Review

George Orwell: Mengais Hikmah di Kehidupan Gelandangan

3 Mins read

“Kadang-kadang kami bekerja seperti tinggal punya waktu lima menit untuk hidup; Kadang-kadang mendadak senyap manakala semua pesanan berhenti dan semuanya tenang sesaat”.

Pengakuan itu datang dari penulis tenar yang dulu pernah hidup miskin. Ia tidak segan-segan bekerja sebagai jongos di sebuah hotel, setelah barang-barang berharganya dijual untuk sesuap roti pengganjal perut setiap harinya.

Lumrahnya jongos yang dinilai sebagai pekerjaan berstatus rendah, ia kerap bekerja melebihi porsi jam kerja berhadiah perlakuan kasar dengan gaji pas-pasan.

George Orwell: Penulis Buku Melarat

Penulis itu kini akrab di telinga dengan nama George Orwell. Melalui bukunya bertajuk Melarat, ia mengabadikan kisah kelam hidupnya dalam bentuk narasi yang mudah dipahami orang awam.

Kendati demikian, di dalamnya ia menyelipkan satu dua kritik kepada penguasa bahwa, manusia yang tidak memiliki apa-apa tidak serta merta berhak peroleh perlakukan hina.

George Orwell memulai kisah kelamnya ketika bersua dengan teman dekatnya yang memiliki cacat tubuh, Boris, yang diharapkan dapat mengubah perundungan nasibnya (hlm. 38).

Sebelumnya, Boris dengan nada rada angkuh berpesan, “… kalau kamu tidak punya pekerjaan, datanglah padaku.” Namun naas, alih-alih mendapatkan kehidupan yang lebih baik, Orwell justru terjerembab dalam titik terendah dalam hidupnya. Keduanya malah hidup terlunta-lunta.

Keduanya juga berkali-kali berusaha mencari kerja dengan perjalanan yang jauh, jenuh, dan merongrong rasa lapar dan dahaga. Namun setiap kali mendapati pemilik restoran kemudian melamar kerja, keduanya langsung ditolak.

Dalih penolakannya cukup mudah, restoran atau hotel tidak menerima orang yang cacat karena tempo kerjanya lamban, dan tidak merekrut orang yang belum memiliki pengalaman kerja di tempat serupa (hlm. 47).

Akan tetapi lama-lama keduanya mendapatkan kerja di sebuah hotel. Kendati begitu, problem ketahanan pangan dan kepemilikan uang dari keduanya tidak lantas bisa mentas. Keduanya masih harus berjibaku dengan kerasnya beban menjadi pekerja kasar, selain derasnya kalimat-kalimat kasar nihil moral yang dialamatkan pada mereka berdua.

Baca Juga  Ekonomi Pancasila itu Bukan Kaleng-Kaleng!

George Orwell: Tetap Beramal Sosial di Tengah Himpitan Hidup

Namun di tengah-tengah kondisi kejam seperti itu, Orwell masih sempat berpartisipasi dalam agenda sosial di sekitar tempat tinggalnya. Agenda sosial itu memang berwujud perkumpulan bersama, namun isinya bukan diskusi, rapat, atau mewicarakan hal-hal penting mengenai masa depan orang-orang yang tidak beruntung.

Agenda sosial itu lebih kepada perayaan untuk kelas bawah di bistro, sebuah restoran kecil dengan minum-minum dan bernyanyi (hlm. 140) sebagai pelarian sejenak dari kerasnya kehidupan.

Setelah beberapa waktu memaksa bertahan dengan pekerjaan itu, Orwell memutuskan untuk kembali ke Inggris dengan harapan kehidupan yang lebih layak. Ia pun menghubungi temannya dengan inisial B dan mendapat jawaban yang diinginkan.

Si B ini tidak hanya mencarikan kerja Orwell sebagai pengasuh orang idiot sejak lahir, namun juga memberinya pesangon untuk sedikit membeli makan, pakaian, serta tiket kepulangan ke kampung halaman (hlm. 174).

Sesampainya di Inggris, nasib mujur lagi-lagi tidak berpihak pada Orwell. Ia gagal bertemu dengan temannya si B karena beberapa hari sebelum ia datang, temannya si B ini sudah bepergian ke luar negeri kurang lebih selama satu bulan (hlm. 193). Warta itu pada akhirnya menjadi babak baru dalam hidupnya Orwell. Ia lantas menjadi gelandangan.

Beberapa kali ia harus pindah dari dan ke penampungan, tempat bermalam dari para gelandangan. Penampungan itu memerlukan biaya demi peroleh fasilitas yang agak layak daripada tidur di emperan toko.

Kendati begitu, Orwell menilai bahwa tempat penampungan tersebut sebenarnya jauh dari kata proporsional sebagai tempat bermalam. Katanya, “Ketika berbaring di ranjang aku merasakan kasurnya sekeras papan dan berbentuk cembung, dan bantalnya, hanyalah tabung keras seperti gelondongan kayu. Seprainya berbau keringat… Sepanjang malam, suara ribut terdengar beberapa kali… Aku hanya sempat tidur sejam” (hlm. 199-200).

Baca Juga  Buya Hamka yang Mengubah Hidup Kami

Betemu dengan Orang dengan Latar Belakang Bermacam-Macam

Di penampungan itu, Orwell bertemu dengan banyak orang dengan latar belakang yang beragam. Kebanyakan dari mereka yang tinggal di penampugan adalah orang-orang yang kalah dalam pertarungan kerasnya kehidupan.

Beberapa juga berangkat dari kelas sosial yang sebenarnya terpandang dalam masyarakat, namun karena ada tragedi tertentu, hidupnya melorot tajam sampai ke titik terendah.

Ada beberapa nama yang akrab dengan Orwell ketika hidup menggelandang. Paddy misalnya, orang Irlandia yang pernah menjadi tentara perang dan bekerja di sebuah pabrik besi.

Meski ia hidup menggelandang serba kekurangan, namun ia enggan untuk mencuri walau melihat ada makanan enak yang secara tidak sengaja ditinggal oleh pemiliknya. “Sebaiknya kita tinggalkan saja. Aku bukan orang yang suka mencuri. Terimakasih Tuhan, aku belum pernah mencuri apapun”, gumam Paddy (hlm. 231).

Selain Paddy, ada nama Bozo yang sehari-harinya menjadi screever atau seniman jalanan. Bozo dulunya menjadi anak seorang penjual buku, kemudian bangkrut dan ia turut terlibat dalam perang di Perancis dan India (hlm. 255).

Bozo juga pernah mendapatkan dua buah surat dari Pengamat Astronomi Kerajaan karena tulisannya tentang meteor yang ia pelajari secara otodidak.

Tak Semua Gelandangan Dikarenakan Urusan Perut

Pada diri Bozo ini, Orwell menemukan bahwa tidak setiap gelandangan yang hidup di jalan merupakan orang yang hanya mementingkan perut semata.

Bukan juga hanya sebagai orang yang tidak memiliki tujuan apalagi prinsip hidup sebagai manusia. Karena bagi Bozo, kemiskinan dan hidup gelandangan tidak lantas bisa mengekang cara berpikirmu, apalagi menjerat daya ekspresimu untuk berkreasi.

Memang mewicarakan tentang hidup seseorang yang jatuh melarat, menjadi miskin, dan hidup menggelandang tidak cukup hanya dengan satu buku setebal 336 halaman. Namun melalui kepiawaiannya dalam bercerita, George Orwell mampu memberi gambaran nyata tentang bagaimana dan seperti apa rasanya menjalani hidup di titik rendah. Seperti yang ia tulis dalam halaman terakhir di buku ini, “Paling tidak aku bisa berkata, inilah dunia yang sedang menunggumu kalau kamu kehabisan uang.”

Baca Juga  Milad Mizan ke-40: Tetap Bertahan di Tengah Ancaman Matinya Industri Buku

Editor: Yahya FR

Avatar
10 posts

About author
Alumnus Magister Studi Agama-agama, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang sering ngopi di Tulungagung
Articles
Related posts
Review

Ketika Agama Tak Berdaya di Hadapan Kapitalisme

4 Mins read
Globalisasi merupakan revolusi terbesar dalam sejarah kehidupan manusia. Dalam buku berjudul Beragama dalam Belenggu Kapitalisme karya Fachrizal A. Halim dijelaskan bahwa globalisasi…
Review

Kitab An-Naja, Warisan Filsafat Ibnu Sina

4 Mins read
Kitab An-Naja adalah salah satu karya penting dalam filsafat Islam yang berisi tentang gagasan besar seorang filsuf bernama Ibnu Sina, yang juga…
Review

Kitab Al-Fasl Ibnu Hazm: Mahakarya Filologi Intelektual Islam Klasik

3 Mins read
Ibnu Hazm (994–1064 M), seorang cendekiawan Andalusia, dikenal sebagai salah satu pemikir paling produktif dan brilian dalam sejarah intelektual Islam. Karya-karyanya mencakup…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds