Pendahuluan
Gus Menteri – Apakah agama mengajarkan toleransi atau intoleransi? Apakah menjadi taat pada agama sendiri mengharuskan kita membenci agama lain dan penganutnya? Dalam pengamatan serius seorang Charles Kimball (2008) dan Mustafa Akyol (2011), jelas, di antara umat Islam ada yang meyakini bahwa agama tidak menyisakan ruang toleransi bagi perbedaan.
Umat Islam yang demikian mempercayai secara radikal bahwa Islam adalah satu-satunya jalan Tuhan, dan di luar itu adalah ajaran kesesatan.
Kita tak perlu menjadi professor teologi seperti Kimball, atau jurnalis prolifik seperti Akyol, untuk mengetahui fakta tersebut. Manusia punya mata, akal, dan hati, untuk menyaksikan sendiri hal serupa.
Tahun 2005, MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengeluarkan fatwa haram atas pluralisme, paham tentang aneka jalan kebenaran. Belum lama ini, menteri agama kita, Gus Yaqut Cholil Qoumas menyita perhatian publik, setelah secara resmi mengucapkan selamat hari raya atas umat beragama Baha’i. Orang-orang bereaksi, mempertanyakan sikap toleran sang menteri. Mereka merasa Baha’i bukan agama resmi di Indonesia. Bahkan, Baha’i tak lebih dari aliran sesat.
Jangan Anggap Remeh Intoleransi
Sejarah umat manusia adalah sejarah pluralisme agama. Dalam DNA kita semua, tertanam naluri beragama. Di setiap suku dan etnis yang pernah maupun masih eksis di muka bumi, selalu ada ajaran agama yang dianut, yang memberi mereka arah dan orientasi dalam hidup (Harari, 2014).
Dalam beragama, umat manusia tidak pernah mengalami ‘satu agama untuk semua’. Secara alamiah kita melihat beragam agama, bahkan, beragam mazhab dalam sebuah agama. Agama dan mazhab baru pun tak bisa ditahan untuk terus bermunculan. Pemikiran manusia selalu bergerak, bercabang, dan berkembang.
Tentu saja, sejarah jarang melihat kondisi harmonis. Konflik dan kebencian selalu membayangi interaksi sepanjang masa antaragama dan antarpemeluk agama. Bisa jadi, hari ini memang tidak ada perang antaragama. Tapi, itu bukan karena tidak ada ajaran kebencian dalam tradisi agama.
Itu semua lebih karena pendidikan modern yang membuat orang menjadi lebih rasional dalam menimbang resiko dan manfaat dari konflik dan peperangan. Konflik horizontal, perang sipil, dan terorisme, yang terjadi di banyak dunia Islam dua dekade terakhir, menjadi bukti aktual bahwa rasa benci atas orang yang berbeda agama dan mazhab bisa melahirkan perang kapan saja.
***
Intoleransi ini menjadi kedengaran aneh di telinga, ketika ia bergerak, tumbuh, dan hidup di sebuah negeri yang kaya dan beraneka secara agama, budaya, dan suku, seperti Indonesia. Fakta bahwa kita sekarang telah memiliki rumah bersama bernama Indonesia, dan kita bersatu dalam bangsa yang sama, bangsa Indonesia, tidak kunjung membuat sebagian umat Islam sadar akan perlunya merevisi pandangan keagamaan tradisional yang tidak lagi konstruktif dan supportif terhadap keragaman. Saya pikir, kita tidak cukup berani melakukan kritik atas diri sendiri, dan mengubah beberapa hal dari keyakinan dogmatis kita selama ini.
Menteri Agama kita, dalam ucapan selamatnya atas umat Baha’i di Indonesia sebenarnya sedang menunjukkan sikap yang sudah semestinya dimiliki seluruh umat beragama di Indonesia, bahkan dunia.
Kenyataan bahwa dunia adalah milik bersama, dan bahwa keyakinan adalah fenomena yang tidak bisa dipaksakan, seharusnya menyadarkan banyak orang untuk tidak lagi terikat pada fantasi masa lalu bahwa dunia hanya milik agamanya saja.
Menurut Charles Kimball (2008), hampir di semua agama ada kepercayaan bahwa Tuhan hanya meridhai cara beragama milik agama tertentu saja. Tapi, apakah kepercayaan itu merupakan hakikat dan kebenaran? Tidak, menurut Kimball.
Agama Baha’i dan Intoleransi Umat Islam
Agama Baha’i adalah tradisi kepercayaan yang relatif masih muda, dan muncul dari tradisi kepercayaan Islam. Anda bisa gunakan internet Anda sendiri untuk mengenal lebih jauh soal Baha’i ini.
Setidaknya, pada era modern Baha’i dan Ahmadiyah menjadi dua tradisi keagamaan baru, yang mampu lahir dari rahim Islam. Ketika disebut dua nama tersebut, pandangan mayoritas umat Islam, dan ahli-ahli fikih tradisionalnya, akan menilai Baha’i dan Ahmadiyah sebagai ajaran sesat yang menyimpang dari Islam. Mereka sering lupa, pada masanya, Islam itu sendiri dianggap sempalan dari Yahudi dan Kristen.
Agama Baha’i tampak tidak banyak dipermasalahkan karena ia telah menjadi organized religion tersendiri, yang terpisah dari Islam. Sementara Ahmadiyah tidak seperti itu. Tapi, apakah terpisahnya Baha’i dari Islam secara formal sudah cukup memuaskan umat Islam?
Tidak sepenuhnya memuaskan. Itu semua karena Baha’i menggunakan ajaran dan tradisi Islam dalam keyakinan dan ritualnya. Mereka menyembah Allah, mereka punya shalat wajib, mereka punya kiblat, dan mereka juga percaya kepada para Nabi. Namun, tak ada yang bisa menghalangi mereka meyakini ajaran para pendiri agamanya.
Islam seharusnya belajar untuk menjadi dewasa, seperti dua pendahulunya, Yahudi dan Kristen, untuk menerima dan mengakui hak bagi siapa saja untuk mempercayai imannya. Tapi sebenarnya, kita pernah punya rekam jejak kedewasaan itu, tatkala peradaban harmonis Yahudi-Kristen-Islam terjadi di bumi Andalusia di abad pertengahan (Lewis, 2013).
***
Namun, secara sosial, politik, dan intelektual, negara harmonis Andalusia berdiri di atas pundak pemimpin politik yang adil dan egaliter, serta kaum intelektual yang rasional dan pluralis (Lewis, 2013).
Seperti dikatakan para ilmuwan sosial modern (Assyaukanie, 2011), untuk menjadi komunitas demokratis, sebuah bangsa perlu memiliki civic values alias nilai-nilai kewargaan yang hidup di dalamnya; terutama toleransi dan pluralisme.
Masa lalu adalah masa lalu, dan kini kita menghadapi hari-hari kita sendiri. Ahmet T. Kuru (2019) melihat bahwa Islam di era pasca-Revolusi Industri justru terancam jatuh ke dalam sekat-sekat sektarianisme, kekerasan, dan irasionalitas.
Jika gerbong dunia global sedang ramai-ramai menuju pembangunan, kemajuan, dan demokrasi; di tubuh umat Islam justru ada orang-orang (mulai dari pemimpin politik otoriter, hingga kaum agamawan intoleran) yang ingin kembali pada fantasi dan imajinasi masa lalu. Akhirnya, menurut Kuru, mereka tak bisa berdamai dengan kenyataan bahwa Islam bukan satu-satunya kebenaran di muka bumi.
Penutup
Dalam pemberitaan hari ini, Gus Menteri menyampaikan alasan-alasan logis dan formal mengapa ia harus mengucapkan selamat hari raya kepada kaum Baha’i di Indonesia.
Konstitusi Indonesia tidak mengenal agama yang diakui, dan tidak diakui. Baha’i, seperti juga Yahudi, Shinto, dan lain-lain, adalah kepercayaan religius yang dijamin kebebasannya hidup di Indonesia.
Sebagaimana dilaporkan portal berita Detik, Gus Menteri mengatakan: “Konstitusi kita tidak mengenal istilah agama ‘diakui’ atau ‘tidak diakui’, juga tidak mengenal istilah ‘mayoritas’ dan ‘minoritas’. Hal ini bisa dirujuk pada UU PNPS tahun 1965 tersebut,” sambung Gus Yaqut, pada Selasa (27/7/2021).
Dalam penjelasannya kepada Detik itu, Gus Menteri juga melampirkan isi UU PNPS 1965. Beliau menambahkan, “Negara harus menjamin kehidupan seluruh warganya. Apapun agamanya, apa pun keyakinannya.”
Walhasil, masih panjang jalan bagi umat Islam Indonesia untuk bisa menerima kenyataan bahwa dunia adalah rumah milik bersama, bahwa kebebasan berkeyakinan adalah hak asasi manusia, dan bahwa kebenaran tidak eksklusif pada Islam semata. Menurut Mustafa Akyol (2021), jika semua ini sudah bisa kita pecahkan, maka hanya ketika itulah Islam bisa menjadi obor baru bagi peradaban global.
Editor: Yahya FR