Perspektif

Generasi yang Tidak Mengobrol

4 Mins read

Siang itu saya terpaksa berdiri di depan pintu toilet kereta lokal Rangkas-Merak, Banten. Gerbongnya penuh sesak. Beberapa penumpang, termasuk saya, memang membeli tiket yang tanpa kursi. Tiket dengan kursi sudah ludes beberapa menit sebelumnya. Tak apa. Toh perjalanannya tidak lama.

Model kursi kereta lokal itu tegak saling berhadapan dengan konfigurasi 3-2.

Tak jauh dari tempat saya berdiri, ada ibu-ibu penjual makanan. Ia membawa dua baskom yang ditutup dengan serbet. Isinya entahlah. Mungkin pecel, sayuran, atau gorengan. Ia baru selesai berjualan di pasar. Hendak pulang ke rumah.

“Mau beli, dek?” tanyanya ke saya.

“Makasih buk,” jawab singkat saya, sambil senyum.

“Ibuk baru selesai jualan. Mau pulang,” si ibu itu bercerita.

“Jualan di mana buk?” sahut perempuan muda di samping si ibu. Saya taksir berusia 30an.

Obrolan pun berlanjut kemana-mana. Ngalor ngidul kalau kata orang Jawa. Suasana di gerbong memang riuh rendah. Orang-orang saling mengobrol. Menanyakan pertanyaan-pertanyaan dasar. Mau kemana? Tinggal di mana? Kenal si anu? Saya punya teman di sana. Sebagian berlanjut ke yang agak serius. Mumpung masih muda, manfaatkan waktu dengan baik. Saya mau ke Sumatra, pulang kampung, rindu sekali dengan mamak. Saya pisah dengan suami tiga tahun lalu. Dan seterusnya. Dan seterusnya.

Anda yang generasi Z dan digital native pasti sulit menjumpai pemandangan seperti ini. Di transportasi publik sekarang, terutama yang penumpangnya didominasi anak-anak muda dan kelas menengah, suasananya lebih sering sepi. Kepala menunduk, telinga tersumbat.

Saya menjumpai pemandangan yang sama ketika naik kereta Rajabasa dari Tanjung Karang (Lampung) ke Martapura (Sumatra Selatan) beberapa waktu lalu. Keretanya hampir sama. Tegak, saling berhadapan, konfigurasi 3-2. Suasanya juga hampir sama. Riuh rendah dengan obrolan antar penumpang.

Baca Juga  Menggagas Jurnalisme Mazhab Kritis

Penumpang di depan saya, seorang ibu paruh baya, menanyakan tujuan saya. Saya bilang, akan ke Martapura, lalu lanjut ke Palembang esok harinya.

“Nanti kalau ke Palembang mampir lah ke rumah ibu,” ujarnya.

Saya tidak tau kalimat itu basa-basi atau tidak. Yang jelas, suasana ini mengingatkan saya pada masa-masa SMP-SMA, ketika setiap pulang dari pesantren selalu naik bis lokal. Berbaur dengan pedagang pasar dan pekerja non formal lainnya. Suasana begitu ramai. Obrolan mengalir dari mulut ke mulut.

Saya tidak tau suasana transportasi publik zaman dulu. Namun, melihat dari gelagat orang tua-orang tua di transportasi publik sekarang yang relatif lebih suka mengobrol, ditambah fakta bahwa smartphone baru muncul beberapa tahun belakangan, tampaknya transportasi zaman dulu –setidaknya sebelum era smartphone– lebih ramai daripada sekarang.

Sekarang, tiga penggalan cerita yang saya tulis di atas sulit Anda temui. Di bis, kereta api, kapal, apalagi pesawat, orang-orang cenderung tidak bicara. Kalaupun bicara, itu hanya ke orang satu rombongan yang memang sudah dikenal, atau dengan petugas atau pramugari. Sebenarnya hal ini tidak masalah sama sekali. Ia hanya akan menjadi masalah ketika kita melihat fakta bahwa ternyata banyak dari kita yang merasa kesepian.

Saya tidak perlu mengutip berbagai hasil penelitian di sini. Anda bisa googling sendiri. Ketiklah kata kunci “tingkat kesepian di Indonesia” dan semacamnya.

Banyak dari kita yang merasa kesepian. Baik diam-diam maupun terang-terangan. Kalau Anda menonton film The Social Dilemma, Anda bisa melihat paparan penelitian tentang bagaimana kemunculan media sosial berkontribusi negatif pada perkembangan mental anak muda. Kita menjadi generasi yang semakin fragile, cemas, resah, rentan terhadap depresi dan bunuh diri. Sebagian ahli menyebut kita dengan “generasi stroberi”. Hal ini menjelaskan kenapa isu mental health menjadi semakin populer di kalangan anak-anak muda.

Baca Juga  Krisis Cita-cita dan Merosotnya Etos Bangsa

Penyebab-penyebab kesepian tentu sudah dikupas oleh para ahli. Anda bisa membacanya sendiri. Kendati demikian, rasa-rasanya kita perlu menengok kembali kearifan yang dimiliki dan diwariskan oleh nenek moyang kita. Yaitu kearifan untuk bersikap ramah dan senang mengobrol. Manusia adalah makhluk bercerita. Fondasi peradaban kita dibangun melalui cerita: negara bangsa, agama, sistem hukum, pergaulan, tatanan masyarakat, norma dan etika. Kitab suci berisi banyak cerita. Para leluhur mengajarkan nilai-nilai kebajikan melalui cerita.

Mengobrol, bercerita, dan basa-basi adalah langkah yang sangat awal dari membangun empati. Membangun empati adalah cara efektif untuk, meminjam bahasa anak sekarang, membuat hati kita menjadi penuh. Hati yang penuh adalah lawan dari hati yang sepi. Toh kesepian itu luas dampaknya. Punya efek ke kesehatan fisik.

Salah satu riset terpanjang di dunia yang dilakukan di Harvard menyebut bahwa faktor utama yang membuat seseorang bahagia dan berumur panjang adalah hubungan sosial yang hangat dengan orang lain. Tanpa hubungan yang hangat, orang akan gampang sakit, tidak bahagia, berumur pendek, serta mengalami penurunan fungsi otak.

Pola hidup individualisme memang tidak selalu identik dengan tidak adanya hubungan sosial yang hangat. Terkadang, dengan pola hidup demikian, seseorang tetap memiliki hubungan sosial yang hangat. Namun, secara umum, masyarakat yang tinggal di wilayah dengan pola hidup individualis memiliki peluang yang besar untuk lebih merasa kesepian dan tidak memiliki hubungan sosial yang baik dengan orang lain.

Pola hidup sosial seperti di pedesaan tentu ada dampak negatifnya. Anda yang kelas menengah dan hidup di kota bisa membuat daftar yang panjang tentang betapa tidak menyenangkannya kehidupan di desa yang hampir-hampir tidak ada batas privasi. Biaya sosialnya juga mahal. Kita harus menyisihkan banyak uang, waktu, dan tenaga untuk aneka macam acara. Seperti hajatan, gotong royong memperbaiki saluran air, arisan keluarga, pengajian, dan seterusnya. Di beberapa desa, setiap ada warga yang membangun atau merenovasi rumah, seluruh warga di satu RT wajib ikut gotong royong.

Baca Juga  Mengenal Perbedaan dengan Pemikiran Kalam Ibnu Qayyim

Tapi ya demikianlah kehidupan. Selalu ada harga untuk setiap pilihan.

Untuk menutup, sekali lagi, rasa-rasanya kita perlu kembali melihat ke belakang. Bagaimana kehidupan yang guyub membantu nenek moyang kita melewati masa-masa sulit. Sejak masa berburu meramu hingga berjuang melawan penjajah, kehidupan mereka tak lepas dari gotong royong. Gotong royong yang mengharuskan ada pertemuan tatap muka. Pertemuan tatap muka mengharuskan adanya obrolan.

Tidak ada salahnya untuk mencoba menormalisasi bicara dengan orang asing di kereta, bis, atau pesawat. Terutama bagi orang-orang yang merasa kesepian. Tidak ada salahnya untuk mencoba menormalisasi untuk bicara dengan strangers yang Anda temui secara tidak sengaja di kafe atau warteg. Barangkali ada percakapan-percakapan menarik yang bisa sedikit saja mengobati gundah di dalam hati. Hitung-hitung mengurangi screen time dan menambah people time.

Avatar
113 posts

About author
Mahasiswa Dual Degree Universitas Islam Internasional Indonesia - University of Edinburgh
Articles
Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds