Perspektif

Guru dan Budaya Literasi

3 Mins read

Saya sengaja bawa buku kemana-mana, kata seorang rekan guru sembari menunjukkan buku yang tengah dibacanya, sebuah buku bergenre literasi finansial—yang entah apa judulnya. Menurutnya, selain karena ingin membaca, secara implisit ia sebenarnya ingin melakukan semacam kampanye untuk membaca, terutama untuk guru-guru.

Lebih jauh lagi, rekan saya sampai pernah mewajibkan murid-muridnya untuk membawa buku jika ingin masuk ke kelasnya. Berdasarkan ceritanya, ia juga meminta mereka membaca pada jam pertama pelajarannya. Asal anda tahu, rekan saya itu bukanlah seorang guru bahasa Indonesia. Entah kenapa, membaca sering kali hanya dikaitkan pada guru pelajaran bahasa Indonesia –seolah-olah membaca hanya tanggung jawab mereka saja. Padahal, guru apapun itu dan dalam hal membangun budaya literasi, semestinya tidak memandang bidang studi yang diampunya.

Cerita ini bukan suatu hal yang mengejutkan mestinya, yaitu kampanye membaca di dalam lingkungan sekolah. Mungkin anda akan berpikir, bukannya sekolah memang tempat untuk menimba ilmu, tempatnya buku-buku diputar, jadi tak ada yang aneh bukan? Sayangnya realitas yang ada, di mana pun itu, boleh dibilang malah sebaliknya.

Seberapa sering guru membaca buku? Satu minggu satu buku atau satu bulan satu buku? Atau barangkali, jika saat ini profesi anda seorang guru, masihkah anda membaca buku selain lembaran LKS? Seberapa sering guru bersahabat dengan buku, jika guru saja tak pernah sesekali berkunjung ke perpustakaan untuk meminjam buku bacaan. Ini adalah konteks mengapa rekan tadi melakukan kampanye membaca, sekalipun hanya secara implisit—dan saya kira memang hanya bisa secara implisit.

Angka buta huruf di Indonesia cenderung menurun setiap tahunnya. Ini tentu kabar bagus. Berdasar data BPS, tahun 2018 angka tersebut telah menurun menjadi 3,29 juta atau sekitar 1,93 persen saja dari seluruh populasi penduduk kita.

Baca Juga  Lima Langkah Reaktualisasi Gerakan Pemuda Muhammadiyah

Akan tetapi, masalah berikutnya ialah kecenderungan turunnya buta huruf tak sekaligus dibarengi dengan penurunan buta huruf secara fungsional (functionally illiterate). Bahkan, angka buta huruf fungsional ini relatif tinggi. Juni 2018 lalu misalnya, Bank Dunia telah merilis sebuah terbitan yang mencengangkan, yang menyatakan bahwa sebanyak 55% orang Indonesia mengalami buta huruf fungsional.

Buta huruf fungsional sendiri merupakan kondisi di mana seorang dapat membaca dan menulis, namun tidak sekaligus dapat memahami konteks wacana yang dibacanya secara tepat. Sederhananya, mereka yang mengalami buta huruf fungsional ini sering kesulitan, bahkan tidak bisa memahami informasi sekalipun telah membacanya. Ironinya, ini juga terjadi di ranah pendidikan, bahkan pada lulusan kuliah sekalipun.

Padahal, jelas-jelas ini hal esensial dan berdampak sangat signifikan bagi kualitas pendidikan. Lebih jauh lagi, berdampak pada rendahnya produktivitas nantinya. Mereka yang kualitas literasinya rendah boleh dibilang hanya akan mengikuti, alih-alih menemukan suatu hal baru dengan kreatif. Tak ayal, jika kemudian banyak satir-satir populer perihal pengangguran. Barangkali inilah realitas yang dibayangkan rekan saya, jika seorang guru ikut (atau membiarkan muridnya) mengalami buta huruf fungsional, bagaimana pendidikan bisa terpacu?

Membaca buku tentu bukan satu-satunya obat jika mau menyebut bahwa buta huruf fungsional adalah sebuah penyakit. Tetapi, yang perlu diingat, membaca buku adalah salah satu dari sedikit cara untuk melatih dalam memahami informasi secara holistik. Selain itu, membaca juga akan membuka atau memberikan wawasan lebih, untung-untung bila bisa membantu melatih nalar berpikir kita.

Mengapa Guru?

Sekolah adalah episentrum literasi. Setidaknya di sinilah tempat generasi awal manusia Indonesia digembleng. Jika lingkungan ini tidak dibentuk sedari sekolah, maka di mana lagi anak-anak muda ini mendapat sebuah setruman perihal pentingnya membaca buku? Terlebih kurikulum pendidikan kita hari ini tidak lagi mewajibkan siswa untuk membaca buku. Padahal pada masa kolonial sampai tahun 1950-an saja, selama tiga tahun siswa tingkat SMA wajib membaca 25 buku—dalam hal ini adalah buku-buku sastra—dan ini telah digelisahkan lama oleh Taufiq Ismail.

Baca Juga  Djazman English Scholarship dan Internasionalisasi Gerakan IMM

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebenarnya telah mendorong ini dengan melakukan gerakan, seperti Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Gerakan tersebut dimaksudkan agar peserta didik diharuskan membaca selama lima belas menit, kemudian diminta untuk menulis ringkasan dari bacaannya. Apakah ini sudah berjalan dengan baik? Tentu, kita harus merefleksi kembali tentang ini. Tak hanya membenahi atau membuat sistemnya saja. Hal yang tak kalah penting lagi adalah membangun budaya dari tahap terkecil sebagaimana hal kecil yang telah dilakukan oleh rekan saya tadi.

Budaya literasi harus mulai dibangun dari akar rumput! Apa itu? Kesadaran pentingnya membaca, memahami apa yang dibaca, dan juga tak muluk-muluk jika sekaligus mampu kritis terhadap teks yang dibacanya. Akar rumput itu harus diawali dari guru yang punya banyak akses dan jam terbang bertemu dengan siswanya. Sehingga, guru memiliki peran vital dan diharapkan bisa menggembleng budaya literasi.

Bayangkan saja jika kampanye rekan saya ini berhasil. Asumsikan saja rekan saya dapat mempengaruhi paling tidak empat guru saja. Empat guru ini kemudian melakukan hal yang sama seperti rekan saya tadi, yaitu mengajak murid-muridnya membaca, bahkan mengharuskan mereka membawa buku pada jam pelajarannya. Berapa banyak yang akan ikut membaca hanya dari sebuah kampanye yang sangat sederhana ini?

Editor: Nirwansyah

Related posts
Perspektif

Moderasi Hilirisasi Haji

3 Mins read
Dalam beberapa tahun terakhir, hilirisasi haji telah menjadi sorotan penting di Indonesia. Berangkat dari visi untuk memberikan pelayanan haji yang berkualitas dan…
Perspektif

AI dan Masa Depan Studi Astronomi Islam

4 Mins read
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) merupakan program komputer yang dirancang dan dihadirkan untuk dapat meniru kecerdasan manusia, termasuk kemampuan pengambilan keputusan,…
Perspektif

Pendidikan sebagai Dasar Pembentuk Nilai Hidup

3 Mins read
“Pendidikan (opvoeding) dan pengajaran (onderwijs) merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds