Radikalisasi agama itu real. Bahwa ada kelompok yang mengharamkan demokrasi dan mengganti dengan khilafah itu real—menganggap bahwa rezim ini adalah thaghut itu real.
Bahwa ada kelompok yang suka mengkafirkan siapapun selain kelompoknya adalah real. Ada gerakan yang menghalalkan darah dan bom bunuh diri adalah jihad itu juga real—jangan dikaburkan dengan yang lain. Tapi kemudian melarang perempuan pakai cadar, melarang laki laki bercelana cingkrang (tidak isbal), gamis, dan parfum itu lebay.
Gamis dan Cadar
Belum pernah baca apakah sudah ada riset tentang korelasi jenggot, gamis, isbal dan cadar dengan gerakan jihad. Apakah gamis, janggut dan cadar sebagai simbol radikalisasi terhadap kemapanan atau sikap radikal itu menagih seseorang harus mengenakan gamis dan cadar.
Gerakan radikal yang saya maksud adalah upaya untuk mengganti Pancasila dengan Islam, liberal, komunis, atau sosialis sebagai dasar dan sumber hukum negara yang sah. Memang belum ada spesifikasi—apakah kelompok ini yang kemudian diindikasikan sebagai kelompok yang berpaham radikal.
Radikal selalu merujuk pada sikap ekstrem melawan kemapanan atau status quo. Dalam hal ini adalah negara sebagai yang berkewenangan secara de facto dan de jure. Maka apapun tindakan yang dianggap melawan negara adalah radikal.
Pandangan ini sangat sempit dan bergantung pada subyektifitas negara. Apakah negara bisa bersikap obyektif dan bisa membedakan antara sikap melawan dengan sikap kritis. Ini problem klasik yang tak mudah di urai.
Radikalisasi Bukan Hanya Karena Agama dan Politik
Dr. Alfian Ketua LIPI di era tahun 80-an menyebutkan dalam Islamic Modernism in Indonesian Politics, the Muhammadiyah Movement during the Dutch Colonial Period 1912-1942 (1989). Ia memberi banyak informasi tentang disparitas aliran Islam modern dan tradisional yang berkonflik.
Siti Djenar disebut radikal karena melawan ulama status quo dan segenap aktifitas dan persinggungannya dengan politik praktis. Maka Syeik Siti Jenar pun harus dibunuh—pun dengan gurunya Abu Mansyur al Hallaj atau Abu Yazid al Bustami. Keduanya disebut radikal karena melawan fikih mapan.
Fahri Ali mencoba memilah antara wali pesisir dan wali pedalaman secara demografi—ada kaitan kuat dengan pola pikir dan paham keberagamaan. Wali pesisir cenderung radikal dalam koneksitas melawan semua budaya dan tradisi lokal. Sementara wali pedalaman justru sebaliknya menjadikan budaya dan tradisi sebagai media dakwah.
Hal yang sama pernah dikemukakan Robert N Bellah dan Harry J Benda tentang radikalisasi dan pembrontakan petani Jawa. James C Scoot malah menunjukkan bahwa isu agama dan politik bukan satu satunya penyebab radikalisasi.
Radikalisasi justru berubah dan bergeser dari isu agama dan politik menjadi isu ekonomi. Kenaikan harga pangan yang tidak terjangkau, menurunnya tingkat kesejahteraan, dan diskriminasi kebijakan yang kerap merugikan petani bisa menjadi picu lahirnya gerakan radikalisasi. Tergambarkan pada Tiga Tuntutan Rakyat (TRITURA) berkembang menjadi gerakan radikal melawan kekuasaan orde lama.
Perang Diponegoro Beda dengan FPI dan HTI
Upaya deradikalisasi di Jawa justru melahirkan ekstremisasi. Radikalisasi kian meluas dengan isu-isu lokal yang terus berkembang tidak terkendali. Kompeni gagal mengelola isu lokal.
Perang Diponegoro tidak sebangun dengan perlawanan FPI dan HTI yang ingin mengubah Republik menjadi khilafah. Juga tidak sama dengan gerakan takfiri yang menggunakan teror dan kekerasan untuk mewujudkan tujuannya. Perang Diponegoro jelas perang sabil karena melawan penjajah. Berbeda sangat jauh dengan gerakan radikal yang ingin mengubah konstitusi.
Banyak hal tersamarkan dalam ikhtiar menumpas radikalisasi, sementara sejarah tak cukup mampu menjadi pengkisah yang baik dan jujur. Para pembrontak yang dicap radikal kerap hilang dari sejarah dengan cerita yang dibangun para penguasa. Dan negara gagal mengelola.
***
Saya pernah berharap sebagai sesama cendekiawan Prof. Mahfud MD bisa dengan cerdas mengurai masalah ini. Memberi masukan kepada Presiden dan Kemenag dengan pendekatan akademik-kultural atau progresif—moderatif. Bukan larut dalam pendekatan politik-represif.
Prof Mahfud MD sedang berikhtiar meletakkan dasar-dasar berpikir rasional-obyektif menjauh dari pikiran subyektif—overmacht. Agar tidak kehilangan nuansa akademik-atmosphere di mana saya pernah belajar dan mengaguminya. Tapi ini pekerjaan sulit di tengah politik identitas. Seperti menegakkan benang basah.