tentang keikhlasan atau kemusyrikan.
Konon ada sebuah pohon beringin yang besar, tua dan keramat dihuni oleh jin yang perkasa. Pohon tersebut banyak dipuja dan disembah oleh warga kampung karena dianggap melindungi dan memberi manfaat. Mereka sering memberi sesaji supaya jin penghuni pohon beringin tersebut tidak marah.
Di kampung tersebut, ada juga seorang alim yang sangat disegani oleh warga desa karena kedalaman ilmu dan zuhudnya meskipun hidup dalam kemiskinan. Si alim merasa marah karena banyak jamaahnya yang melakukan kemusyrikan dengan menyembah danyangan pohon beringin tersebut.
Maka dengan tekad membara untuk menegakkan Tauhid, si alim berangkat dengan membawa kampak untuk menebang pohon beringin keramat tersebut. Ketika sudah mendekati pohon dan hendak memotong, keluarlah jin penghuni untuk menghalangi si alim.
Jin: ”apa yang akan kamu lakukan terhadap rumah saya? Si alim menjawab: ”aku akan menebang pohon yang menimbulkan kesyirikan ini”. Jin: ”kamu boleh menegang pohon ini kalo kamu bisa mengalahkan saya”.
Terjadilah perduelan yang sengit. Si alim dapat dengan mudah mengalahkan jin tersebut, membanting, dan menduduki dadanya siap menebas dengan kapak saktinya. Jin yang merasa sudah kalah mengeluarkan jurus rayuan mautnya.
“Tunggu dulu wahai alim, bisakah kita selesaikan ini dengan damai? Pinta jin. Dijawab dengan tegas oleh si alim, ”tidak bisa, kemusyrikan harus ditegakkan tanpa kompromi”. Dengan wajah memelas jin melanjutkan, ”dengarkan dulu wahai alim tawaran saya, kalo tidak sepakat silahkan bunuh saya.
Sebagai seorang alim yang zuhud dan lembut hatinya si alim menurunkan nada bicaranya, ”baiklah jin, cepat katakan”.
Jin tersenyum dan berkata, ”turunlah dari dadaku supaya aku bisa bicara”. Si alim turun dari dada jin dan mempersilahkan jin untuk menyampaikan tawarannya.
”jadi begini, aku cukup memahami keimananmu, tapi kamu juga harus tahu bahwa aku tidak pernah menyuruh jamaahmu untuk menyembahku, itu karena kebodohan mereka. Aku juga tahu, meskipun kamu sangat alim dan dihormati, tetapi kamu hidup dalam kemiskinan”. ”terus maumu apa? Tanya si alim menyela pembicaraan jin.
Jin menjawab, ”jangan kau teruskan niatmu menebang pohon tempat tinggalku, aku akan memberimu uang di bawah bantalmu setiap hari ketika kamu bangun tidur”. Si alim berdiri, dengan suara agak keras menjawab, ”kamu mau menyogokku? Kamu memang ingin mati, tidak usah banyak bicara, aku tidak tertarik dengan tawaranmu,” kata si alim sambil mengangkat kapaknya.
”Tunggu dulu alim, aku belum selesai, aku tidak menyogokmu tapi memberi solusi. Dengan uang itu kamu tetap bisa berdakwah pada umatmu agar tidak menyembah pohon tempat tinggalku. Kamu juga bisa membantu tetanggamu, saudaramu, jamaahmu yang kurang mampu supaya mereka mentaatimu dan tidak menyembahku”.
Si alim merenung sejenak dan membenarkan logika jin, dengan uang dakwah bisa menjadi lebih gampang dan jamaah juga suka. ”baiklah jin, aku terima tawaranmu, mulai besok pagi akan aku lihat di bawah bantalku, aku juga tetap melarang jamaahku mendatangi pohonmu, memberi sesaji, apa lagi menyembahmu”.
Jin dan alim kemudian bersalaman sebagai tanda kesepakatan. Jin kembali ke pohon beringin dan si alim kembali ke rumahnya. Setiap bangun tidur si alim selalu melihat uang di bawah bantalnya dan melakukan dakwah sebagaimana biasanya. Dia juga sangat dermawan kepada jamaahnya. Kehidupan pribadinya juga berubah dari kemiskinan ke kecukupan.
Beberapa waktu berlalu dan berjalan normal seperti biasa. Namun pada suatu hari si alim tidak menemukan uang di bawah bantalnya sebagai sumber kehidupan. Si alim masih berprasangka baik, mungkin si jin sedang lupa. Namun ketika kondisi tersebut terjadi beberapa hari, si alim yakin jin melanggar kesepakatan.
Di alim menjadi marah, mengambil kampaknya dan berangkat akan menebang pohon tempat jin bersemayam. Di tengah jalan dihadang oleh jin. Terjadi percekcokan dan akhirnya terjadi perduelan. Jin dapat dengan mudah mengalahkan si alim, menindih dadanya dan berkata, ”aku akan membunuhmu sekarang”.
Si alim sambil terengah-engah berkata kepada jin, ”kenapa kamu begitu kuat dan aku tidak bisa mengalahkanmu?”. jin menjawab, ”bukan aku yang bertambah kuat, tetapi kamu yang semakin lemah, dulu kamu mau menebang pohonku dengan niat tulus karena Allah, tetapi hari ini kamu marah dan hendak menebang pohonku karena uang”. Si alim menangis dan menyesali apa yang diperbuatnya, andai dulu langsung menebang pohon hal ini tidak akan terjadi, tapi nasi sudah menjadi bubur.
Dari cerita di atas, kita bisa mengambil beberapa pelajaran: pertama, cerita Al-Ghazali tersebut mencocoki ajaran Syaikh Musthofa Al-Gholayan tentang ikhlas. Beliau menyatakan bahwa amal perbuatan itu ibarat jasad dan ruhnya adalah ikhlas.
Jasad yang telah berpisah dengan ruhnya hanyalah seonggok bangkai yang tidak bisa bergerak dan bermanfaat. Begitu pula sebuah amal jika kehilangan ikhlas. Kekuatan si alim tadi hilang karena kehilangan daya ikhlasnya. Penting bagi kita untuk terus menjaga keikhlasan dalam semua perbuatan baik, apa lagi pada ranah dakwah.
Kedua, kesalahan si alim adalah memberikan kesempatan kepada jin untuk menyampaikan tipu muslihatnya. Banyak tragedi besar yang terjadi karena orang alim memberi kesempatan kepada orang jahat untuk menyampaikan tawaran muslihat.
Perang Bharatayudha terjadi karena Krishna memberi kesempatan kepada Sangkuni untuk menjalankan tipu muslihatnya. Karenanya sekecil apa pun kesempatan untuk mendistorsi keikhlasan harus ditangani dengan baik.
Ketiga, si alim tidak akan terbujuk oleh dunia andai saja kehidupan pribadinya sudah mapan, sudah selesai dengan dirinya sendiri. Bukankah dalam hadis juga disebutkan bahwa kefakiran itu cenderung pada kekufuran.
Penggerak ormas keagamaan atau pendakwah seharusnya juga bisa mengatasi problem ekonomi rumah tangganya supaya tidak gampang tergiur oleh gemerlapnya dunia.
Berapa banyak ulama, kiyai, ustadz yang tergadaikan oleh kepentingan politik praktis dengan iming-iming beberapa lembar rupiah. Tidak sedikit ormas keagamaan yang tidak bisa menjaga marwah dan kemandiriannya karena tergoda oleh gemerlapnya dunia.
Keempat, menjadi alim dan zuhud saja belum cukup untuk menghadapi tipu muslihat dunia, tetapi butuh kejelian dan kecerdikan dalam menganalisis situasi dan kondisi. Apakah sebuah tawaran manis lahir dari ketulusan ataukah bermotif jebakan.
Umumnya, ketika menerima sebuah tawaran seseorang cenderung melihat dari sisi manisnya, keuntungan dan laba yang besar. Karenanya, banyak yang akhirnya terjerat masalah. Mereka yang terjebak judi online atau pinjaman online sering kali karena tergiur pada kemudahan dan keuntungan yang di luar nalar.
Istiqomah atau konsistensi berdiri dalam barisan kebenaran tidak bisa ditawar oleh apa pun jika ingin selamat di dunia dan akhirat. Tipu daya dunia ini melemahkan jiwa dan akal, sementara istiqomah dan ikhlas akan menguatkan jiwa dan akal.
Bukan setan yang menjadi kuat, tetapi kita yang semakin lemah karena muslihatnya. Jika kita lemah, maka kejahatan akan tetap berdiri tegak dan kokoh, seperti pohon Beringin sarang jin yang dengan mudah mengalahkan si alim. Sudahkah kita ikhlas dalam semua amal baik kita?
Celakanya jika si alim dengan sukarela menyerahkan hidup dan harga dirinya di tangan jin penunggu pohon beringin yang teduh tapi penuh muslihat. Apakah kita sedang di situasi tersebut? Dimana begawan, ulama, cerdik cendekia tenggelam dalam buaian tipu muslihat dunia? Wallohu alam bi shawab.
Editor: Soleh