Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Yahya Cholil Staquf atau akrab disapa Gus Yahya, saat ini adalah gambaran besar sikap NU. Jika anda ingin mengetahui bagaimana arah pandangan sekaligus kebijakan NU terhadap sebuah persoalan, maka anda perlu melihat Gus Yahya sebagai potret acuannya. Hal ini penting ditegaskan terlebih dahulu mengingat NU adalah organisasi Islam dengan warga yang sangat banyak. Dalam tulisan pertama bertema “NU Larang Keras Warganya Berpolitik Identitas”, penulis sudah menyebutkan angka nominal jumlah warga NU berdasarkan survei teranyar Litbang Kompas Mei 2023. Oleh karena jumlah warga NU yang besar ini, maka sudah barang pasti muncul berbagai macam pandangan dan pemikiran. Dan sebagai konsekuensi logisnya, cukup susah digerakkan dalam satu komando. Bahkan di kalangan elit NU sendiri.
Maka, di awal tulisan ini, penulis hendak mengatakan bahwa sikap resmi NU terhadap suatu hal, termasuk masalah politik yang akan disinggung dalam tulisan ini, Gus Yahya adalah rujukan dasarnya. Ditambah, menjelang agenda politik 2024 nanti, dunia perpolitikan akan cukup panas. Oleh karenanya, pemahaman ini perlu ditegaskan di awal sebab sekali lagi, tidak sedikit warga NU yang mengambil sikap agak berbeda dengan sikap resmi PBNU, dalam hal ini adalah Gus Yahya dan anggotanya.
Pandangan Gus Yahya tentang Hubungan Agama dan Politik
Kali ini penulis akan fokus membidik pandangan Gus Yahya terhadap hubungan agama dan politik. Sebagai representasi Ketua Umum PBNU, pendapat Gus Yahya, sekali lagi, perlu diketahui publik guna mencari titik jelas di antara banyaknya pandangan warga-warga NU tadi. Tapi bukan berarti tulisan ini ingin memonopolisasi kebebasan sikap dan pandangan warga NU lainnya. Setiap warga Nahdliyin dipersilakan memiliki pandangan dan sikap sendiri namun, menurut penulis, sikap tersebut kapasitasnya sebagai individu, bukan atas nama NU. Adapun sikap NU secara resmi, publik seharusnya melihat sikap resmi PBNU. Dan sikap resmi PBNU ini bisa diketahui setidaknya dari pandangan ketua umumnya, yaitu Gus Yahya.
Dalam bukunya yang berjudul “Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama”, Gus Yahya (2020) menggunakan istilah Khidmah Inklusif. Artinya, dalam pandangan Gus Yahya NU memiliki tanggung jawab menciptakan kemaslahatan masyarakat secara keseluruhan. NU harus menghadirkan kemaslahatan bagi setiap orang tanpa pandang bulu. Dan Khidmah inklusif ini dapat tercapai bila NU mampu melepas egoisme identitasnya. Bagi Gus Yahya, NU didirikan tidak hanya untuk mengajarkan ajaran ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) semata, atau hanya sebatas mendebat pandangan ajaran selain Aswaja. Lebih dari pada itu, bagi Gus Yahya, NU memiliki tanggung jawab besar terhadap nasib kemanusiaan secara umum. Bagi Gus Yahya, NU tidak hanya berdiri sebagai organisasi keagamaan (jam’iyah diniyah), namun lebih dari itu NU adalah organisasi yang peduli akan isu-isu kemasyarakatan (ijtimaiyah).
***
Masa depan NU di bidang sosial, politik, ekonomi, dan lain sebagainya menurut Gus Yahya harus ditampilkan dengan semangat ruh keagamaan yang substantif, tidak simbolik. Dan semangat juang ini bisa tercapai bila mana, salah satunya, terutama menjelang pemilu 2024 ini, adalah dengan menjauhkan NU dari panggung politik elektoral, politik identitas, politisasi agama, dan lain semacamnya. Gus Yahya secara tegas mengkritik siapa saja yang memperalat agama sebagai senjata politik. Gus Yahya menyebut mereka hanya menggunakan agama untuk kepentingan dirinya agar mendapat jabatan. Gus Yahya sangat kecewa terhadap perilaku aktor politik yang sering kali memakai baju politik identitas sebagai sarana meraup suara namun setelah itu lupa pada tanggung jawabnya. Menggunakan agama sebagai senjata politik bagi Gus Yahya berarti mempermainkan kesakralan agama itu sendiri. Bahkan Gus Yahya tidak segan menggunakan kata “kualat”. Dalam tradisi NU, kualat adalah istilah yang ditakuti dan dihindari, sama halnya dengan karma. Hal ini menandakan bahwa permasalahan ini sangat serius.
Pandangan ini ditegaskan Gus Yahya dalam banyak pidatonya. Misalnya ketika menghadiri agenda Halal Bihalal PBNU di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang, Jawa Tengah, Minggu (14/5/2023). “Jangan mempermainkan agama. Jangan menjadikan agama alat permainan, apalagi untuk memperoleh dunia. Maka dari awal, saya menentang politik identitas. Karena bagi saya, politik identitas dengan membawa-bawa agama itu mempermainkan agama,” tegas Gus Yahya.
Lebih jelas lagi Gus Yahya memberikan permisalan “Misalnya, ada pihak yang mengajak orang untuk ikut dengan mengatakan bahwa perjuangannya itu semata demi agama. Padahal, kata Gus Yahya, pihak yang mengajak itu sebenarnya hanya sedang mencari dunia yaitu jabatan. “Kepada banyak orang, ngajak-ngajak ‘Kalau ikut saya masuk surga, nyoblos saya masuk surga, nggak nyoblos saya masuk neraka dan tidak berhak dishalati kalau meninggal’, misalnya,” jelas Gus Yahya mencontohkan.
***
Gus Yahya juga mengingatkan Nahdliyin agar tidak menggunakan politik identitas untuk mencari kekuasaan dunia dengan menggunakan agama sebagai alat. Sebab hal itu sama dengan mempermainkan agama dan akan berakibat kualat. “Jangan sampai kita ikut-ikutan nantang kualat seperti ini. Pokoknya jangan nantang kualat karena kualat ini bahaya,” terang Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh, Rembang, Jawa Tengah itu. Setelah itu Gus Yahya menjelaskan makna ayat yang dititipkan Syekh Kholil Bangkalan kepada Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, yakni sebuah pesan bahwa siapa pun yang memusuhi NU akan memenuhi kehancuran. Isyarat tersebut dimaknai oleh Gus Yahya sebagai kualat. “Itu intinya sebetulnya kualat kepada NU. Maka mari kita sungguh-sungguh memperhatikan tindak-tanduk kita jangan sampaikualat,” terang Gus Yahya.
*Artikel ini diproduksi dari hasil kerjasama antara IBTimes.ID dan INFID
Editor: Yahya FR