Perspektif

Gerakan Filantropi di Tengah Resesi Ekonomi Covid-19

3 Mins read

Seperti kita ketahui bersama, virus Corona mulai merebak pada akhir tahun 2019 di Pasar Ikan Huanan. Hingga tulisan ini dibuat, jumlah kasus terinfeksi virus Corona di dunia terus mengalmi peningkatan. Sampai WHO menetapkan virus Corona sebagai pandemi pada Maret 2020, tatanan kehidupan global secara seketika mengalami perubahan sangat drastis.

Keadaan semacam ini membuat kita berada pada titik yang cukup membingungkan. Kita dibuat khawatir atas segala macam ketidakpastian, mulai dari keseriusan pemerintah dalam penanganan virus Corona, pertemuan perwakilan rakyat kita di senayan yang sering tidak disangka, segala peraturan yang dibuat tanpa penjabaran, hingga kehidupan ekonomi masa depan yang terlihat suram.

Terkait kondisi perekonomian ke depan, menurut The Economist Intelligence Unit, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan hanya 1% pada 2020. Tak jauh berbeda, Oxford Economist memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 1,3% pada tahun ini. Sementara berdasarkan perhitungan yang dilakukan Prof Arief Anshory Yusuf, Guru Besar FEB Universitas Padjajaran sekaligus Senior Researcher SDG’s Center, memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia di angka 1,2%, tetapi dengan catatan semua tergantung tingkat kekuatan (severity) negara.

Resesi Perekonomian Nasional

Berbagai prediksi terkait kondisi ekonomi Indonesia ke depan mulai condong pada kekhawatiran. Secara gamblang mulai tampak dengan banyaknya buruh pabrik mulai di-PHK dan dirumahkan. Setidaknya, per 4 April 2020 sudah mencapai 130.456 orang menurut Menaker. Hal ini akan berakibat pada turunnya daya beli masyarakat yang sudah barang tentu juga berdampak pada resesi perekonomian nasional.

Ditambah lagi dengan beberapa krisis moneter yang sudah terjadi, seperti apa yang ditulis Faruq Ahmad dalam artikelnya, “Pandemi Corona vs Krisis Moneter.” Banyaknya krisis di sektor ekonomi khususnya, menjadi sebuah catatan serius untuk diselesaikan secara serius pula. Karena tidak bisa kita pungkiri, sektor ekonomi berimplikasi langsung pada perubahan sebuah tata kehidupan masyarakat ke depan.

Baca Juga  Pak AR Fakhruddin Naik (Mbonceng) Sepeda Mahasiswa UMY

Sejarah masa lalu cukup memberikan ilustrasi yang sangat mengerikan di mana pada krisis 1998 terjadi penjarahan di mana-mana. Bukan saja dilakukan oleh masyarakat ekonomi rendah, tetapi masyakarakat yang berada pada garis ekonomi menengah ke atas juga turut serta di dalamnya. Alasannya tentu sama, tidak lain tidak bukan, guna mempertahankan kehidupannya beserta keluarga atas ketidakpastian ekonomi yang sedang terjadi pada waktu itu.

Menjadi sebuah dilematis dalam kondisi sosial ekonomi akibat pandemi Corona saat ini adalah apapun kebijakan yang diambil oleh pemerintah akan berdampak buruk terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Ambil contoh, apabila pemerintah tidak mengambil keputusan untuk lockdown, maka tidak bisa terhitung berapa nyawa yang akan dikorbankan, terinfeksi virus Corona. Jika keputusan yang diambil adalah lockdown, sudah barang tentu Indonesia akan mengalami krisis ekonomi. Virus Corona memang menjadi sebuah simalakama.

Apapun yang terjadi, sebaiknya tidak menjadi kekhawatiran yang mesti kita ratapi bersama secara berlarut-larut. Karena saat ini semua negara memang tengah mengalami kolaps. Indonesia hendaknya optimis atas modal sosial yang telah dimiliki sejak kelahirannya. Modal  yang dimaksud adalah semangat gerakan filantropi.

Gerakan Filantropi

Galibnya, istilah filantropi dimaknai sebagai ‘kedemawanan’, sebuah watak atau sikap altruistik yang sudah menyatu dalam diri manusia. Filantropi merupakan hasil dari proses panjang sejarah umat manusia dalam mengembangkan misi kemanusiaan.

Kehadiran gerakan filantropi yang hadir melalui perorangan maupun kelembagaan dalam merespon krisis akibat pandemi Corona adalah semacam oase di tengah gurun pasir sikap individualisme, egoisme yang hampir menghapus beragam fitrah karakter dan tradisi positif masyarakat Indonesia, seperti gotong royong, bersatu padu membantu, berbagi dengan tonggo teparo.

Hal-hal di atas tercermin pada respon aktif dan kreatif LAZISMU sebagai representaif kerja-kerja sosial karitatif Muhammadiyah, dengan membuat terobosan Donasi Ketahanan Pangan. Tidak kalah luar biasanya, juga muncul gerakan sipil di berbagai daerah untuk menghimpun berbagai bantuan untuk disalurkan kepada para pegiat penanganan virus Corona ataupun kelompok rentan lainnya yang mengalami kesusahan ekonomi.

Baca Juga  Parade Kemiskinan dan Potensi Zakat di Indonesia

Seperti yang dilakukan oleh Gerakan Rakyat Bantu Rakyat (KOBAR) Jawa Tengah, Solidaritas Pangan Jogja, dan masih banyak yang lain tentunya. Kesemuanya memiliki keresahan dan goal setting yang sama tentunya, yakni rasa kemanusiaan.

Filantropi memang alternatif paling ampuh untuk menangani persoalan sosial ekonomi kekinian di saat kehadiran pemerintah dirasa nihil. Filantropi mampu menjadi intermediasi antara masyarakat kaya dan menengah ke bawah. Bahkan dalam Islam, yang merupakan sebuah agama mayoritas dipeluk masyarakat Indonesia, memberikan perintah wajib untuk diejawantahkan.

Peran Agama

Filantropi sebagai konsep ini sudah tertuang dalam Al-Quran, “harta yang dikeluarkan tidak akan mengurangi harta yang dimiliki tetapi akan menambah, bahkan mensucikan harta yang dimiliki (QS 9: 103)”. Bahkan masuk dalam Rukun Islam yang lima, kewajiban yang dimaksud adalah dalam bentuk penunaian zakat.

Mari kita melakukan refleksi kritis terhadap sebuah ayat yang menjelaskan gerakan filantropi wajib dilaksanakan oleh umat muslim. Karena Allah mengecam orang-orang yang menimbun kekayaan dan melakukan perputar kekayaan hanya di kalangan orang kaya dan mesti dikeluarkan sebagian guna tercapainya kesejahteraan sosial.

Di sinilah peran agama harus hadir untuk menyelesaikan permasalahan yang ada, yakni kemiskinan dan pemiskinan. Karena tujuan kedatangan Islam, menurut Asghar Ali Engineer, adalah untuk merubah status quo serta mengentaskan kelompok yang tertindas dan dieksploitasi; mereka inilah yang disebut dengan kelompok masyarakat lemah.

Menurut Kiai Dahlan, agama bukanlah barang yang kasar, yang harus dimasukkan ke dalam telinga. Akan tetapi agama Islam adalah agama fitrah. Artinya, ajaran yang mencocoki kesucian manusia. Sesungguhnya, agama bukanlah amal lahir yang dapat dilihat. Amal yang kelihatan itu hanyalah manifestasi dan daya dari ruh agama. Agama itu ialah: condongnya nafsu rohani naik kepada kesempurnaan tertinggi yang suci dan luhur, bersih dari pengaruh kebendaan. Jadi, orang yang menetapi agama ialah orang yang condong kepada kesucian iman kepada Allah, bersih dari pengaruh yang bermacam-macam.

Baca Juga  Serahkan Berkas, Lazismu Jawa Tengah Siap Laksanakan Audit 2020

Editor: Arif

Avatar
3 posts

About author
Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, berbisnis buku di @cintaiotakmubook
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds