Belakangan ini isu tentang kesehatan mental seperti gangguan depresi mayor menjadi isu sentral di beberapa negara maju seperti Amerika, Korea Selatan, dan Jepang. Gelombang kesadaran kolektif dari negara-negara tersebut pun berdampak ke negara Indonesia.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya seminar mengenai kesehatan mental yang terselenggara. Selanjutnya, media sosial yang membahas kesehatan mental mulai banyak. Lembaga konsultasi psikologi yang menawarkan jasanya secara gratis atau dengan potongan harga juga kian marak. Fenomena tersebut tentu menjadi fenomena yang patut disyukuri. Hal ini karena mulai terbentuknya kesadaran kolektif, atau bahasa islaminya ‘kesalehan kolektif’.
Namun di balik maraknya dan berkembangnya isu kesehatan mental, ternyata ada satu titik kecil yang sangat penting yang dilewatkan. Hal itu adalah empati terhadap penyintas. Ini mempengaruhi sikap kita sebagai faktor eksternal, atau disebut sebagai lingkungan bagi sang penyintas.
Asumsi saya yang hadir ini memang sangat subjektif. Namun bagi saya, penilaian subjektif yang kemudian terakumulasi menjadikannya objektif. Kebetulan saya juga adalah seorang penyintas yang memiliki gangguan major depression (gangguan depresi mayor).
Maka, tulisan ini akan coba saya bawa dari sudut pandang seorang penyintas. Dalam hal ini saya adalah penyintas dengan gangguan major depression/clinical depression disorder. Terhadap empat aspek penting dari diri manusia yaitu biologis, psikologis, sosial, dan spiritual.
Mengenal Gangguan Depresi Mayor
Sebelum menjelaskan empat poin tersebut saya ingin sedikit menjelaskan terkait gangguan mental dengan jenis major depression. Dijelaskan dalam Fawcett, (2013) mengatakan major depressive disorder adalah kondisi di mana seseorang merasa tertekan. Tekanan tersebut menghasilkan kesedihan, kehampaan, kekosongan, keputusasaan dan merasa tidak berguna.
Gangguan ini juga menyebabkan turunnya minat dan bakat serta hilangnya kesenangan terhadap hal yang disukai. Secara fisik gangguan ini juga menyebabkan turun-naiknya berat badan secara drastis sekitar 5%. Konsentrasi terganggu, kelelahan yang tidak berkesudahan, dan yang paling parah adalah memiliki pikiran bunuh diri (self ideation) bahkan perilaku bunuh diri itu sendiri (suicidal attempt).
Hubungan Otak dengan Gangguan Depresi Mayor
Pada poin pertama yang menyebabkan hadirnya gangguan depresi mayor adalah faktor biologis. Faktor biologis yang dimaksud adalah genetik. Namun hal ini masih menjadi perdebatan di kalangan profesional yang mempunyai fokus terhadap isu ini.
Akan tetapi semua profesional sampai saat ini sepakat bahwa yang terganggu dari faktor biologis seorang dengan gangguan depresi mayor adalah ketidakseimbangan neurotransmiter seperti serotonin dan norepinefrin. Dan hal ini juga diafirmasi oleh Dr. Lisa E. Kalynchuk, ahli depresi dari University of Victoria, Kanada.
Saya sendiri sebagai orang yang memiliki depresi rasanya sangat sulit mengendalikan pikiran saya. Pikiran saya terasa sulit membedakan hal satu dengan yang lainnya. Seakan-akan semuanya adalah hal yang menekan dan harus diselesaikan.
Namun, permasalahan seorang yang mempunyai depresi seperti saya adalah saya tidak tahu bagaimana caranya untuk menyelesaikan masalah ini. Sulit bagi saya untuk mengurai satu persatu karena ia terasa penuh dan menekan.
Untuk faktor pertama ini yang dapat dilakukan seorang dengan depresi adalah datang ke psikolog atau langsung ke psikiater. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan pertolongan secara medis. Pada tataran psikiater dalam faktor ini, seorang yang memiliki depresi seperti saya akan diberikan obat berupa antidepresan yang berguna untuk menyapa sel otak saya yang tidak seimbang, penyebab banyaknya permasalahan dalam berpikir.
Tekanan Psikis Menyebabkan Gangguan Depresi Mayor
Setelah faktor biologis, selanjutnya gangguan depresi mayor dapat dilihat dari segi atau sudut pandang psikologis. Dalam sebuah kajian, seorang yang mengalami depresi mayor memiliki kondisi psikis yang sangat tertekan.
Biasanya gangguan depresi mayor dapat hadir dari tekanan-tekanan akan trauma, luka batin (primal wounds) dan urusan yang belum terselesaikan (unfinished business). Jika ketiga hal tersebut tidak disadari, maka penyintas rentan terhadap depresi. Penting bagi kerabat penyintas untuk mengafirmasi emosi penyintas dan menerima keadaannya.
Penekanan psikologis sejatinya hadir dari individu yang abai, menolak (denial) dan menekan (repress) emosi yang dirasakan serta luka yang dialami. Sehingga ada saat di mana dirinya tidak sanggup lagi menahan emosi hingga mengubur, menolak dan mengabaikan emosi negatif yang dimiliki. Akhirnya, luapan emosi tersebut pecah dan bertransformasi menjadi depresi.
Sebagaimana pengalaman empiris saya, seorang yang memiliki gangguan depresi mayor memiliki self-image dan self-acceptance yang sangat rendah. Seorang yang mengalami depresi secara psikologis akan menganggap dirinya sebagai orang yang menyusahkan, tidak bernilai, tidak pantas untuk dipedulikan.
Selanjutnya, orang yang mengalami depresi memiliki sudut pandang yang buruk terhadap banyak hal. Maka tidak heran jika gangguan depresi mayor sangat erat dan bersahabat dengan anxiety atau kecemasan akan hal-hal yang sedang dan akan terjadi ke depan.
Pentingnya Lingkungan untuk Kesehatan Mental
Lingkungan sosial mempengaruhi kepribadian individu dan lingkungan lah yang membentuk baik dan buruknya seseorang. Hal inilah yang dikatakan oleh Hadi, Yusuf Dwi (2014) dalam jurnalnya.
Selaras dengan teori yang disampaikan sebelumnya, menurut Regis McHady dalam buku Loving the Wounded Soul mengatakan faktor sosial atau lingkungan juga berpengaruh terhadap ketahanan mental seorang yang memiliki depresi. Maka lingkungan yang suportif sangat dibutuhkan oleh penyintas gangguan mental gangguan depresi mayor.
Namun, sangat disayangkan kendala di Indonesia sampai saat ini adalah lingkungannya masih belum terlalu suportif terhadap penyintas gangguan mental. Banyak stigma negatif yang hadir dan tertuju kepada penyintas. Adapun tuduhan tidak sehat itu seperti penyintas gangguan mental hanya cari perhatian, orang lemah, tidak beriman, dan tuduhan-tuduhan negatif lainnya.
Tentu hal ini menjadi pr kita bersama, karena pada hakikatnya gangguan atau penyakit mental sama berbahayanya dengan penyakit fisik. Maka pertanyaan yang tepat dilontarkan terhadap kasus ini adalah kenapa ada perbedaan dan diskriminasi antara penyakit psikis dan penyakit fisik? Padahal keduanya memiliki penjelasan secara medis.
Spiritual dalam Kesehatan Mental Mitos?
Faktor terakhir yang sebenarnya masih menjadi perdebatan adalah faktor terakhir ini, spiritual. Namun, saya percaya dengan dimaknainya faktor spiritual dengan tepat maka akan sangat berdampak pada sehatnya mental seseorang. Dalam kajian psikologis, faktor spiritual lebih familier dimaknai sebagai well-being atau kesejahteraan.
Kesejahteraan adalah kondisi di mana mental seseorang merasakan juga mengenal emosi-emosi yang baik dengan segala baik buruknya kejadian yang menimpanya. Hal ini tentu bersangkutan dengan hakikat bahwa manusia adalah makhluk yang lemah juga relatif. Maka, perlu adanya penggantungan harap dan emosi kepada suatu hal yang memiliki kepastian serta otoritas di atas manusia itu sendiri, yaitu Tuhan.
Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan kesehatan mental adalah akumulasi dari faktor-faktor yang tidak bisa disederhanakan. Maka sebagai manusia, ada baik dan benarnya kita memaknai kesehatan mental, khususnya gangguan depresi mayor secara komprehensif agar tidak menjadi manusia yang sempit dalam bersikap.