Setelah memutar video dari kanal Youtube “Voice Alauddin” yang menampilkan Dr. Mohd Sabri AR─seorang Dosen UINAM, Pengurus BPIP RI, Penulis, dan tidak berlebihan jika saya menyebutnya Filsuf─selaku pembicara dalam sebuah forum yang dilaksanakan oleh BPIP RI, dengan tema Membuka Rahasia “Pancasila”: Dialektika dan Masa Depan Bangsa. Saya menemukan satu tesis dan menjadi judul dari tulisan saya ini “Generasi Milenial: Kelompok yang Terdampak Kekosongan Kognisi Pancasila”.
Mohd Sabri─pasca reformasi─menemukan satu fenomena lahirnya generasi yang mengalami kekosongan kognisi Pancasila. Sebagaimana yang saya kutip dari Kamus Ilmiah Populer karya Pius A. Partanto & M. Dahlan Al Barry (1994), kognisi adalah pengamatan; pemikiran; dan pencapaian pengetahuan tentang sesuatu.
Kognisi Pancasila berarti bisa dipahami sebagai pengetahuan dasar tentang Pancasila. Meskipun di sini saya menyebut terma “dasar”, namun sesungguhnya saya sedang bermaksud menunjukkan tentang pengetahuan yang mendalam terhadap Pancasila dan melampaui pemahaman tekstualitasnya.
Dalam bukunya, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, Yudi Latif (2011) mengutip pernyataan John Gardner “Tidak ada yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar”. Dalam konteks Indonesia sebagai nation-state, bagi saya, sesuatu itu tepatnya dan lebih utama adalah Pancasila.
Pancasila yang Masih Sebagai “Hafalan”
Jika saya merujuk John Gardner dalam Yudi Latif tersebut, jangankan untuk mempercayai sesuatu─yang dalam hal ini, sesuatu itu saya maknai Pancasila─generasi milenial, sebagaimana pernyataan Mohd. Sabri sedang mengalami apa yang disebutnya dengan “Kekosongan Kognisi Pancasila”.
Sebelum saya mendengar frase ini dari Mohd. Sabri, saya seringkali menyampaikan bahwa Pancasila selama ini hanya terkesan sebagai bahan hafalan siswa dan “rukun wajib” pelaksanaan upacara peringatan hari-hari nasional. Selain itu hanya menjadi pelengkap ikrar, sumpah, dan janji jabatan. Meskipun tentunya, tidak digeneralisir untuk semua generasi milenial atau generasi bangsa.
Selebihnya, jarang menyentuh dan menjadi narasi dalam perbincangan ruang-ruang publik dan termasuk ruang-ruang komunitas. Patut dicurigai termasuk dalam ruang private, apalagi jika diharapkan menjadi pedoman perilaku dalam kehidupan sosial.
Dalam kehidupan era digital, terutama generasi milenial─yang terkesan telah mengalami salah kaprah, karena baik generasi Y maupun Z oleh sebagian besar menyebutnya generasi milenial, padahal tepatnya yang dimaksud adalah generasi Y─telah memiliki dan menampakkan trend kecendrungan terutama di media sosial, dunia virtual terhadap operasi perlawanan melawan grand narration.
Yang saya maksud adalah generasi milenial cenderung bergumul, “bermesraan” dan melakukan percakapan intim dengan sesuatu yang kurang bermakna, dangkal, lelucon, hoax, making fun. Generasi Milenial berkutat pada diksi-diksi yang instan, bersifat permukaan, dan tidak memiliki kedalaman substansial.
Terkait kecenderungan generasi milenial ini, Bernando J. Sujibto telah pernah menegaskan dalam sebuah tulisannya Milenialay, Sebuah Tantangan Islam Hibrida yang menjadi bagian dalam buku “Muslim Milenial” (2018). Jika saya meminjam istilah Erich Fromm, ini bisa dikategorikan dan disingkat sebagai Generasi Nekrofili. Mencintai sesuatu yang kurang (memberikan/ber) makna.
Sedangkan baik Indonesia maupun Pancasila, dalam pandangan Mohd. Sabri adalah merupakan kode─yang dalam tradisi semiotika─berarti sesuatu yang muncul karena narasi – narasi biasa tidak mampu mengungkapkan/menjelaskan realitas yang sebenarnya.
Pancasila Sebagai Grand Narration
Dari hal ini, saya menilai bahwa Pancasila adalah merupakan grand narration (narasi besar) yang harus memenuhi ruang kognisi generasi millenial, ruang-ruang publik, ruang-ruang komunitas agar apa yang menjadi harapan John Gardner sebagaimana dikutip oleh Yudi Latif di atas dan tentunya para Founding Fathers bisa terwujud.
Terkait hal ini, kekosongan Kognisi Pancasila tersebut, Mohd. Sabri menegaskan pentingnya kecerdasan dan pencerdasan. Generasi milenial, sebagai generasi yang memiliki posisi strategis untuk masa depan bangsa dan negara Indonesia, harus memiliki pemahaman yang benar, baik, dan mendalam tentang Pancasila.
Bagi saya, salah satu yang bisa memberikan pencerdasan untuk mengisi ruang kognitif terkait Pancasila adalah buku karya Yudi Latif, Negara Paripurna, buku Wawasan Pancasila, dan masih banyak buku lainnya. Termasuk apa yang dijelaskan oleh Mohd. Sabri dalam video tersebut (bisa di-searching melalui Youtube dengan menuliskan tema, nama kanal, atau nama Mohd. Sabri).
Fenomena yang Memprihatinkan
Dalam tulisan ini, ada beberapa hal mendasar yang harus dipahami oleh generasi milenial terkait diskursus Pancasila. Ini sesuatu yang urgen dan signifikan. Bukan hanya persoalan kekosongan Kognisi Pancasila dalam ruang kognitif generasi Millenial, melainkan ada beberapa fenomena yang cukup memprihatinkan untuk masa depan bangsa dan negara Indonesia.
Fenomena yang saya maksud antara lain: sebagaimana materi Pidato Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed yang memberikan sorotan tajam pada intoleransi keagamaan. Dan berdasarkan data yang dituangkan sebagai hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Yang mana, menemukan bahwa 58,15 persen pelajar dan mahasiswa cenderung berpandangan radikal dan 51,1 persen intoleran terhadap mereka yang seagama.
Terkait adanya tindakan intoleransi, diperkuat oleh fakta-fakta empiris yang diungkapkan oleh Ahmad Najib Burhani dalam materi Pengukuhan Guru Besarnya di LIPI. Dan beberapa hal yang saya saksikan sendiri. Trans-ideologi yang bermaksud menggerogoti Pancasila, tanpa kecuali tingkat korupsi di Indonesia, menunjukkan kondisi yang memprihatikan dan tidak sedang menjiwai nilai –nilai Pancasila, tidak Pancasilais.
Generasi Milenial perlu memahami bahwa Pancasila diambil dari Jenius Nusantara yang pada substansinya bersifat menyerap dan menumbuhkan. Inti Pancasila sebagaimana dipaparkan oleh Mohd. Sabri adalah kemajemukan.
Berdasarkan nilai Pancasila kemajemukan, pluralitas, atau kondisi Indonesia yang sangat beragam, dan dinamis adalah sebuah anugerah ilahi. Mohd. Sabri menilai ini adalah “By Design Ilahi” atau “Taken for granted”. Melawan ini tentunya adalah sama saja anti ilahi.
Selain daripada itu, yang perlu dipahami sebagaimana bisa dibaca melalui buku Yudi Latif, Negara Paripurna atau melalui video Mohd. Sabri tersebut, bahwa Pancasila itu adalah “Meja Statis” dan “Leitstar Dinamis” yang diperas dari pemahaman philosofische grondslag dan Weltanschauung. Dari sini, menghasilkan 3 hal, yaitu: dasar negara, falsafah hidup bangsa, dan ideologi negara.
Pancasila Sebagai Ideologi
Pancasila adalah meja statis, dasar statis, yang merupakan pondasi utama untuk membangun Indonesia merdeka dan berdaulat di atasnya. Jadi, jika ada ideologi selain Pancasila yang bermaksud ingin menggantikan Pancasila, sama saja ingin meruntuhkan bangunan ke-Indonesia-an.
Pancasila sebagai ideologi dalam pandangan Soekarno dalam sebuah sidang PBB, berani dan percaya diri menegaskan sebagai ideologi Par Excellence yang lebih matang menjadi jalan terbaik antara ideologi Kapitalisme Liberal dan Sosialisme-Komunisme yang disampaikan oleh Bernard Russel pada saat sidang PBB yang dihadiri oleh Soekarno.
Generasi Millenial harus bangga menjadi anak Bangsa yang menjadikan Pancasila sebagai Dasar Negara, Falsafah Hidup Bangsa, dan Ideologi Negara Indonesia. Dan kebanggaannya harus dibarengi dengan kedalaman pemahaman.