Berdasarkan buku Ephemeris Hisab Rukyat 2020 yang diterbitkan oleh Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI, bahwa dalam tahun 2020 M terjadi 6 (enam) kali gerhana, yaitu 2 (dua) kali Gerhana Matahari dan 4 (empat) kali Gerhana Bulan. Salah satu Gerhana Bulan yang akan terjadi pada tahun 2020 M adalah Gerhana Bulan Penumbra yang akan terjadi pada tanggal 6 Juni 2020.
Jalur Gerhana Bulan Penumbra pada tanggal 6 Juni 2020 M tersebut melewati benua tersebut Eropa, Afrika, Asia, dan Australia. Gerhana Bulan Penumbra tersebut in syaa Allah akan teramati dari seluruh wilayah Indonesia. Magnitudo Gerhana Bulan Penumbra pada tanggal 6 Juni 2020 adalah 0,5683. Kontak penumbra 1 (P1) terjadi mulai pukul 00:45:50 WIB, maksimum gerhana terjadi pada pukul 02:25:02 WIB, dan kontak penumbra 4 (P4) terjadi pada pukul 04:04:03 WIB.
Artikel ini bermaksud berbagi wawasan tentang konsepsi gerhana, gerhana dalam Al-Qur’an, gerhana dalam sunah, Gerhana Bulan menurut astronomi, dan Gerhana Bulan Penumbra. Selain itu, akan dijelaskan pula bagaimana pelaksaan shalat gerhana di masa pandemi COVID-19.
Gerhana Bulan dan Matahari
Gerhana ialah peristiwa yang terjadi akibat terhalangnya cahaya dari sebuah sumber oleh benda lain (Azhari, 2008). Menurut Butar-butar (2018), gerhana adalah fenomena astronomi yang terjadi ketika sebuah benda langit menutupi benda langit lainnya.
Ada dua gerhana yang terkait dengan ibadah mahdlah dalam Islam, yakni Gerhana Bulan dan Gerhana Matahari. Gerhana Bulan terjadi manakala sebagian atau seluruh penampang bulan tertutup oleh bayangan bumi, sedangkan Gerhana Matahari terjadi manakala sebagian atau seluruh cahaya matahari yang seharusnya sampai ke Bumi terhalang oleh Bulan.
Terjadinya Gerhana Bulan dan Matahari dikarenakan oleh revolusi bulan terhadap Bumi maupun revolusi bumi terhadap Matahari (Butar-butar, 2018). Revolusi keduanya pada waktu tertentu berakibat pada terhalangnya cahaya matahari oleh Bulan. Pada waktu tertentu pula, kedua revolusi tersebut berakibat pada tidak adanya cahaya bulan yang sampai ke Bumi.
Gerhana dalam Al-Qur’an
Wawasan gerhana dapat kita jumpai dalam Al-Qur’an. Beberapa surat dalam Al-Qur’an yang memuat wawasan gerhana ialah al-Qashash (28): 81-82, al-‘Ankabut (29): 40, Saba’ (34): 09, al-Mulk (67): 16, al-Qiyamah (75): 7-9, al-Syu’ara (26): 187, al-Thur (52): 44, dan al-Rum (30): 48 (Butar-butar, 2018).
Dari ayat-ayat Al-Qur’an di atas, fenomena gerhana diungkapkan dengan 2 istilah, yakni khusuf dan kusuf. Ungkapan fenomena gerhana dengan istilah khusuf terdapat dalam al-Qashash (28): 81-82, al-‘Ankabut (29): 40, Saba’ (34): 09, al-Mulk (67): 16, al-Qiyamah (75): 7-9. Adapun ungkapan fenomena gerhana dengan istilah kusuf tertulis dalam al-Syu’ara (26): 187, al-Thur (52): 44, dan al-Rum (30): 48 (Butar-butar, 2018).
Khusuf merupakan ism al-mashdar kedua dari kata kerja khasafa-yakhsifu yang berarti lenyap, hilang, tenggelam (Yunus, 1973). Menurut Munawwir (1997), kata khusuf adalah ism al-mashdar kedua dari kata kerja khasafa-yakhsifu yang berarti tenggelam. Dengan demikian, makna dasar dari khusuf adalah tenggelam.
Kusuf merupakan ism al-mashdar kedua dari kata kerja kasafa-yaksifu yang berarti menutupi (Yunus, 1973). Menurut Munawwir (1997), kata kusuf adalah ism al-mashdar kedua dari kata kerja kasafa-yaksifu yang berarti menutupi, menyembunyikan, dan menjadikan gelap. Dengan demikian, makna dasar dari kusuf adalah menutupi.
Ungkapan “wa khasafa al-qamaru” dimaknai oleh al-Baghawi secara relasional/kontekstual sebagai gelap dan hilangnya cahaya bulan. Walaupun menurut Ibnu Katsir, konteks umum ayat tersebut adalah fenomena yang terjadi pada hari kiamat. Namun demikian, al-Qurthubi memberikan isyarat bahwa selain terjadi di akhirat, khasafa al-qamaru (Gerhana Bulan) dapat terjadi pula di dunia. Penjelasan tersebut sebagaimana dikutip oleh Butar-butar (2018).
Gerhana dalam Sunah
Hadis-hadis tentang gerhana jumlahnya tidak sedikit di mana keseluruhannya dilatarbelakangi oleh wafatnya Ibrahim putra Rasulullah Muhammad SAW Berikut salah satu hadisnya.
“Nabi SAW bersabda: Sesungguhnya Matahari dan Bulan merupakan dua tanda kekuasaan Allah. Keduanya (Matahari dan Bulan) tidak tenggelam karena kematian seseorang dan tidak pula karena hidupnya”. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Muttafaq ‘alaihi atau Bukhari dan Muslim.
Hadis di atas beserta hadis-hadis lainnya memberikan informasi kepada kita bahwa gerhana adalah fenomena alam. Sebagaimana telah diyakini oleh umat Islam bahwa semua fenomena alam adalah tanda kekuasaan Allah. Dengan demikian, gerhana merupakan fenomena sains sebagai tanda kebesaran-Nya.
Proses Terjadinya Gerhana Bulan Menurut Astronomi
Gerhana Bulan terjadi manakala Matahari, Bumi, dan Bulan berada pada suatu garis lurus (Rinto Anugraha, 2012). Sebagaimana telah kita pahami bahwa Bulan tidak memancarkan cahaya dari dirinya sendiri. Bulan hanya memantulkan cahaya yang diterimanya dari Matahari.
Manakala Bumi terletak di antara Bulan dan Matahari, maka tidak ada cahaya matahari yang diterima oleh Bulan. Karena tidak ada cahaya yang mengenai dirinya, maka pantulan cahaya dari Bulan akan tidak ada pula. Peristiwa inilah yang dikenal dalam dunia Astronomi sebagai Gerhana Bulan. Ilustrasinya diperlihatkan oleh gambar 1.
Menurut Rinto Anugraha (2012), Gerhana Bulan terjadi saat fase Bulan purnama, namun tidak setiap Bulan purnama akan terjadi Gerhana Bulan. Hal ini dikarenakan bidang orbit bulan mengitari Bumi tidak sejajar dengan bidang orbit bumi mengitari Matahari (bidang ekliptika), tetapi miring dengan sudut kemiringan sebesar 5 derajat. Seandainya bidang orbit bulan mengelilingi Matahari tepat pada bidang ekliptika, maka setiap Bulan Purnama akan terjadi Gerhana Bulan.
Menurut Syamsul Anwar (2011), saat Gerhana Bulan terjadi, Bulan dalam perjalanannya mengelilingi Bumi tidak selalu melintasi bayang-bayang pekat bumi (umbra), melainkan bisa saja hanya lewat di sampingnya atau melintasi area bayang-bayang semu bumi (penumbra). Pada kondisi ini, Gerhana Bulan yang terjadi bukanlah Gerhana Bulan umbra melainkan hanyalah Gerhana Bulan Penumbra.
Gerhana Bulan Penumbra 6 Juni 2020
Berdasarkan informasi dari LAPAN bahwa pada tanggal 6 Juni 2020 akan terjadi Gerhana Bulan Penumbra. Informasi tersebut dapat diperoleh di sini.
Gerhana Bulan Penumbra terjadi ketika Bulan melewati bayangan sebagian bumi. Gerhana tersebut dapat disaksikan mulai pukul 00.45.51 WIB sampai dengan pukul 04.04.03 WIB. Adapun puncaknya terjadi pada pukul 02.24.55 WIB.
Gerhana Bulan Penumbra tanggal 6 Juni 2020 akan terlihat di sebagian besar Eropa, Afrika, Asia, Australia, Samudra Hindia, dan Australia. Selama Gerhana Bulan Penumbra tersebut, Bulan akan sedikit lebih gelap dari biasanya.
Haruskah Kita Shalat Gerhana Bulan Penumbra?
Berdasarkan fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah yang dimuat pada majalah Suara Muhammadiyah dan website www.fatwatarjih.or.id, maka saat terjadi Gerhana Bulan Penumbra, tidak disunahkan untuk melakukan shalat sunah gerhana. Detail fatwa tersebut sebagai berikut.
***
Dalil naqli pelaksanaan shalat gerhana adalah hadis Aisyah (majalah Suara Muhammadiyah dan website www.fatwatarjih.or.id). Detail hadisnya sebagai berikut.
Dari ‘Ā’isyah, istri Nabi SAW, [diriwayatkan bahwa] ia berkata: Pernah terjadi Gerhana Matahari pada masa hidup Nabi SAW, lalu beliau keluar ke masjid dan jamaah berdiri bersaf-saf di belakang beliau. Rasulullah SAW bertakbir lalu beliau membaca qiraat yang panjang, kemudian beliau bertakbir dan rukuk dengan dengan rukuk yang lama. Lalu beliau mengucapkan sami‘allāhu liman ḥamidah dan berdiri lurus, kemudian tidak sujud, melainkan membaca qiraat yang panjang, tetapi lebih pendek dari qiraat pertama, kemudian beliau rukuk yang lama, tetapi lebih singkat dari rukuk pertama. Kemudian beliau membaca sami‘allāhu liman ḥamidah, rabbanā wa lakal-ḥamd. Kemudian beliau sujud.
Kemudian pada rakaat kedua (terakhir) beliau mengucapkan ucapan seperti pada rakaat pertama, sehingga terpenuhi empat rukuk dan empat sujud. Kemudian sebelum beliau selesai, Matahari lepas dari gerhana. Kemudian beliau berdiri dan mengucapkan tahmid untuk memuji Allah sesuai dengan yang menjadi kepatutan bagi-Nya, lalu beliau bersabda: Sesungguhnya Matahari dan Bulan adalah dua tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak gerhana karena mati dan hidupnya seseorang. Jika kamu melihat keduanya, segeralah mengerjakan shalat [HR al-Bukhārī, an-Nasā’ī, dan Aḥmad]
Menurut hadis di atas, shalat gerhana dilakukan apabila terjadi Gerhana Matahari atau Gerhana Bulan. Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah memahami kata “melihat” dalam hadis di atas tidak melihat secara fisik, namun dimaknai mengalami, yakni kawasan tempat kita berada tertimpa bayangan gelap (umbra) atau bayangan semu (penumbra) dalam kasus Gerhana Matahari, atau tertimpa bayangan gelap (umbra) bulan dalam kasus Gerhana Bulan.
Dengan demikian, walaupun seseorang tidak melihat gerhana itu secara fisik karena saat itu hujan lebat misalnya atau keadaan langit berawan tebal yang menghalangi terlihatnya gerhana, saat itu tetap disunatkan shalat gerhana karena ia sedang mengalaminya, meskipun tidak melihatnya secara fisik lantaran tertutup awan tebal.
Bagaimana untuk kasus Gerhana Bulan Penumbra? apakah juga disunahkan untuk melakukan shalat gerhana?
Makna Khusuf dan Kusuf
Sebagaimana telah disampaikan dalam fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah telah disampaikan bahwa untuk menentukan perlu tidaknya shalat gerhana penumbra, perlu dikaji makna kata “khusuf” dan “kusuf” yang digunakan untuk menyebut gerhana dalam hadis.
Kata khusūf secara keseluruhan mengandung makna terbenam, hilang, berkurang, membolongi, menyobek. Firman Allah fa khasafnā bihi al-arḍa [Q. 28: 81] berarti, “Maka Kami (Allah) benamkan dia (Karun) dan rumahnya ke dalam bumi.”
Kalimat khasafa al-makānu berarti ‘tempat itu hilang’ (dalam arti tenggelam karena air atau lainnya). Khasafat al-‘ainu berarti mata buta, yakni gelap dan tidak dapat melihat. Khasafa asy-syai’u berarti sesuatu itu berkurang (karena ada bagiannya yang hilang atau terpotong).
Khasafa al-badanu berarti badan kurus, artinya berkurang atau hilang sebagian bobotnya. Contoh-contoh makna relasional tersebut jika dikaitkan dengan Gerhana Bulan adalah bahwa Bulan terbenam dalam bayang-bayang gelap bumi sehingga hilang dan tidak kelihatan.
***
Khasafa al-‘aina berarti mencongkel mata, sehingga wajahnya tampak bolong atau ompong karena biji matanya tidak ada. Khasafa al-bi’ra berarti menggali batu untuk memperdalam sumur. Artinya membolongi batu dalam sumur guna menambah kedalaman.
Khasafa asy-syai’a berarti membolongi sesuatu, atau memotongnya. Contoh-contoh makna relasional tersebut jika dikaitkan dengan Gerhana Bulan adalah bahwa sebagian piringan bulan tampak ompong atau terpotong dan tidak utuh karena sebagian bola bulan masuk dalam bayang-bayang gelap (umbra) bumi.
Jadi kalau begitu khusūf berarti bahwa piringan bulan hilang terbenam dalam umbra atau hilang sebagian sehingga tampak piringannya seperti terpotong dan tidak utuh karena sebagiannya masuk dalam umbra bumi.
Adapun kata kusūf berarti menutupi, memotong, atau suram, muram atau berubah warna muka. Kasafa asy-syai’a berarti gaṭṭāhu artinya menutupi sesuatu. Kasafa aṡ–ṡauba berarti memotong kain. Kasafa al-wajhu berarti wajah muram, warna muka berubah masam, suram. Jadi inti makna kusūf adalah tertutup, atau terpotong. Dalam kaitan dengan gerhana berarti Matahari atau Bulan tertutup atau piringannya tampak terpotong yang berakibat sinarnya berubah menjadi redup.
Tidak Disunahkan Melakukan Shalat Gerhana Bulan Penumbra
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gerhana yang dalam hadis disebut dengan khusūf atau kusūf berarti bahwa piringan matahari atau bulan terbenam dan hilang atau terpotong/ompong dan tampak tidak utuh.
Hal itu dalam kasus Gerhana Matahari terjadi karena Bumi melewati umbra, antumbraa, atau penumbra. Dalam kasus Gerhana Bulan, hilangnya piringan bulan atau tampak terpotong atau ompong dan tidak utuh karena bola bulan masuk dalam umbra.
Apabila tidak masuk ke dalam umbra, tetapi hanya masuk dalam penumbra, piringan bulan akan tetap tampak utuh (bulat) dan tidak ada bagiannya yang tampak terpotong. Hanya saja cahaya bulan itu sedikit redup, namun sulit dibedakan dengan tidak gerhana.
Bertitik tolak dari analisis semantik terhadap kata khusūf dan kusūf di atas, maka Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah berpendapat bahwa shalat gerhana dilakukan apabila terjadi gerhana di mana piringan dua benda langit tampak berkurang atau tidak utuh atau hilang seluruhnya.
Perlu dicatat bahwa shalat gerhana itu dilaksanakan baik kita melihat secara fisik atau tidak lantaran ada awan tebal misalnya. Artinya shalat gerhana dilaksanakan karena kawasan kita mengalami gerhana, walaupun kita tidak dapat melihatnya dengan mata telanjang karena adanya awan pekat yang menutupinya.
Dalam kasus Gerhana Bulan Penumbra, piringan bulan tampak utuh dan bulat, tidak tampak terpotong, hanya cahaya bulan sedikit redup dan terkadang orang tidak bisa membedakannya dengan tidak gerhana. Oleh karena itu dalam kasus Gerhana Bulan Penumbra menurut Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah tidak disunahkan melakukan shalat gerhana.