Istilah baru bagi pendidikan Indonesia saat ini berputar pada istilah-istilah seperti link and match, merdeka belajar, kampus merdeka atau yang terbaru kali ini adalah organisasi penggerak. Kesemua istilah tersebut, saling berkesinambungan menuju suatu praktek komodifikasi pendidikan atau bertukarnya nilai pendidikan pada suatu hal yang lebih berharga (dari perspektif dagang). Namun, tulisan ini hanya mengulik pada organisasi penggerak yang digadang-gadang sebagai solusi untuk mengentaskan inkompetensi antara pendidikan dan kualitas guru di Indonesia.
Keadaan Pendidikan dan Guru Terkini
Polemik beberapa hari lalu yang menyebutkan bahwa organisasi besar yang punya record perjalanan mengurus pendidikan seperti NU, Muhammadiyah, dan PGRI. Cukup menarik untuk diulas tiga organisasi masyarakat besar yang menampakkan diri untuk mundur dari Program Organisasi Penggerak. Meski sudah dikatakan lolos seleksi dan mendapat bantuan hibah jenis Gajah atau sekitar Rp 20 milyar atau dalam websitenya setara menaungi program untuk 1.000 sekolah/PAUD.
Mundur dari keikutsertaan sebagai Organisasi Penggerak yang ditujukan untuk membantu meningkatkan kualitas guru di satuan pendidikan, seluruh Indonesia. Dalam kontrak yang tertulis tiga tahun, lembaga atau organisasi yang dinyatakan lolos harus bisa membawa dampak baik bagi kualitas guru di Indonesia.
Saat penulis berusaha mencari naskah akademik yang umumnya dijadikan dasar dari suatu kebijakan. Ditemukan di laman milik Kemendikbud tersebut bahwa lembar fakta—yang setara dengan naskah akademik namun hanya berbasis data—tentang kondisi guru di Indonesia saat ini. Dikatakan dalam lembar fakta tersebut bahwa skor PISA (Programme for International Student Assessment) di Indonesia pada tahun 2018 mengalami penurunan dari hasil tahun 2015.
***
Skor PISA Indonesia untuk nilai membaca turun dari 397 ke 371, untuk nilai kemampuan matematika turun dari 386 ke 379, dan untuk nilai sains turun dari 403 ke 396; semuanya dari rentang 350-550 sebagai skor tertinggi.
Selain itu, juga dipaparkan skor AKSI (Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia) yang juga merupakan program pemetaan capaian pendidikan dengan mengukur kemampuan matematika, membaca, dan sains; yang dilakukan untuk cakupan nasional maupun daerah untuk anak sekolah usia 15 tahun; menunjukkan bahwa untuk kemampuan matematika, berada di kategori kurang (sebanyak 77,13 dari rentang 100); kemampuan membaca berada di kategori kurang (sebanyak 46,83 dari rentang 100); dan kemampuan sains juga berada di kategori kurang (sebanyak 73,61 dari rentang 100). Sisanya, kategori cukup untuk matematika ada pada nilai 20,58, dan kategori baik hanya 2,29. Kategori cukup untuk membaca ada pada nilai 47,11 dan kategori baik hanya 6,06. Terakhir kategori cukup untuk sains ada pada nilai 25,38 dan hanya 1,01 yang dikategorikan baik.
Dua data tersebut mengukur kemampuan siswanya, di data selanjutnya; ada hasil skor Pemetaan Mutu Pendidikan (PMP) tahun 2018 yang menyasar pada Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Hasilnya, skor terendah ada di SMK (yakni rata-rata 5,17), SMP (rata-rata 5,38), SD (rata-rata 5,41), dan tertingginya SMA (rata-rata 5,46). Namun, hasil ini belum memuaskan sebab rentangan skornya ialah nilai 0 sampai dengan nilai 7. Data ini diambil dari Neraca Pendidikan Daerah tahun 2019 dengan mengukur ketersediaan dan kompetensi guru, kepala sekolah, tenaga administrasi, laboran, dan pustakawan, sesuai dengan aturan yang berlaku.
Inkompetensi Kualitas Guru
Data di atas belum ditambah dengan data UKG atau Uji Kompetensi Guru dan Data Pelatihan Guru dan Kepala Sekolah dalam rentang dua tahun. Singkatnya, untuk UKG secara rata-rata nasional, hasil UKG rata nasional sebesar 56,69 dari rentang 0 hingga 100. Kesemua data yang penulis tuliskan dapat diakses pada lembar fakta berikut.
Namun, yang menarik adalah bagaimana program-program pada Program Organisasi Penggerak ingin menyasar pada inkompetensi guru; apakah ukuran inkompetensi guru secara rata hanya dinilai dari angka UKG-nya saja?
Dalam kasus guru di Indonesia, inkompetensi guru dalam Akhwan (2005) adalah tentang attitude. Di dalam attitude, ada willingness dan ability yang berada dalam pribadi seorang guru. Dalam konteks ini, Akhwan (2005) menjelaskan bahwa kompetensi guru berarti berbicara pada profesionalitas guru. Di dalam profesionalitas itu, sebetulnya adalah hasil dari pendidikannya seorang guru menjadi guru.
Artinya, untuk menilai kualitas pendidikan guru; professional atau tidak, kompeten atau tidak; tidak hanya bisa dilihat dari ukuran kognitifnya yang meliputi kemampuan manajemen, pengetahuan teknologi.Tetapi, lebih kepada akumulasi sikapnya; pengembangan profesionalismenya bisa melebihi seorang teknisi dan bukan hanya memiliki keterampilan tinggi. Tetapi juga memiliki tingkah laku yang disyaratkan.
Paradoksial: Kekurangan Guru vs “Inkompetensi” Guru
Tentu, ukuran UKG ini tidak bisa mengukur keseluruhan apa yang ada pada guru; UKG menyasar pada kompetensi guru yang dapat dikuantitatifkan. UKG dalam ujinya, hanya menilai sejauh mana kompetensi pedagogik (yang berkaitan dengan kesesuaiannya dalam mengajar) dan kompetensi professional (yang berkaitan dengan kiat cara mengajar). Sementara untuk kompetensi lainnya seperti kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian, tidak dapat “diukurkan” sebab sifatnya yang kualitatif.
Selain itu, kita juga dihadapkan oleh kurangnya jumlah guru. Ini berkaitan dengan siklus pendidikan; guru pensiun, pindah/mutasi, atau pemetaan guru honorer, masih menjadi alasan mengapa jumlah guru belum bisa dikatakan cukup.
Terakhir, UKG—salah satu alasan mengapa polemik guru tak berkualitas—juga belum bisa dikatakan mengukur keseluruhan kondisi guru di Indonesia. Guru yang diukur hanyalah guru yang sudah mendapatkan sertifikasi. Artinya, guru tersebut sudah melalui proses PPG (Pendidikan Profesi Guru) dan mungkin saat ini, ada guru siluman. Ia cukup kompetensinya ketimbang guru yang diukur oleh UKG.
Reformasi pendidikan dimulai dari kualitas guru dan polemik pendidikan tidak hanya tentang inkompetensi guru, semuanya bermula saat kita abai terhadap nilai utuh dalam pendidikan itu sendiri.