Buat seorang muslim, sosok Sang Nabi Muhammad saw. digambarkan sebagai sosok yang lembut, penyayang, ksatria, dan akhlak-akhlak bagus lainnya. Bahkan, beliau dijadikan tolak ukur pribadi muslim yang baik. Namun, di Barat sendiri, tampaknya ada semacam ‘peperangan’ image baik dan buruk Nabi Muhammad saw.
Saya jadi teringat pertemuan yang terjadi antara Goethe dan Napoleon Bonaparte pada 2 Oktober 1808 di kota Erfurt, Jerman. Mereka berdua mendiskusikan politik dan sastra. Lalu, Bonaparte sadar bahwa Goethe telah menerjemahkan karya Voltaire tentang sang Nabi saw. yang berjudul Mahomet, ou le fanatisme ke Bahasa Jerman.
Voltaire Bercerita tentang Nabi Muhammad
Napoleon berkata bahwa Voltaire telah menggambarkan sosok Nabi Muhammad saw. secara tidak layak. Padahal beliau adalah seorang penakluk dunia, seorang pria hebat yang telah mengubah perjalanan sejarah. Setidaknya begitulah yang dicatat oleh John Tolan dalam buku Faces of Muhammad.
Memangnya, seperti apa penggambaran Voltaire soal Nabi? Muhammad Iqbal di artikel mojok menuliskan kalau sosok sang Nabi saw. di karya Voltaire tidak ada hubungannya dengan sejarah.
Ceritanya, Nabi Muhammad saw. jatuh cinta dengan Palmira, seorang wanita yang ia tangkap saat masa kanak-kanak. Sayangnya, Palmira jatuh cinta dengan Zeide, orang lain.
Singkatnya, kemudian sang Nabi memerintahkan Zeide membunuh Zopire, ayahnya sendiri. Kemudian Nabi saw. meracuni Zeide.
Belakangan Palmira tahu bahwa Zeide adalah kakak. Artinya Zopire yang dibunuh Zeide adalah ayah mereka juga. Karena sedih luar biasa, lalu Palmira bunuh diri sambil membeberkan sifat asli Nabi yang buruk. Sungguh kisah yang mengerikan.
Menilai Sang Nabi: Antara Goethe dan Voltaire
Sekarang kita memiliki dua sosok, Goethe dan Napoleon beserta Voltaire. Keduanya memandang sosok sang Nabi saw. dengan sangat berbeda.
Sayangnya, seperti kata John Tolan, sejak abad pertengahan, orang Eropa kebanyakan memandang sosok Nabi Muhammad saw. seperti Voltaire memandangnya.
Menurut Khan dan Al-Olaqi di artikel Western Image of Muhammad (PBUH) as Prophet, ada dua kata kunci image sang Nabi di Barat. Itu adalah (1) kesalahpahaman dan (2) penggambaran yang keliru.
Kebanyakan orang Eropa mengenal sosok sang Nabi bagai penjahat kakap saja. Dan itu sudah terjadi sejak abad pertengahan. Penggambaran yang penuh kesalahpahaman itu berurat berakar di pikiran orang Barat hingga sekarang, menimbulkan kecurigaan dan diskriminasi terhadap kaum muslim.
Misalnya, sumber paling awal penggambaran sosok sang Nabi saw. ada di Chronica Byzantia-Arabica ad annum 741 dan juga Chronica Muzarabica ad annum 754. Karya ini anonim dan ditulis sekitar abad 8 M. Di sana ditulis bahwa sang Nabi adalah pemimpin pemberontakan Saracen (sebutan untuk muslim) di Kekaisaran Bizantium, yang tentaranya menginvasi Suriah, Arab, dan Mesopotamia. Beliau juga digambarkan sebagai Antikristus.
Memoriale Sanctorum; Liber apologeticus martyrum yang ditulis oleh Eulogius Cordubiensis di sekitar tahun 851 M juga menulis hal keliru. Di sana disebutkan bahwa Sang Nabi saw. adalah wadah iblis, malaikat Satan, dan pelopor Antikristus.
Sebelum tahun 851 M, Iohannes Hispalensis menulis surat. Di sana disebutkan bahwa Nabi saw adalah seorang “Segel nabi-nabi palsu”.
Berbagai Kesalahpahaman Barat terhadap Sang Nabi Saw.
Indiculus Luminosus yang ditulis oleh Paulus Albarus tahun 854 M tak jauh beda. Ditulis bahwa Nabi saw adalah pria yang mengabdikan diri pada kesenangan sensual. Dan bahwa Tuhan yang dipuji oleh Sang Nabi adalah Maozim, Cobar ‘yang Agung’ (al-Akbar), yang disembah dan dirayakan di kuilnya.
Dalam Historia Ecclesiastica sive Historia Tripartita yang ditulis oleh Anastasius Bibliothecarius sekitar tahu 871 M, sang Nabi saw. digambarkan sebagai epilepsi dan biksu sesat yang meyakinkan Khadīja.
Roger Bacon sayangnya memiliki kesalahpahaman yang sama. Dalam buku Opus Maius, pars VII: Moralis Philosophia, ia menggambarkan bahwa kehidupan sang Nabi agak tercela, ditujukan untuk menculik dan memperkosa wanita cantik, sebuah praktik yang menyebabkan perselisihan sipil.
Sebenarnya masih banyak sekali kesalahpahaman tentang sosok Nabi Muhammad saw. yang tercermin dari karya-karya Barat. Michelina de Cesare mencatat ada sekitar 53 karya abad pertengahan yang punya andil menuliskan sosok Nabi Muhammad saw. yang “aneh” itu.
Sementara John Tolan mencatat kesalahpahaman tentang sosok Nabi cukup banyak. Misalnya saja, beliau saw dituduh sebagai penipu, sosok yang menjadi berhala, pemimpin sekte bid’ah, dan beberapa sebutan lainnya.
Semua karya-karya dari abad pertengahan itu tentu saja beredar luas di masyarakat Eropa. Sedikit banyak, sosok keliru sang Nabi saw. perlahan mulai terbentuk di mata rakyat. Dan itu berpengaruh terhadap Islamophobia yang terjadi di Benua Biru saat ini.
Datangnya Zaman Informasi
Untungnya, zaman internet telah tiba. Setiap orang pada dasarnya kini bisa mengkonfirmasi siapa sosok Nabi saw sebenarnya. Dengan ujung jarinya, ia bisa browsing dan membaca literatur asli Islam dan Sirah Nabawiyah. ‘Perang’ image baik dan buruk sang Nabi makin gencar di era sekarang.
Berkat akses informasi yang makin terbuka, perlahan, sosok Nabi saw mulai digambarkan dengan fair dan sepantasnya. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh muslim di Eropa, tapi juga oleh non muslim yang ada di sana.
Para Youtuber melakukan reaction video-video tentang sosok Nabi Muhammad saw. Tidak jarang kemudian mereka menjadi muslim setelah menontonnya. Sebagian lagi menjadi jauh lebih simpati terhadap beliau saw.
Para muslim juga bahu-membahu menyebarkan sosok sebenarnya sang Nabi dalam Bahasa-bahasa Eropa. Mereka melakukannya dalam bentuk buku, media daring, campaign di jalanan, atau bahkan dialog akademik di universitas.
Bagus juga kalau Maulid Nabi ini kita jadikan momentum untuk makin mengenal beliau dan menyebarkan sosok beliau yang luar biasa. Kita sebagai muslim memiliki tugas itu.
Jangan sampai lagi non muslim berpikir –apalagi muslim- bahwa Nabi Muhammad saw. adalah penjahat kakap yang memakai bom di sorbannya.