Fikih

Gibah itu Boleh-Boleh Aja, Ini Dia Syarat-Syaratnya!

3 Mins read

Adakah Gibah yang Dibolehkan dalam Islam?

Dalam kehidupan sehari-hari terkadang disadari atau tidak, dan sengaja atau tidak kita telah berbuat gibah terhadap orang lain. Pada saat asyik kumpul dan berbincang bersama keluarga ataupun teman-teman, terkadang perbincangan yang pada awalnya membahas sesuatu tiba-tiba saja topik perbincangan bertransformasi dengan sesuatu yang mengandung gibah. Lalu apa yang dimaksud dengan gibah itu?

Definisi Gibah

Gibah secara etimologi merupakan bentuk derivasi dari kata “غَابَ-يَغِيْبُ” yang artinya tidak hadir atau tidak ada dihadapan.

Sedangkan menurut terminologi, gibah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah membicarakan keburukan (keaiban) orang lain. Definisi gibah yang lebih lengkap telah disebutkan dalam hadis Nabi saw berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ” أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ؟ ” قَالُوا : اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ : ” ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ “. قِيلَ : أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ ؟ قَالَ : ” إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ “

Artinya: Dari Abu Hurairah (diriwayatkan) bahwa Rasulullah saw bertanya: “Tahukah kalian ap aitu Gibah?” Para sahabat menjawab: “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.” Kemudian beliau bersabda: “(Gibah) adalah engkau menyebut-nyebut saudaramu denga napa yang ia benci.” Dikatakan: “Bagaimana jikalau yang kami katakana benar terjadi pada saudaraku itu?” Beliau (Nabi) menjawab: “Jika apa yeng engkau katakan itu benar (terjadi padanya), berarti engkau telah menggibahnya, tetapi jika apa yang engkau katakan tidak benar, berarti engkau telah membuat kebohongan (tuduhan palsu).” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi)

Berdasarkan uraian singkat tersebut dapat disimpulkan gibah adalah kegiatan membicarakan keburukan –sesuatu yang dibenci apabila diceritakan—  orang lain yang sedang tidak ada dihadapannya.

Baca Juga  Ada apa dengan Dzulhijjah?

Adakah Gibah yang Dibolehkan dalam Islam?

Pada dasarnya gibah termasuk perbuatan tercela yang dilarang dalam Islam untuk dilakukan. Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt di dalam Al-Qur’an:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ وَلَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٞ رَّحِيمٞ

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentulah kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, Sungguh, Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang. (QS. Al-Hujurat: 12)

Dalam ayat tersebut, Allah Swt menyampaikan kepada para hamba-Nya yang beriman untuk menjauhi zhann (prasangka terhadap orang lain), tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain), dan gibah (membicarakan keburukan orang lain).

Allah mengumpakan gibah itu seperti seseorang yang memakan daging saudaranya yang sudah mati. Tentu perbuatan tersebut amat jijik untuk dilakukan. Lalu, apakah gibah dilarang secara mutlak? Atau ada gibah yang dibolehkan?

Gibah yang Dibolehkan

Gibah tidak sepenuhnya dilarang. Ada beberapa kondisi gibah boleh untuk dilakukan. Hal ini telah dijelaskan oleh an-Nawawi dalam kitab Al-minhaj Syarh Sahih Muslim ibn al-Hajjaj tatkala beliau men-syarah hadis Nabi saw di atas bahwa pada dasarnya gibah adalah perbuatan yang haram untuk dilakukan. Tetapi ada gibah yang dibolehkan karena ada tujuan yang bersifat syar’i. Ada enam faktor yang menjadikan gibah boleh untuk dilakukan:

Pertama, Pengaduan

Orang yang dizalimi boleh mengadu kepada seorang pemimpin atau siapa saja yang dianggap memiliki kekuasaan atau kemampuan untuk meluruskan orang (pihak) yang menzaliminya tersebut. Misalnya ia mengatakan, “Si Fulan telah berbuat zalim kepadaku, atau si Fulan telah melakukan ini kepadaku.”

Baca Juga  Abdul Munir Mulkhan: Penggagas Sufistisasi Syariah

Kedua, Permohonan Bantuan dalam Mengubah Perkara Mungkar dan Orang yang Bermaksiat Agar Kembali pada Jalan yang Benar.

Seseorag dapat menceritakan –perbuatan mungkar atau maksiat yang dilakukan— kepada pihak yang diharapkan dapat membantunya. Misalnya ia mengatakan, “Si Fulan telah melakukan ini, cegahlah ia darinya.” dan sebagainya.

Ketiga, Permintaan Fatwa Terhadap Seorang Mufti (Juru Fatwa)

Misalnya saja ia mengatakan, “Si Fulan/ayahku/saudaraku/suamiku telah berbuat zalim padaku. Apakah ia boleh melakukan itu? Apa yang harus saya lakukan untuk melepaskan diri darinya dan mencegah kezalimannya?”

Hal ini dibolehkan karena adanya kebutuhan. Ini berdasarkan hadis tatkala Hindun menceritakan kelakuan suaminya pada Nabi saw, “Sesungguhnya Abu Sufyan seorang laki-laki yang bakhil.”

Keempat, Memperingatkan Kaum Muslimin Terhadap Suatu Kejelekan

Hal ini dilakukan karena beberapa alasan;

1) Terlukanya (adanya cacat akhlak) para rawi hadis, syuhud (saksi), dan penulis kitab. Berdasarkan ijma’ hal ini dibolehkan. Bahkan, wajib disampaikan untuk menjaga eksistensi syari’ah.

2) Menyampaikan berita ketika bermusyawarah.

3) Ketika melihat seseorang membeli barang yang cacat untuk mengingatkan pembeli tersebut kalau ia tidak mengetahuinya.

4) Ketika melihat seseorang yang selalu bersama orang fasik atau pelaku bid’ah untuk belajar ilmu darinya. Orang tersebut wajib untuk dinasihati dengan menjelaskan kondisinya.

5) Seorang penguasa yang tidak berbuat sebagaimana mestinya disebabkan ketidakmampuannya atau kefasikannya. Lalu, ia mengingatkannya kepada orang yang mempunyai kekuasaan untuk memberitahukan kondisinya agar ia tidak takjub dengan amalnya dan agar terus menapaki jalan kebenaran.    

Kelima, Terus Terang dengan Perbuatan Fasiknya atau Bid’ah-nya.

Misalnya, orang-orang yang suka meminum minuman keras, mencegah orang-orang untuk menjabat kekuasaan secara bathil. Maka, dibolehkan untuk mengatakannya secara terus terang dan tidak boleh melakukan hal lain kecuali ada sebab lain.

Baca Juga  Fikih Dahulu Bukanlah yang Sekarang

Keenam, Pemberitahuan

Apabila seseorang masyhur (terkenal) dengan julukan a’masy (orang yang kabur penglihatannya), a’raj (orang yang pincang), azraq (orang yang berkulit biru), al-Qashīr (orang yang bertubuh pendek), a’mā (orang yang buta), dan sebagainya, maka boleh untuk memberitahukan atau menyebutkan kondisi tersebut. Namun, tidak boleh menyebukannya dengan tujuan untuk meremehkan atau menghina. Apabila ada cara lain untuk menyebutnya, maka hal itu lebih baik.

Demikianlah, gibah tidak mutlak haram dilakukan, tetapi ada kondisi yang membolehkan untuk menggibah orang lain. Ada enam faktor yang menjadikan gibah boleh untuk dilakukan sebagaimana yang telah disebutkan oleh an-Nawawi dalam men-syarh hadis Nabi saw. Semoga kita semua dapat menghindarkan diri dari perbuatan gibah ini.

Wallahu A’lam bis Shawwab.

Editor: Rozy

Ahmad Farhan Juliawansyah
6 posts

About author
Mahasiswa Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah Yogyakarta
Articles
Related posts
Fikih

Hukum Memakai Kawat Gigi dalam Islam

3 Mins read
Memakai kawat gigi atau behel adalah proses merapikan gigi dengan bantuan kawat yang dilakukan oleh dokter gigi di klinik. Biasanya, behel digunakan…
Fikih

Hukum Musik Menurut Yusuf al-Qaradawi

4 Mins read
Beberapa bulan lalu, kita dihebohkan oleh polemik besar mengenai hukum musik dalam Islam. Berawal yang perbedaan pendapat antara dua ustadz ternama tanah…
Fikih

Hukum Isbal Tidak Mutlak Haram!

3 Mins read
Gaya berpakaian generasi muda dewasa ini semakin tidak teratur. Sebagian bertaqlid kepada trend barat yang bertujuan pamer bentuk sekaligus kemolekan tubuh, fenomena…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds