Saya merasa ada kesamaan antara al-Fatih, sang penakluk Konstantinopel yang masyhur dengan Gibran, sang pengusaha muda martabak yang viral itu. Tanpa menafikan terdapat perbedaan-perbedaan yang mungkin begitu jauh pada keduanya. Di sini saya hanya menyajikan narasi dengan persepsi yang masih subjektif di antara keduanya.
Gibran dan al-Fatih
Akhir-akhir ini, begitu ramai dibicarakan tentang dinasti politik yang sedang terjadi. Beberapa kerabat dekat presiden banyak yang menjadi calon kepala daerah. Dan kini, anak sulung Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, yang bernama lengkap Gibran Rakabuming Raka turut menjadi calon kepala daerah.
Gibran mendaftarkan diri sebagai calon Walikota Solo dari PDIP untuk pemilihan Walikota Solo periode 2020-2025. Kabarnya, sampai hari ini Gibran masih menjadi calon tunggal yang berpasangan dengan ketua DPRD Surakarta, Teguh Prakoso.
Mungkin, Jokowi memang sudah menyiapkan secara matang-matang bahwa Gibran akan maju sebagai walikota Solo dan menjadi penggantinya. Seperti yang dilakukan oleh Sultan Murad II untuk Mehmed II (Muhammad al-Fatih).
Sultan Murad II telah mendidik dan menyiapkan al-Fatih menjadi pemimpin besar dengan terus dibina oleh para ahli. Sampai suatu ketika usianya menginjak 14 tahun, ia diangkat oleh ayahnya menjadi pemimpin kota Manisa. Ini bagian dari praktek lapangan terhadap ilmu yang telah didapatkannya.
Dan pastinya, kita semua menyangsikan antara Gibran dan al-Fatih di umur yang masih belia itu jika dihadapkan secara bersamaan. Apakah mampu menjalankan pemerintahan pada sebuah kota. Tentunya pasti dibawah panduan dan bimbingan ayah mereka secara langsung yang masih memimpin pemerintahan saat itu.
Saya pun tidak menafikan untuk menyamakan sistem monarki dengan sistem demokrasi saat ini. Tapi realita yang terjadi, siapa yang menjadi pemangku kekuasaan, dialah yang leluasa mengambil keputusan. Terlebih PDI-P saat ini begitu kuat di Solo dibandingkan partai-partai yang lainnya. Sehingga bisa dipastikan memang Gibran akan terpilih menjadi Walikota Solo, kecuali Allah Azza wa Jalla turun tangan untuk berkehendak yang lain.
Kesamaan Gibran dan al-Fatih
Memang, jikalau dipersamakan secara utuh, pada keduanya akan terlihat begitu jauh. Tapi bukankah kita harus melihat kepemimpinan Gibran terlebih dahulu untuk kemudian menilai?
Bahwa Muhammad al-Fatih memang sosok yang diprediksi oleh Nabi Muhammad sebagai pemimpin yang terbaik sepanjang sejarah. Dia akan menaklukkan Konstantinopel yang dikuasai kerajaan Romawi berabad-abad dengan pertahanan yang sangat kokoh, sehingga kesulitan untuk menembusnya.
Sampai-sampai, al-Fatih mengerahkan kapal perangnya agar diseret melalui Bukit Galata menuju ke Tanduk Emas (Golden Horn). Sehingga, serangan dilakukan dari laut agar lebih efektif. Dengan bantuan kayu bulat yang dihaluskan menggunakan lemak sapi, satu landasan diwujudkan guna memudahkan kapal itu diseret menaiki bukit.
Akan tetapi, prediksi saya Gibran juga pasti memiliki gebrakan dan inovasi dalam kepemimpinannya sebagai anak muda, walau akhir-akhir ini menunjukkan kesamaan dengan ayahnya. Tak memungkiri juga bahwa buah jatuh tak jauh dari pohonnya, seperti selalu membawa teks dalam setiap pidatonya.
Setidaknya, kini kita husnuzannya mungkin proses di awal-awal. Tapi kalo keterusan, berarti benar diksi sarkasme Rocky Gerung bahwa tidak merawat akal sehat (otak kosong).
Akselerasi Kepemimpinan Pemuda
Terlepas dari itu semua, tentang anak siapa Gibran itu, tanpa sistem apa yang dipakai, dan isu dinasti politik yang terjadi. Pemuda hari ini harus melakukan akselerasi alih tampuk kepemimpinan nasional di segala bidang yang telah menjadi tuntutan.
Sejarah telah membuktikan peran pemuda begitu berpengaruh dalam peradaban negeri ini. Mungkin kita harus sedikit menengok tokoh-tokoh nasional semasa kemerdekaan. Kenanglah Sjahrir, ia memimpin Pendidikan Nasional Indonesia pada usia 22 tahun. Kenanglah Soekarno, ia mendirikan dan memimpin Partai Nasional Indonesia pada usia 26 tahun.
Juga tak lupa, Tan Malaka, Ia telah menjadi pemimpin partai komunis pada usia 24 tahun. Kenanglah pula Muhammad Roem, ia telah menjadi ketua Lajnah Tanfidziah Barisan Penyadar PSII pada usia 29 tahun.
Jika kita membandingkan dengan usia para pemimpin di negeri saat ini. Sudah saatnya pemuda mengambil alih proyek historis kaum muda dalam melakukan revolusi perubahan dengan lompatan besar. Indonesia tanpa jiwa muda (baca: kebaruan-kemajuan) dan kepemimpinan pemuda adalah Indonesia yang menyangkali jati dirinya.
Kehendak membangun daya saing bangsa menuntut kita untuk memudakan kembali Indonesia. Kaum muda di masa kini dituntut untuk meraih kembali “politik yang hilang” dari genggamannya seraya mengembalikannya ke jalur yang benar.
Politik Kaum Muda
Khittah politik kaum muda dengan menawarkan ide-ide progresif dan semangat republikanisme. Kini dipanggil oleh sejarah ketika politik mengelola republik demi kebijakan kolektif telah tersisihkan oleh apa yang disebut Machiavelli sebagai raison d’etat (reason of state) yang berorientasi parokial.
Jika politik sejati itu memiliki kepedulian untuk mempertahankan kepentingan kolektif melalui perbaikan otoritas publik. Sedangkan reason of state memprioritaskan kepentingan elite dan kelompok penguasa dengan mengatasnamakan ‘kebijakan publik’. Kaum muda harus menyelamatkan kepercayaan rakyat kepada republik ini dengan mengembalikan politik pada khittahnya.
Disisi lain, ketika Gibran tidak memiliki khittah politik kaum muda itu dan kapasitas keilmuan yang mumpuni. Dikhawatirkan saat terpilih akan menjadi boneka saja dalam kepemimpinannya. Sehingga, sama saja terjadi reason of state yang juga merupakan sebuah seni memerintah dengan menipu rakyat dan akan semakin jauh dari kesamaan sosok al-Fatih. Kita doakan saja yang terbaik untuk negeri ini. Wallahu’alam.
Editor: Rifqy N.A./Nabhan