Baru-baru ini kita semakin banyak mendengarkan para ustadz yang mengkritik cara ibadah kita yang telah dilakukan selama beratus-ratus tahun. Kritikan itu biasanya dari hal-hal yang bersifat furu’ (cabang) dalam agama. Sebagian juga tentang muamalah.
Di bulan Ramadhan kemarin, banyak dijumpai video ceramah dari para ustadz yang mengkritik waktu imsakiyah sampai doa berbuka puasa yang selama ini biasa kita lafalkan sejak kecil. Mereka semua pun mengaku adalah ulama dan ustadz salaf yang mengajak kembali umat pada dakwah tauhid.
Namun, sebelum kita menelan semua yang diucapkan ustadz-ustadz tersebut, alangkah lebih baiknya kita mengetahui apa itu salaf. Karena kalau dipikir-pikir, sudah puluhan tahun waktu imsakiyah dan doa berbuka puasa yang bunyinya begitu dan tidak ada ulama-ulama yang teruji ke-alimannya mengkritik doa-doa tersebut.
Berikut mari kita simak penjelasan Syekh Prof. Dr Ali Jum’ah, Guru besar Universitas Al-Azhar dan Mufti Agung Mesir dalam kajiannya yang diselenggarakan di Masjid Al-Azhar.
Syekh Ali Jum’ah menjawab pertanyaan dari jamaah, bahwa sekelompok orang mengaku bermadzhab salaf salih, namun mereka mengkritik Imam Syafi’i dan menolak mengikuti madzhab. Lantas siapa yang disebut salaf, dan apakah ada madzhab bernama salafiyah?
Menurut Syekh Ali Jum’ah, salaf adalah periode waktu, bukanlah madzhab fikih maupun akidah. Salaf adalah periode waktu yang baik. Dalam kurun waktu itu banyak iman dan perbuatan baik (amal sholeh). Allah SWT memberi anugerah kepada orang-orang di waktu itu dengan keteguhan dan dengan iman.
Rasulullah Saw bersabda; “Sebaik-baik umatku adalah masaku (khairu ummatiy qarniy), lalu orang-orang yang mendekati mereka (yang sesudahnya).” (HR. Bukhari).
Kemudian Rasulullah Saw juga bersabda, “Tetaplah berpegang pada petunjukku dan petunjuk khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk Allah pada kebenaran, setelahku. Pegang teguhlah hal itu. Dan jauhilah hal-hal yang dibuat baru (yang berbeda dari prinsip agama).”
Oleh karena itu para ulama berkata; “Kebaikan umat Muhammad hingga hari kiamat”. Sedangkan dalam madzhab fikih atau akidah yang disebut salafiyah itu tidak ada. Para ulama salafussalih terdahulu paham akan al-Qur’an dan Hadis, mereka paham ulama yang takwa dan bersih. Mereka mengetahui Bahasa Arab dan mengetahui secara mendalam terhadap Sunnah Nabi Saw lengkap dengan sanadnya.
Dengan itu semua mereka mengumpulkan ilmu, termasuk golongan mereka adalah Imam Abu Hanifah yang wafat tahun 150 Hijriyah. Juga Imam Malik, pemimpin penduduk Madinah, beliau wafat tahun 174 Hijriyah. Juga Imam Syafi’i, beliau wafat tahun 204 Hijriyah. Para imam tersebut belum melewati 3 masa yang disabdakan oleh Rasulullah Saw, terang Syekh Ali Jum’ah.
Imam as-Syafi’i sebagai ulama salaf adalah seorang ahlul qur’an, seolah al-Qur’an adalah satu baris di hadapannya. Suatu ketika, beliau berkunjung ke kediaman Imam Ahmad Ibn Hanbal. Imam Ahmad sangat menghormati Imam Syafi’i. Putri Imam Ahmad pun terperangah sebab rasa hormat itu.
Putri Imam Ahmad mengamati ibadah Imam Syafi’i di malam harinya. Ternyata, setelah Imam Syafi’i melakukan ibadah shalat Isya’, beliau tidak melanjutkan dengan shalat malam. Lalu putri Imam Ahmad berkata pada ayahnya, bahwa kenapa orang yang ayahnya puji-puji tidak melakukan shalat malam. Pada zaman ulama terdahulu shalat malam bagi mereka adalah sesuatu yang harus dilakukan.
Imam Syafi’i mendengar penuturan putri Imam Ahmad, lalu berkata, “Putriku, semalam aku tidak tidur, aku membaca Alquran, mencari solusi problem dan permasalahan umat Islam.”
Maksudnya bahwa Imam Syafi’i, ulama salaf itu, tidak tidur semalaman, Alquran seolah satu baris di hadapan beliau, beliau membaca dengan hatinya. Mengkhatamkan di siang harinya dan sekali di malam hari. Ketika membaca kisah ini mungkin kita tidak percaya, bagaimana bisa manusia mencapai derajat demikian?
Disarikan dari kajian Syekh Ali Jum’ah
Editor: Yusuf