Persahabatan yang baik adalah persahabatan yang tak lekang oleh waktu dan kepentingan pribadi. Meskipun setiap orang memiliki urusan pribadi, tapi di balik kepribadian, personalitas, dan keintiman pada diri sendiri itu manusia selalu membutuhkan yang-lain. Demikian merupakan suatu keniscayaan karena manusia menyadari akan adanya sang aku dengan kehadiran kamu (yang-lain).
Eksistensi atau keberadaan manusia akan menjadi lebih utuh saat eksistensinya diterima oleh orang lain. Bahkan berkat adanya orang lain itu, eksistensi seorang manusia bisa terabadikan. Lebih-lebih jika eksistensi orang tersebut memiliki nilai-nilai yang baik, positif, dan bermanfaat baik lahir maupun batin. Kehadiran orang lain ibaratnya hujan yang menumbuhkan pucuk layu. Membawa kemanfaatan dan menjadikan kebaikan terus hidup secara alami.
Hal itulah yang saya rasakan saat membaca buku Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus karya KH. Husein Muhammad, atau yang lebih akrab disapa dengan sebutan Buya Husein.
Dalam kanal yang sama, saya menemukan tulisan yang sama-sama menguliti buku ini, yaitu yang ditulis oleh Fathorrozi. Namun dalam tulisannya ia memotret tentang kisah misteri tidurnya seorang Gus Dur.
Oleh karena itu, di sini saya ingin memotret keabadian persahabatan beliau-beliau yang teduh dan menaungi kita dari panasnya gemerlap kepentingan.
Gus Dur dan Gus Mus
Bukan rahasia umum lagi bahwa Gus Dur dan Gus Mus memang sebuah simbol persahabatan yang baik, yaitu persahabatan yang tak lekang oleh waktu. Demikian pula oleh Buya Husein. Meski Buya Husein secara usia berada di bawah Gus Dur dan Gus Mus beberapa tahun, namun beliau menjadi orang yang cukup dekat baik dengan Gus Dur maupun Gus Mus.
Persahabatan Gus Dur dan Gus Mus memang berjalan sejak lama sekali. Bahkan Gus Mus mengatakan bahwa Gus Dur merupakan teman sepertiduran beliau. Gus Mus juga menjadi sosok yang mengerti Gus Dur saat beliau sama-sama berada di Kairo.
“Pokoknya kerjaan Gus Dur di Kairo tiap hari, ya, membaca buku, menulis artikel, berdiskusi, ngobrol-ngobrol diselingi humor-humor segar, lalu nongkrong-nongkrong di Qahwaji (tempat minum kopi atau teh, dan menonton film.”—halaman 162.
Mengabadikan Persahabatan
Buku ini tentu tak akan pernah ada tanpa adanya kelapangan hati dan kemurnian persahabatan antara Gus Dur, Gus Mus, dan Buya Husein sendiri. Awalnya cukup menarik, bermula dari perjumpaan Buya Husein dan Gus Mus di Rembang pada 30 Maret 2014. Beliau ngobrol ngalor-ngidul yang kemudian sampai pada pembahasan tentang Gus Dur yang menjelang “pulang” masih sempat mampir ke kediaman Gus Mus.
Mulai dari situ, obrolan itu rasanya makin gayeng, sebab dalam obrolan Gus Mus dan Buya Husein itu, beliau semua sama-sama orang yang dekat dengan Gus Dur. Gus Mus sendiri dalam suau kesempatan juga pernah menceritakan bagaimana Gus Dur yang memperkenalkan beliau di kalangan para penyair sehingga kini kita semua kenal Gus Mus tak hanya sekadar kyai, melainkan juga penyair hingga pelukis.
Gus Mus mengatakan:
“Saya diminta oleh Gus Dur untuk membaca puisi di TIM (Taman Ismail Marzuki, Jakarta). Padahal, saya hanya orang desa dan santri sarungan yang tak mengerti sastra dan puisi, kok diminta tampil di ibukota? Saya juga hanya sesekali mengunjungi Jakarta, dan itu hanya untuk keperluan pribadi.”—halaman 26.
Saat itu Gus Dur tengah menjabat sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Saat menjabat demikian, Gus Dur tak lepas dari kritikan banyak pihak, karena seorang kiai tetapi tidak ngiyai-ngiyai banget. Namun itulah sosok Gus Dur.
Menariknya, secara tak langsung hal itu adalah cara Gus Dur untuk menjadikan Gus Mus lebih berkembang dalam kepenyairannya, sebab Gus Dur tahu bahwa sahabatnya tersebut, Gus Mus, memanglah seorang yang potensial dalam kepenyairan. Bayangkan jika saat itu Gus Dur tidak meminta Gus Mus untuk membaca puisi di TIM. Jangan-jangan hari ini kita mengenal Gus Mus hanya sebatas kyai—bukan kyai cum penyair, penulis, dan pelukis.
Persahabatan Gus Dur dan Gus Mus yang indah ini mungkin tak bakal saya ketahui tanpa adanya persahabatan beliau-beliau dengan Buya Husein. Dengan mengabadikan momen-momen kenangan menjadi suatu tulisan yang indah ini, Buya Husein juga turut mengabadikan persahabatan yang indah itu.
Persahabatan yang Jernih
Dengan begitu, saya merasakan adanya ketulusan dari beliau semua, sebab kita tahu, bahwa Gus Dur merupakan seorang yang bersahaja dan tak mengharap apapun—ikhlas tanpa pamrih. Gus Mus juga demikian. Sebagai seorang sahabat, beliau tetap kritis, hangat dan tetap terbuka.
Hal itu diketahui pada surat Gus Mus pada Gus Dur (halaman90-94). Dalam surat itu, Gus Mus sedang “curhat” bahwa telah lama beliau berdua tak berkomunikasi. Urusan dan kesibukan masing-masing dan Gus Dur telah menjadi publik figur. Gus Mus sendiri dalam suratnya mengatakan bahwa hubungan beliau mulai “ada jarak” dan Gus Mus merasa kehilangan sosok Gus Dur—panggilan “Gus” itu terucap oleh Gus Mus semenjak Gus Dur menjadi orang penting. Sebelumnya, Gus Mus memanggil Gus Dur dengan “Mas Dur”.
Dalam surat itu Gus Mus juga merindukan sosok Gus Dur yang dulu (Gus Mus menyebut dirinya sedang terjebak dalam romantisme kampungan). Gus Mus sampai mempertanyakan: “ke manakah gerangan sosok itu, kini?”—halaman 92.
…”Saya tidak mengerti apa sebenarnya yang sedang Sampeyan lakukan sekarangdengan atau bagi partai Sampeyan, PKB, dan Jam’iyah Sampeyan, Nahdlatul Ulama. Apakah dalam hal ini, Sampeyan—seperti biasa—mempunyai maksud-maksud tersembunyi di balik langkah-langkah Sampeyan yang membingungkan umat?”—halaman 93.
Esensi Persahabatan
Apa itu persahabatan? Bagaimana persahabatan seharusnya dijalankan? Adakah batas-batas dalam persahabatan?
Mungkin pertanyaan-pertanyaan itu terbungkam di hadapan buku yang memiliki tebal 179 halaman ini. Ya, hubungan antara Gus Dur, Gus Mus, dan Buya Husein itu sendiri adalah simbol persahabatan itu sendiri. Dengan kata lain menjadi role model persahabatan. Persahabatan yang religius-spiritualis, kekeluargaan, hangat, namun tetap terbuka dan kritis.
Hari-hari ini, kita kerap mendapati bentuk persahabatan yang toxic. Misalnya, jika salah satu sahabat kita sedang bertindak salah, alih-alih meluruskan atau memberi tahu, yang ada justru membenarkan tingkah laku kesalahan sahabat tersebut. Tak jarang juga saya menemui persahabatan yang relasinya hanya untuk mendominasi satu sama lain. Tak ada kesetaraan dan kesalingan.
Dalam persahabatan Gus Dur, Gus Mus, hingga Buya Husein, saya melihat ada kesalingan, kesetaraan, dan kerendah-hatian dari masing-masing. Salah satu aspek yang paling penting yaitu kerendah-hatian tersebut. Dengan rendah hati, maka terbuka dan tak mudah emosi. Dengan rendah hati, kualitas persahabatan juga akan menjadi lebih baik, sebab tidak jumud terhadap segala perbedaan dan justru meng-upgrade kualitas individu.
Daftar Buku
Judul : Gus Dur dalam Obroan Gus Mus
Penulis : KH. Husein Muhammad
Penerbit : Noura Books
Cetakan : I Oktober 2015
Tebal : 179 halaman
Editor: Soleh
Mestii kerennnn tulisanee 🔥