Perspektif

Generasi-Z, Moderasi Beragama, dan Media Sosial

4 Mins read

“Saya senang karena acara ini banyak dihadiri oleh anak muda.” Begitu ujar Elga J Sarapung, Direktur Institut Dialog Antar-iman (DIAN) Interfidei, dalam Talkshow Ramadan: Haedar Nashir & Pengarusutamaan Moderasi Beragama yang diadakan di ADA SaRanG Building, Kalipakis, Bantul pada Minggu, 31 Maret 2024. Acara ini diinisiasi oleh Yayasan Pegiat Pendidikan Indonesia (PUNDI) dan berkolaborasi dengan PT Jamkrindo, Islam Milenial, Lab Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, serta Ada Sarang Building.

Mengenal Sekilas Sosok Haedar Nashir

Meskipun saya bukan ‘orang dekat’ Pak Haedar. Namun, bagi saya, Pak Haedar Nashir adalah salah satu Ketua Umum PP Muhammadiyah yang ikonik. Sebab gagasan moderasi yang ia tawarkan di tengah berkarutnya pertalian antara agama dan negara mampu untuk menegaskan posisi Muhammadiyah di tengah keberagaman Indonesia.

Selain itu, gagasan moderasinya tidak hanya diperuntukkan bagi penegasan identitas Muhammadiyah sebagai organisasi yang menekankan purifikasi dan dinamisasi nilai-nilai Islam, namun juga untuk menjaga keutuhan Indonesia sebagai negara Pancasila. Kiranya, dua alasan inilah yang membuat Pak Haedar menjadi sosok yang ikonik. Ia dan jalan pikirannya mampu diterima oleh semua kalangan, baik di Indonesia maupun di dunia Internasional.

Pak Haedar, terpilih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah pada Muktamar Muhammadiyah ke – 47 di Makassar tahun 2015. Pada saat yang bersamaan, istri Pak Haedar, Ibuk Siti Noordjannah Djohantini juga terpilih kembali sebagai Ketua Umum PP ‘Aisyiyah. Hal ini merupakan momentum langka dalam sejarah persyarikatan Muhammadiyah, sebab duet pasangan suami istri dalam menaungi gerakan islam berkemajuan ini hanya pernah terjadi pada masa awal organisasi ini berdiri saja, yaitu saat K.H Ahmad Dahlan dan Nyai Siti Walidah, meskipun dalam dokumen sejarah duet founding parent itu hanya berlangsung selama dua tahun.

Setelah itu, pada tahun 2022, Pak Haedar kembali terpilih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2022-2027 di Muktamar ke – 48 Surakarta. Keputusan Muktamar ini, memungkinkan Pak Haedar menjadi satu-satunya Ketua Umum PP Muhammadiyah terlama setelah era reformasi ( selama 12 tahun ). Meskipun, ini terjadi akibat adanya pandemi covid-19 yang melanda negeri ini. Akan tetapi, hal itu tidak sedikitpun mengurangi kontribusi Pak Haedar dalam menentukan arah Muhammadiyah. Apalagi pada masa-masa krisis Indonesia saat menghadapi ‘tragedi’ kemanusiaan itu.

Baca Juga  Panduan Islam Agar Kamu Tidak Flexing di Medsos

Pada saat beliau memimpin Muhammadiyah inilah, gagasan moderasi beragama sering beliau gaungkan. Gagasan itu secara autentik beliau tuangkan dalam orasi ilmiahnya pada tahun 2019 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Gagasan yang berjudul, “Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan: Perspektif Sosiologis” juga telah mengukuhkan beliau sebagai Guru Besar Ilmu Sosiologi di Kampus Muda Mendunia itu.

Komitmen Pak Haedar dalam menekankan pentingnya moderasi beragama tentu bukan kerja intelektual yang singkat. Hal itu adalah pilihan kecerdasan dan pengalaman panjang beliau selama aktif berkiprah di Muhammadiyah pada periode-periode sebelumnya. Ini dapat kita lihat dan temukan dalam karya-karya beliau yang sangat sarat akan nilai-nilai ideologis yang membebaskan dalam menghadapi tantangan zaman.

Gagasan Moderasi Beragama Haedar Nashir

Gagasan moderasi Pak Haedar setidaknya memiliki empat pokok penegasan. Pertama, moderasi posisi Pancasila. Kedua, moderasi dari berbagai ketimpangan sosial ekonomi. Ketiga, moderasi dalam pembangunan. Dan Keempat, moderasi dalam nasionalisme (Haq & Khoirudin , 2024). Pokok-pokok pikiran moderasi ini ibarat imun yang siap membekali Indonesia untuk tumbuh menjadi negara yang maju.

Melalui imun moderasi ini, diharapkan pertumbuhan Indonesia berjalan dengan semestinya. Tidak lepas dari nilai-nilai luhur kebudayaan bangsa dan juga tidak menutup diri akan perkembangan globalisasi yang menuntut kita untuk terus beradaptasi dengan kemajuan.

Maksudnya, dengan sikap dan pandangan yang moderat, kita mampu menyeimbangkan kemajuan bangsa secara proforsional, antara manusia dan infrastrukturnya. Sehingga, gagasan moderasi ini dapat menyelamatkan Indonesia dari kegalauan – seekor terbang, seekor lepas – dalam memilih sikap untuk menjadi bangsa yang maju dan berdaulat. Kemajuan yang tidak merusak nilai-nilai kemanusiaan dan kedaulatan yang tidak menolak kebaruan.

Selain itu, perlu dicatat bahwa Pak Haedar dalam gagasan Moderasi Indonesia dan Keindonesiaannya memberikan tawaran alternatif dalam memecahkan masalah radikalisme, ekstrimisme, dan juga terorisme. Menurutnya, radikalisme tidak bisa dibendung dengan deradikalisme. Sebab, hal ini hanya akan menjadi bias dalam membangun kedamaian. Apalagi, jika pendekatan dalam deradikalisme masih menggunakan pendekatan militeristik. Pak Haedar juga mengajak kita untuk adil sejak dalam pikiran, khususnya dalam melihat gejala Islamophobia. Karenanya, perlu ditekankan bahwa gerakan radikal, ekstrim, dan teror tidak perlu dikait-kaitkan dengan Islam melulu. Sebab, banyak faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya gerakan tersebut (Nashir, 2019).

Baca Juga  Hati-hati dengan Propaganda Terorisme di Media Sosial

Oleh karena itu, moderasi menjadi alternatif dalam menyikapi pertentangan pemahaman dalam internal umat Islam. Terlebih juga antar umat beragama yang ada, khususnya di Indonesia.

Generasi-Z, Media Sosial, dan Moderasi Beragama

Generasi-Z adalah mereka yang lahir pada kisaran tahun 1996 – 2013. Hari ini, Generas-Z tengah menempuh pendidikan di sekolah-sekolah dan universitas-universitas, bahkan beberapa dari generasi ini juga telah memasuki dunia kerja. Kelahiran generasi ini disambut meriah dengan laju perkembangan teknologi dan informasi. Sehingga, kecakapan teknologi informasi dan digital menjadi ciri dari generasi ini.

Beberapa ahli menyebut mereka dengan generasi internet atau i – generation. Artinya, tindak tanduk generasi ini tidak bisa dilepaskan dari kehidupan serba maju hari ini. Tentunya, ini menjadi kabar bahagia dalam mewujudkan masyarakat maju di masa yang akan datang jika potensi yang dimiliki itu dapat dikembangkan dan diberdayakan sebagaimana mestinya.

Namun, apakah generasi yang hampir menghabiskan waktunya bersama internet kurang lebih 5-6 jam perhari itu benar-benar tumbuh juga bersama pikiran yang maju? Sepertinya, generasi ini (termasuk saya) memiliki banyak tantangan ke arah sana, khususnya dalam mempraktikkan prinsip moderasi sebagai imun kemajuan bangsa Indonesia kedepannya.

Zuly Qadir, dalam penelitiannya menyebutkan bahwa anak muda dengan intensitasnya dengan dunia maya ternyata kerapkali terjebak dalam sikap intoleran dan radikal. Mulai dari ujaran kebencian di dunia maya dan fakta bahwa tidak sedikit anak muda terpapar paham-paham radikalisme lewat instrumen dunia maya (Qodir, 2016). Ini tentu saja memiliki efek kejutnya tersendiri. Ternyata, kesadaran mewujudkan moderasi beragama bagi Generasi-Z hari ini sangatlah besar.

Dunia maya, kerapkali menjadi penentu bagi kesadaran manusia. Dunia maya, dengan realitas semunya (hiperialitas dalam bahasa Jean Baudrillard) akan secara mudah membuyarkan kesadaran. Tidak hanya radikalisme, akibat dunia maya para generasi-Z larut dalam budaya konsumerisme, hedonisme, dan bahkan frustasi yang berkepanjangan akibat krisis identitas.

Baca Juga  Merawat Hidup Bersama, Refleksi Mendalam Seorang Tokoh Besar

Secara tidak disadari, dunia maya berkontribusi besar dalam mengonstruksi pandangan hidup generasi ini. Sebab, kesadaran yang dibangun oleh dunia maya pada akhirnya berimplikasi pada bagaimana generasi ini menentukan sikap dan pilihan dalam kehidupan nyatanya.

Generasi-Z harus berusaha membangun kesadaran kritis dalam gempuran era informasi ini. Segala informasi dalam dunia maya, jika tidak dibendung dengan sikap kritis tentu saja berbahaya. Apalagi, jika segala informasi dalam dunia maya diadopsi sebagai sebuah pengetahuan dan kebenaran. Hal inilah yang dipaparkan oleh Tom Nichols (The Death of Expertise, 2019) sebagai gejala matinya kepakaran.

Sudah seharusnya, Generasi-Z membangun kesadaran kritis dalam bermedia dan bijak dalam mengadopsi kemajuan serta mengimbanginya dengan kepercayaan terhadap pakar. Bahkan, hal itu tidak menutup kemungkinan bagi Generasi-Z untuk mengarusutamakan moderasi beragama lewat instrumen-instrumen yang disediakan oleh dunia maya.

Pak Haedar telah meletakkan pondasi yang cukup kuat bagi kita untuk menyikapi keberagaman. Hari ini, di tengah kehidupan masyarakat yang sangat abstrak dan mampu melintasi ruang serta waktu hanya dalam satu kali scroll, substansi moderasi beragama menjadi sangat menentukan. Oleh karena itu, Generasi-Z yang  intens dengannya (dunia maya) harus intens pula mendengungkan moderasi beragama. Apalagi, bagi kita yang menisbatkan diri sebagai pelopor, pelangsung, dan penyempurna amanah persyarikatan. Kitalah tampuk pimpinan umat nanti.

Editor: Soleh

Ramadhanur Putra
12 posts

About author
Ramadhanur Putra, lahir di Matur, Kab.Agam, Sumatera Barat pada 14 November 2001. Rama menempuh pendidikan dasar di kampung halaman, kemudian mondok di Ponpes Tahfidzul Quran Muallimin Muhammadiyah Sawah Dangka. Selama sekolah, Rama aktif di Ikatan Pelajar Muhammadiyah dan mengakhiri pengabdiannya pada tahun 2020 sebagai Ketua Umum PD IPM Bukittinggi. Sekarang Rama kuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta di Program Studi PAI. Ia juga aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, menjadi bagian dari forum diskusi ‘Komunal_YK’, alumni SILAM Angkatan II (Sekolah Pemikiran Islam) dan juga forum Baret Merah Angkatan XX di Sukoharjo, Jawa Tengah.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds