Perspektif

Gagasan Politik Hijau Harus Menjadi Fokus di Pesta Demokrasi 2024

4 Mins read

Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia tengah digemparkan  dengan cuaca ekstrem yang hampir melanda seluruh wilayah tanah air. Dari data 117 stasiun pengamatan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), rata-rata suhu udara di Indonesia pada April lalu menjadi yang tertinggi ke-7 sejak pengamatan dari 1981. Akibatnya, beberapa daerah dilanda bencana alam dengan frekuensi yang tinggi.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat setidaknya ada 927 bencana alam yang terjadi akibat cuaca ekstrem dalam waktu kurun waktu januari hingga mei 2023. Nampaknya fenomena tersebut luput dari perhatian para elite politik. Padahal isu lingkungan, terlebih perubahan iklim adalah hal penting yang harus menjadi komitmen semua pihak. Apalagi mereka para calon wakil rakyat dan bakal calon presiden dan wakil presiden yang akan berkontestasi pesta demokrasi 2024 mendatang.

Perubahan Iklim 

Maraknya bencana alam, pemanasan global, periode ulang El Nino dan El Nina yang semakin singkat, krisis air bersih, kemarau yang berkepanjangan, peningkatan konsentrasi Co2 merupakan serangkaian fenomena alam yang erat kaitanya dengan tanda perubahan iklim. Kondisi tersebut nyata dirasakan oleh masyarakat dunia. Sebagai contoh peningkatan suhu udara secara signifikan yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia telah merefleksikan betapa ekstremnya cuaca hari ini.

Patut disayangkan juga di tengah perubahan iklim pemerintah terus menggenjot agenda pembangunan. Eksploitasi alam secara berlebihan, transisi energi yang digadang gadang mampu untuk mengatasi kerusakan lingkungan ternyata tidak juga memberikan dampak yang signifikan terhadap perbaikan lingkungan.

Patut menjadi pertanyaan bersama apakah langkah pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah tanpa memperhatikan lingkungan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat?  Mengingat pembangunan yang tidak memperhatikan lingkungan justru akan berdampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat saat ini dan juga masa mendatang.

Disisi lain, pembangunan yang dilakukan tanpa memperhatikan kelestarian alam juga berdampak pada harga yang harus dibayarkan ketika terjadi bencana. Langkah mitigasi, penanggulangan, hingga pemulihan jika dirupiahkan sangat jauh lebih besar dari capaian pendapatan ekonomi yang ditargetkan. Artinya, pembangunan tanpa memperhatikan lingkungan mempunyai potensi kerugian yang lebih besar dan berdampak pada kesejahteraan masyarakat.

Baca Juga  Perdebatan Akar Rumput Versus Elite Muhammadiyah dalam Penanganan Covid-19

Pandangan Al-Qur’an tentang Perubahan Iklim

Fenomena perubahan iklim telah dijelaskan di dalam Q.S. Al- ‘Araf ayat 56-58

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ ۖ حَتَّىٰ إِذَا أَقَلَّتْ سَحَابًا ثِقَالًا سُقْنَاهُ لِبَلَدٍ مَيِّتٍ فَأَنْزَلْنَا بِهِ الْمَاءَ فَأَخْرَجْنَا بِهِ مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ ۚ كَذَٰلِكَ نُخْرِجُ الْمَوْتَىٰ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

وَالْبَلَدُ الطَّيِّبُ يَخْرُجُ نَبَاتُهُ بِإِذْنِ رَبِّهِ ۖ وَالَّذِي خَبُثَ لَا يَخْرُجُ إِلَّا نَكِدًا ۚ كَذَٰلِكَ نُصَرِّفُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَشْكُرُون

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.(56) Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran. ( 57) Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur. (58)

Berbagai literatur tafsir menjelaskan bahwa ayat tersebut menjelaskan mengenai fenomena turunnya hujan. Dari angin yang berhembus membawa awan yang mengandung uap air kemudian angin tersebut membawa awan dari daerah yang memiliki suhu lebih dingin menuju daerah yang memiliki suhu yang lebih panas dan akhirnya turunlah hujan.

Baca Juga  Standar Kecantikan adalah Alat Diskriminasi Kapital

Kemudian dari hujan tersebut Allah SWT menumbuhkan tumbuhan dan menghasilkan air tanah guna keberlangsungan hidup manusia. Oleh karena itu, tugas utama manusia dalam konteks lingkungan hidup adalah menjaga lingkungan. Sebagaimana dijelaskan di dalam surah Al- Baqarah ayat 30 sebagai seorang khalifah di muka bumi.

Konstitusi Hijau

Mengenai fenomena alam tersebut, Jimly Ashiddiqie menjelaskan bahwa pasal 28 ayat (1) dan pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945 adalah dasar penyebutan konstitusi hijau. Pasal 28H ayat (1) menjelaskan setiap orang berhak hidup sejahtera, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal ini sesuai dengan visi yang dimiliki oleh WHO yang ingin menyediakan air bersih dan air minum yang sehat, makanan yang cukup dan tempat tinggal yang aman.

Sedangkan pasal 33 ayat (4) menjelaskan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Frase berwawasan lingkungan tersebut diartikan sebagai upaya pelestarian alam. Artinya pembangunan ekonomi harus memperhatikan ekosistem dan kelestarian alam. Alasan tersebut menunjukkan landasan yuridis bahwa konstitusi kita ramah terhadap lingkungan, tinggal bagaimana aturan turunan yang ramah terhadap lingkungan demi menjaga bumi agar tetap lestari.

Kebijakan Politik Hijau

Penerapan konstitusi hijau tersebut sangat erat kaitannya dengan kebijakan politik yang berwawasan lingkungan. Kebijakan tentang politik hijau ini sudah dikenal sejak tahun 1970 an. Kala itu muncul berbagai partai politik yang menawarkan gagasan tentang penghijauan.

Negara Jerman contohnya, di negara tersebut  terdapat partai politik Die Grunen yang mengusung visi politik penghijauan untuk Jerman. Sedangkan di Belanda, sebuah komunitas bernama Kabouters berhasil memenangkan suara pemilih. Tentunya visi yang diusung komunitas Kabouters memberikan warna dalam kebijakan politik yang ada di negara Belanda.

Baca Juga  Reuni 212: Spirit Kolektivitas atau Ambiguitas?

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Tampaknya kebijakan politik yang ramah lingkungan masih jauh dari kenyataan. Gagasan tersebut didasarkan pada penerapan pasal 39 ayat (1) dan (2) di dalam Undang- Undang/Perppu Cipta kerja yang mereduksi keterbukaan informasi dan peran masyarakat dalam mengakses informasi tentang dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL). Dokumen Amdal menjadi sangat penting untuk diperhatikan bersama bahwa pembangunan infrastruktur guna menunjang perekonomian harus ramah terhadap lingkungan guna menghindari ancaman bencana alam.

Momentum Pesta Demokrasi Indonesia

Pesta demokrasi di tahun 2024 tentunya menjadi momentum untuk menyusun kebijakan politik yang ramah lingkungan. Isu krisis iklim dan lingkungan hijau tentunya harus menjadi prioritas utama dalam gelaran pemilu 2024 mendatang.

Harapan besar ada pada pemilih pemula. Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebut bahwa Pemilu 2024 bakal didominasi oleh pemilih muda yang berusia maksimum 40 tahun pada hari pemungutan suara 14 Februari 2024. Prosentase pemilih pemula sekitar 53-55%, atau 107 – 108 juta dari total jumlah pemilih Indonesia yang diperkirakan mencapai 204 juta pemilih.

Dengan jumlahnya yang sangat besar, suara kaum milenial akan menjadi penentu suksesnya Pemilu 2024. Artinya, jika seorang elite politik ingin memenangkan pemilu 2024 maka gagasan politik hijau yang ramah lingkungan menjadi modal utama yang harus diperjuangkan. Hal ini didasarkan pada survey Indikator Politik Indonesia dan Yayasan Indonesia Cerah pada September 2021 yang lalu patut diperhatikan. Hasil survei itu menyatakan kepekaan kaum milenial terhadap isu krisis iklim dan lingkungan berada diperingkat dua setelah isu korupsi.

Editor: Soleh

Rheza Firmansyah
2 posts

About author
Dosen Prodi Ilmu Hukum Universitas Siber Muhammadiyah dan Advokat LBH Muhammadiyah Ponorogo
Articles
Related posts
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…
Perspektif

Mau Sampai Kapan IMM Tak Peduli dengan Komisariat?

2 Mins read
Barangkali unit terkecil IMM yang paling terengah-engah membopong organisasi adalah komisariat. Mereka tumbuh serupa pendaki yang memanjat gunung tanpa persiapan dan dukungan….
Perspektif

Begini Relasi Ideal Antara Guru, Murid, dan Orang Tua

4 Mins read
Heboh kriminalisasi guru menjadi tranding topic dalam beberapa waktu terakhir ini. Beberapa guru yang sedang menjalankan tugasnya sebagai seorang pendidik harus berurusan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds