Fikih

Qurban dan Aqiqah Digabung Satu Niat, Apakah Boleh?

4 Mins read

Pada 31 Juli 2020 mendatang kita semua akan menjumpai hari raya Iduladha. Pada hari raya itu, dianjurkan bagi yang mampu untuk melaksanakan ibadah qurban. Kita tahu bahwa ada satu lagi ibadah yang tata caranya sama-sama dengan menyembelih hewan, yakni aqiqah. Lalu, apakah pelaksanaan qurban dan aqiqah boleh digabung dalam satu niat?

Qurban dalam Fikih

Dalam ilmu fikih, qurban (udh-hiyah) adalah penyembelihan hewan tertentu, seperti unta, sapi, atau kambing. Hal tersebut dilakukan dengan niat mendekatkan diri kepada Allah pada hari raya Iduladha tanggal 10 Dzulhijjah serta pada hari tasyrik tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijah.

Para ulama fikih berbeda pendapat tentang hukum berqurban. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa qurban hukumnya wajib dilakukan sekali dalam setahun. Alasan beliau antara lain adalah firman Allah dalam ayat kedua surat al-Kautsar: “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah”.

Imam Abu Hanifah juga mendasarkan hal tersebut pada hadis Rasulullah yang artinya: “Barang siapa yang telah mempunyai kemampuan tetapi tidak berqurban, maka janganlah ia menghapiri tempat salat kami” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Akan tetapi, dua sahabat dan murid beliau, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad asy-Syaibani berpendapat bahwa hukum qurban adalah sunnah muakkadah. Begitu juga mayoritas ulama fikih yang terdiri dari mazhab Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa hukum qurban adalah sunnah muakkadah.

Pendapat kedua ini mereka dasarkan pada sabda nabi yang artinya: “Ada tiga hal yang wajib atasku dan sunnah bagi kamu: yaitu salat witir, menyembelih qurban, dan salat dhuha”.(HR. Ahmad dan al-Hakim).

Aqiqah dalam Fikih

Aqiqah (baca: membelah) adalah menyembelih binatang aqiqah yang lazimnya adalah kambing, tetapi boleh juga sapi atau unta. Hal ini dilaksanakan dalam rangka menyambut kelahiran seorang anak.

Baca Juga  Tasawuf Berkemajuan Prof. Dr. HAMKA

Mengenai waktu pelaksanaan aqiqah, para ulama fikih berbeda pendapat dalam memberi putusan. Mayoritas ulama fikih berpendapat bahwa waktu pelaksanaan aqiqah adalah pada hari ketujuh dari kelahiran anak. Hal ini bedarsakan hadits nabi yang artinya: “Setiap anak itu tergadai dengan menyembelih binatang aqiqah pada hari ke tujuh dari hari kelahirannya” (HR. Ashabussunan).

Tetapi, Imam Syafi’i berpendapat bahwa jika pada hari ketujuh belum dapat melaksanakan aqiqah, maka waktunya bisa diperpanjang sampai hari keempat belas. Sedang Imam Malik berpandangan lebih longgar sedikit, yakni waktu aqiqah dapat diperpanjang sampai hari ke dua puluh. Bahkan, sebagian ulama Malikiyah ada yang berpendapat bahwa waktu aqiqah dapat diperpanjang lagi sampai sebelum sang anak mencapai usia baligh.

Mengenai hukum aqiqah sendiri, ulama fiqih juga berbeda pendapat dalam memberi hukum. Sebagaian ulama mazhab Zhahiri berpendapat bahwa hukum aqiqah adalah wajib. Sedangkan mazhab Abu Hanifah menyatakan bahwa hukum aqiqah hanya mubah. Dan mayoritas ulama fikih berpaendapat bahwa hukum aqiqah adalah sunnah.

Qurban dan Aqiqah Boleh Digabung?

Terkait dengan keinginan orang yang berniat menyatukan qurban dan aqiqah. Maka ada sesuatu yang harus mereka perhatikan, yaitu: Pertama, Nabi dan Sahabat tidak pernah melakukan yang demikian. Padahal masalah ini lebih berdimimensi ritual, sehingga harus ada petunjuk, contoh, atau setidaknya isyarat dibolehkannya hal ini dilakukan.

Hal tersebut dikarenakan sebab dalam ibadah ritual, kaidah fiqhiyyah yang paling pokok adalah: “Pada prinsipnya dalam ibadah itu dilarang, sampai ada dalil yang menunjukkan adanya perintah”.

Kedua, dalam aspek ilmu fikih ada kesenjangan yang cukup kentara antara qurban dan aqiqah. Kalau qurban itu boleh dan bisa dilakukan oleh orang usia berapapun. Sedangkan aqiqah hanya boleh dan dilakukan anak baru berusia 7 hari, 14 hari, 21 hari, dan paling maksimal adalah sebelum baligh.  

Baca Juga  Fikih Muhammadiyah, Apa Bedanya dengan yang Lain?

Ketiga, memang dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, asulullah bersabda “Sesungguhnya semua perbuatan itu tergantung pada niatnya”.

Dalam perspektif fikih, hadis tersebut menjadi primadona bagi ulama fikih untuk menjustifikasi bahwa niat itu menjadi penentu sah atau tidaknya sesuatu ibadah. Hal tersebut menunjukkan bahwa untuk sahnya suatu ibadah itu harus disertakan niat. Sedang dalam perspektif tasawuf, dipahami bahwa niat itu menjadi penentu berpahala atau tidaknya suatu ibadah.

Namun perlu diketahui terlebih dahulu, bahwa penggunaan niat diperbolehkan jika memang memenuhi dua syarat. Keduanya adalah ibadahnya memiliki jenis yang sama dan ibadahnya tersebut bukan ibadah yang berdiri sendiri, dalam artian bisa diwakilkan oleh ibadah sejenis lainnya.

Penerapan Hujjah

Contohnya di sini adalah bolehnya penggunaan niat salat tahiyatul masjid dan dengan salat rawatib. Dua salat ini jenisnya sama, yaitu sama-sama salat sunnah. Mengenai dalil yang dipakai, Rasulullah bersabda yang artinya: “Jika salah seorang dari kalian memasuki masjid, maka janganlah kalian duduk sampai kalian mengerjakan salat sunah dua rakaat.

Maksud hadis ini yang penting mengerjakan salat sunah 2 rakaat ketika memasuki masjid. Bisa jadi diwakilkan dengan salat sunah rawatib atau juga bisa salat tahiyatul masjid. Asalkan, seseorang mengerjakan salat sunah 2 rakaat, apa saja salat sunnah tersebut ketika memasuki masjid, berarti ia telah melaksanakan perintah dalam hadis di atas.

Namun, untuk masalah aqiqah dan qurban berbeda dengan masalah salat sunah rawatib dan salat sunah tahiyatul masjid. Qurban dan aqiqah memang sama-sama sejenis, yaitu sama-sama penyembelihan hewan. Tapi keduanya adalah ibadah yang berdiri sendiri dan tidak bisa digabungkan dengan lainnya. Qurban untuk tembusan diri sendiri, sedangkan aqiqah adalah untuk tembusan diri kepada sang anak.

Baca Juga  Perbedaan Antara Syari'ah dan Fikih

Solusi dan Kesimpulan

Syekh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya mengenai hukum menggabungkan niat qurban dan aqiqah, jika Iduladha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak. Beliau menjawab, sebagian ulama berpendapat jika hari Iduladha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak, kemudian dilaksanakan qurban, maka tidak perlu lagi melaksanakan aqiqah.

Sebagaimana pula jika seseorang masuk masjid dan langsung melaksanakan salat fardhu, maka tidak perlu lagi ia melaksanakan salat tahiyatul masjid. Alasannya, karena 2 ibadah tersebut adalah ibadah sejenis dan keduanya bertemu dalam waktu yang sama, maka satu ibadah sudah cukup dan menggugurkan ibadah lainnya.

Akan tetapi, saya lebih afdal jika seseorang dari kalian diberi kecukupan rezeki, ketika Iduladha bertepatan dengan hari aqiqah, maka hendaknya ia berqurban dengan satu kambing, ditambah beraqiqah dengan satu atau dua kambing (sesuai jenis kelamin anak).

Akhirnya, dalam hal ini kita bisa merenungkan kata hikmah yang berbunyi: ats-Tsawab bi Qadri at-Ta’ab, artinya “Pahala suatu amalan itu terkait dengan tingkat kesulitannya”. Maka, sudah terlihat lebih baik mengerjakan keduanya bukan? Silahkan direnungkan. Wallahu a’lam bi showab.

Editor: Rifqy N.A./Nabhan

Avatar
1 posts

About author
Pelajar Indonesia. Pencari Ridho Allah SWT.
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *