Habib Muda Sang Pendakwah
Di antara para Habib atau keturunan Nabi Muhammad SAW. Yang paling sering muncul di sosial media dan menjadi idola kawula muda adalah sosok bernama Habib Husein bin Ja’far al-Hadar. Pria yang menjadi dosen sekaligus kandidat doktor pada prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir (IQT) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut semakin naik daun dengan unik nan kekinian.
Sebagai Habib yang masih muda, ia berdakwah menampilkan Habib sekaligus agama Islam yang “anti-mainstream”. Tak hanya dengan melalui channel Youtubenya, Instgaram dan Twitter yang memiliki ribuan pengikut. Ia juga mengarang sebuah buku yang berjudul Tak di Ka’bah, di Vatikan atau di Tembok Ratapan, Tuhan Ada di Hatimu.
Di tengah musim pandemi seperti ini, Habib Husein menuliskan segala unek-unek dan hasil renungannya setelah membaca banyak literatur dan fenomena yang ada. Baik secara nyata maupun di dunia nyata. Mengapa demikian?
Isi Buku Habib Husein
Karena dari judul bukunya saja, Habib Husein menerangkan pada pembukaan buku tersebut bahwasanya judul itu ia ambil setelah melihat fenomena Ka’bah itu sepi. Sebagaimana ketetapan di negara-negara lain, pemerintah Arab Saudi juga menutup kuota melaksanakan ibadah haji dikarenakan pandemi.
Kemudian, sempat muncul di media foto tukang bersih-bersih yang ditugaskan mengepel pelataran Ka’bah. Saat semua orang, sekaya apa pun, bahkan Pangeran Kerajaan Arab Saudi dilarang ke Ka’bah lantaran pandemi Corona.
Sayyidina Ali Zainal Abidin, cicit Nabi Muhammad SAW. Pernah berjalan dengan seorang sahabatnya yang bangga dengan dengan pemandangan ramai di Ka’bah. Lalu, Sayyidina Ali Zainal Abidin mengusap wajah sahabatnya tersebut. Lalu sontak wajah sahabat tersebut menjadi sedih karena hakikat dari orang ramai di sekeliling Ka’bah itu adalah binatang.
Bukankah tak sedikit orang yang pergi ke Ka’bah hanya untuk berfoto selfie, mencuci uang, pencitraan dan lain-lain? Bukankah tak sedikit orang yang niat haji untuk membawa gelar haji ketika sudah pulang nanti?
Maka, orang yang ke Ka’bah tapi tuhan tak ada di hatinya, ia tak akan bertemu tuhan di sana. Sebagaimana kita beribadah di mana pun tempatnya, melakukan rukuk dan sujud, tapi bila tuhan tak ada di hati kita, maka ibadah kita seolah-olah tak sempurna, bahkan sia-sia dan percuma. Tak heran, bila Imam Ghazali memasukkan hadirnya hati atau khusyu’ sebagai syarat diterimanya amal seseorang.
Dari fenomena tersebut, Habib Husein mencuit di akun twitternya, “Tuhan tak di Ka’bah, tak di Vatikan, tak Juga di Tembok Ratapan. Tuhan sejatinya di Hatimu.” Hasil perenungan tersebut tak semata membaca alam dan sekitar saja, tapi juga hasil Habib Husein pernab membaca satu kutipan dari puisi besar, Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi, Kitab 4, Bab Kisah Nabi Sulaiman dan Masjid Aqsa: “Aku mencari tuhan di masjid, gereja dan kuil. Tapi aku menemukan-Nya di hatiku.” Kemudian beliau modifikasi menjadi sebagaimana yang ia tulis di akun twitternya.
Dengan penampilan yang cukup menarik, dikombinasikan dengan warna dan tata letak yang penuh variasi, menjadi buku ini menjadi tidak monoton untuk dibaca. Saya membacanya tidak sampai sehari sudah khatam. Tentunya dilakukan dengan penuh kekhusyukan dan sepi dari kebisingan.
Mencari Sebuah Hikmah
Melalui buku ini, kita diajak oleh Habib Husein untuk mencari hikmah, menekuni diri sendiri lalu puncaknya menyadari tuhan ada di mana. Termasuk di hati kita, bahkan di gubuk orang miskin. Pada bab pertama, pembahasan seputar hijrah.
Habib Husein tampak menyorot dan memperhatikan fenomena hijrah seperti selogan, “Kembali pada Al-Qur’an dan hadits”. Tak hanya mengkritik, di sini beliau juga memberi solusi dengan menulis pembahasan dengan judul berdakwah ala Nabi.
Bab dua adalah Islam Bijak, Bukan Bajak. Pada bab ini, Habib Husein membahas perihal anggapan bahwa Islam itu agama perang. Juga, kebaikan harus dilaksanakan dengan cara yang baik, bijaksana, dan indah. Serta ketika seorang muslim menemui antara hak dan kewajiban, mana kah yang perlu didahulukan. Bab ini menjelaskannya secara tuntas.
Bab ketiga adalah Akhlak Islam. Setidaknya ada empat poin yang diutarakan oleh Habib Husein, yakni ajaran agama ini bermuara pada akhlak. Fenomena adzan seharusnya dilantunkan dengan penuh keindahan, menyikapi perbedaan perbuatan Nabi dan umatnya yang sangat berbeda, serta bagaimana seharusnya seorang muslim menyikapi sebuah berita.
Bab empat adalah Nada, Canda dan Beda. Ini yang khas dan seharusnya ada bila kita ingin dakwah di Nusantara, yakni tidak monoton, sesekali bercanda tawa cerita tapi berbobot dengan ilmu agama. Soal musik, film, hingga menjadi muslim moderat di era milenal seperti ini tidak luput dari pembahasan Habib Husein. Bagaimana seharusnya dakwah kita itu tidak mengerikan, tapi harus bersahabat dan mengasyikkan.
Dengan membeli buku ini, kita tak hanya disuguhkan dengan pembahasan ilmu agama khas ‘milenial’ tapi juga terdapat dua bonus stiker. Satu stiker bertuliskan, #tuhan ada di hatimu. Satu stiker bertuliskan, Islam agam yang tegas, tapi tidak keras.
***
Bila ditilik kekurangannya, saya tidak mengetahui secara spesifik. Secara keseluruhan sudah bagus. Selain karena memang buku ini bukan buku kajian, sesak akan catatan kaki dan “berat”. Buku ini memang menyasar kaum pemuda. Jadi, tak ada salahnya memang buku ini dimodel seperti demikian.
Dengan munculnya Habib Husein ini, melalui dakwah digital melalui platform Youtube, Instagram dan Twitternya, saya bersukur ia juga menulis buku. Ini menunjukkan bahwa peradaban dan keteladanan literasi dari generasi ke generasi itu bergerak melalui tulisan.
Sekian. Terima Kasih. Semoga Bermanfaat.
Judul: Tak di Ka’bah, di Vatikan atau dii Tembok Ratapan Tuhan Ada di Hatimu
Penulis: Husein Ja’far Al-Hadar
Penerbit: Noura Books
Cetakan ke-1, Juli 2020
ISBN: 978-623-242-147-9
Editor: Yahya FR