Perspektif

Gerakan Literasi Sekolah Mati di Tangan Nadiem

3 Mins read

Oleh: Hatib Rahmawan

Membaca adalah jendela pengetahuan. Budaya baca tumbuh dari gerakan literasi yang mengantarkan pada kesadaran literasi yang membentuk kepribadian seseorang. Seorang intelektual pasti gemar membaca. Tidak satupun tokoh besar di dunia ini yang tidak mengisi hari-harinya dengan membaca. Prinsipnya orang besar pasti sadar dengan literasi.

Terkait dengan budaya literasi Indonesia termasuk yang paling tertinggal. Paling tidak, penelitian Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2015 dan Central Connecticut State University (CCSU) tahun 2016 dapat menjadi potret bangsa Indonesia. Data dari PISA Indonesia menduduki peringkat 62 dari 70 negara. Sementara dari data CCSU Indonesia ranking 60 dari 61 negara.

Tulisan tidak akan membahas kebenaran data tersebut. Melainkan akan mengulas, bagaimana pemangku kebijakan merespons hal tersebut, khususnya kebijakan Mendikbud Nadiem untuk meningkatkan budaya literasi di sekolah. Sebab, penulis melihat di balik manisnya program “Merdeka Belajar” ternyata menyimpan sebuah masalah pelik, yakni matinya gerakan literasi sekolah (GLS). Padahal, program ini termasuk salah satu yang diunggulkan Presiden Jokowi dalam Nawacita.

Gerakan Literasi Era Muhadjir Effendy

Pada periode pertama Pemerintahan Jokowi, GLS menjadi kebijakan yang ditopang penuh pemerintah. Sebab, GLS menjadi bagian pendidikan karakter yang dapat mendorong percepatan revolusi mental. Oleh sebab itulah, Mendikbud Muhadjir Effendy sebelum Nadiem yang milenial, menginginkan gerakan literasi menjadi karakter semua siswa. Komitmen Mendikbud Muhadjir Effendy terhadap GLS sangat luar biasa. Di era beliau dana BOS, khususnya untuk kemajuan gerakan literasi mendapat porsi yang besar. Sekitar 20% dana BOS wajib digunakan untuk membeli buku tidak boleh untuk yang lainnya. Artinya, ada political will dari pemerintah untuk mencerdaskan bangsa.

Baca Juga  Petugas Haji Tunjukkan Profesionalisme, Bila Perlu Tidak Haji

Pembelian buku dilakukan secara daring — dari penyedia langsung ke sekolah melalui sistem katalog-e  — untuk menghindari berbagai bentuk permainan rabat. Jalur pendistribusian buku dipangkas sedemikian rupa untuk menghindari makelar dan permainan rabat. Alhasil, harga buku dapat ditekan sehingga siswa memperoleh akses buku murah. Bahkan, menurut riset Yayasan Pegiat Pendidikan Indonesia (PUNDI) tahun 2018, jika pemerintah konsisten dengan kebijakan gerakan literasi semua siswa dapat menikmati buku pendidikan secara gratis.

Kebijakan Mendikbud Muhadjir Effendy ini selaras dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan. Tujuan dari undang-undang ini adalah untuk menciptakan iklim perbukuan yang sehat. Maksud dari iklim yang sehat adalah agar semua masyarakat mendapatkan akses buku murah dan berkualitas. Selain itu, semua profesi yang terlibat dalam sistem perbukuan, mulai dari penulis, editor, layouter, penerbit, dan sebagainya dapat tumbuh subur dan semakin profesional.

Literasi Sekolah Era Nadiem

Namun, apa yang terjadi saat ini ketika Mendikbud dipegang oleh Nadiem? Semua hal yang disebutkan di atas menjadi arus balik, menyapu bersih gerakan literasi. Perlahan tapi pasti, gerakan literasi dimatikan. Berikut ini alasannya: pertama, Nadiem mengkerdilkan peran Puskurbuk (Pusat Kurikulum dan Perbukuan). Semoga pengamatan penulis salah. Namun, setelah melihat perubahan struktur di Kemdikbud, dengan dileburnya Puskurbuk di dalam Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan (lihat Nomor 82 Tahun 2019), sepertinya anggapan penulis menjadi kenyataan.

Dengan melihat beban kerja masalah perbukuan, semestinya lembaga ini berdiri sendiri tidak digabung dengan Badan Penelitian dan Pengembangan. Beberapa tugas lembaga ini antara lain; (1) Pengembangan. Pemerintah harus memperhatikan nasib SMK yang sampai saat ini belum memiliki buku pelajaran. Belum lagi upaya pengembangan buku digital sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang Perbukuan. (2) Penilaian. Ini adalah tugas berat sebab buku yang disajikan harus berkualitas dan bebas dari unsur sara dan unsur saru. Berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya ada ribuan naskah yang harus dinilai oleh Puskurbuk setiap tahun. (3) Pengawasan. Selama ini pemerintah tidak pernah mengawasi pembelian buku, apakah buku pelajaran yang digunakan sekolah sudah sesuai dengan kurikulum atau tidak. (4) Pembinaan. Sebagaimana amanat Undang-undang Perbukuan pemerintah juga harus membina sepuluh pelaku perbukuan. Mereka harus dibina, disertifikasi, diakreditasi, dan diberi penghargaan. Sampai saat ini belum dilaksanakan. (5) Pendataan. Pemerintah juga harus mendata dinamika perkembangan ilmu pengetahuan. Mana yang ilmu yang belum terbukukan dan mana yang belum?

Baca Juga  Dilema Aaron Bushnell Membela Palestina, Mengapa Berujung Ekstrem?

Dengan peleburan lembaga ini ditambah dengan beban kerja yang sangat banyak, apakah akan maksimal? Saya meragukan hal tersebut. Dengan beban kerja sebanyak itu mestinya Puskurbuk berdiri sendiri.

Kedua, pemangkasan hak literasi anak dalam BOS 2020. Dalam petunjuk teknis BOS 2020 pemerintah menaikan besaran dana BOS, masing-masing siswa di setiap jenjang mendapatkan tambahan Rp. 100.000. Meskipun naik, tetapi pada hakikatnya terjadi pengurangan. Kebijakan gerakan literasi dalam petunjuk teknis BOS 2020 tidak memberikan porsi 20% untuk buku. Bahkan jelas tertulis tidak ada penekanan bagi sekolah untuk belanja buku. Itu artinya belanja buku untuk siswa tidak lagi menjadi prioritas. Inilah maksud terjadi pengurangan, karena siswa tidak merasakan langsung dampak BOS.

Untuk membuktikan itu, kita bisa lihat besok ketika tahun ajaran baru. Siswa akan dibebani pembelian buku di pasar terbuka, yang harganya mahal. Di mana pemerintah? Lepas tangan dari tanggung jawabnya.  Jika melihat kebijakan ini sudah pasti GLS dikubur perlahan.

Ketiga, BOS 2020 merupakan kebijakan liberalisasi pendidikan. Kebijakan 50% dana BOS dapat digunakan untuk menggaji guru honorer merupakan kebijakan lepas tanggung jawab pemerintah terhadap pendidikan. Dengan kebijakan 50% tersebut, jika dihitung dengan jeli tetap tidak dapat memberikan kesejahteraan bagi guru honorer.

Buruh saja berupaya menghapuskan karyawan kontrak, karena dengan sistem kontrak hanya mensejahterakan pemodal. Harusnya keberadaan guru honorer dihilangkan dan dikurangi secara perlahan. Sebab dengan adanya guru honorer kehormatan dan kemuliaan seorang guru tidak ada lagi. Pemerintah tidak pernah menghargai jerih payah seorang guru.

Ditambah data yang disampaikan Prof. Hafid Abbas (Kompas/20/2/2020), bahwa saat ini Indonesia sudah surplus guru. Satu orang guru saat ini hanya mengajar 13-14 siswa. Ini menunjukan sinkronisasi data dalam tubuh pemerintah, khususnya Kemdikbud tidak terstruktur dengan baik.

Baca Juga  Muhadjir Effendy: Pendidikan Adalah Kunci Kemajuan Bangsa

Jadi, meskipun dana BOS 2020 meningkat, tapi sesungguhnya berkurang. Hak siswa atas literasi berkurang. Hak siswa atas fasilitas sekolah juga berkurang. Penderitaan guru honorer dipertahankan. Pada akhirnya, sekolah dan siswa disuruh mengurus nasibnya sendiri.

* Penulis adalah Pengajar di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, aktivis Pegiat Pendidikan Indonesia.
Editor: Arif
Avatar
30 posts

About author
Dosen Prodi Ilmu Hadis Fakultas Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Ketua MPK PWM DIY, Sekretaris Pendidikan dan Kaderisasi PP Pemuda Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Perspektif

Moderasi Hilirisasi Haji

3 Mins read
Dalam beberapa tahun terakhir, hilirisasi haji telah menjadi sorotan penting di Indonesia. Berangkat dari visi untuk memberikan pelayanan haji yang berkualitas dan…
Perspektif

AI dan Masa Depan Studi Astronomi Islam

4 Mins read
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) merupakan program komputer yang dirancang dan dihadirkan untuk dapat meniru kecerdasan manusia, termasuk kemampuan pengambilan keputusan,…
Perspektif

Pendidikan sebagai Dasar Pembentuk Nilai Hidup

3 Mins read
“Pendidikan (opvoeding) dan pengajaran (onderwijs) merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds