IBTimes.ID – Pimpinan Pusat Muhammadiyah, melalui Majelis Pendidikan Kader, menyelenggarakan Pengajian Ramadhan 1442 H pada tanggal 04-06 Ramadhan 1442 H/16-18 April 2021 M. Pengajian kali ini diselenggarakan via Zoom Meeting dan civitas akademika Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang berperan sebagai panitianya.
Prof. Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, pada pengajian kali ini, berkesempatan memberikan pidato kunci sebelum agenda masuk kepada acara inti.
Mula-mula, Haedar Nashir mengapresiasi tema yang dipilih dalam pengajian kali ini.
“Tema “Tajdid Organisasi Muhamamdiyah Di Era Perubahan” merupakan kajian yang penting dan menarik. Dengan tema tersebut kita perlu introspeksi atau muhasabah secara objektif tentang kondisi Muhammadiyah saat ini dan bagaimana proyeksinyan ke depan” ujarnya.
Tajdid, kata Haedar, bermakna mengembalikan (الإِعَادَةُ), menghidupkan (الإِحْيَاء), membangkitkan sesuatu yang dipandang jumud (البعْثُ), dan punya makna ishlah (إصلاح) melakukan usaha konstrksi dan rekonstruksi.
Tajdid, menurut Haedar, menjadi perhatian Nabi bagi masa depan Islam dan kehidupan umat Islam sebagaimana hadis dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini, pada setiap akhir seratus tahun, orang yang memperbaharui untuk umat agama mereka” (HR Abu Dawud no. 4291, Dishahihkan oleh as-Sakhawi di al-Maqâshid al-Hasanah (149) dan al-Albani di as-Silsilah ash-Shahîhah no. 599).
“Meskipun fi’il-nya bersifat mufrod, tapi makna di sana yaitu bisa kolektif. Man di situ juga bisa diartikan sebagai organisasi atau institusi , itu pendapat Yusuf Qardhawi” ujar Haedar.
“Meskipun tidak harus 100 tahun ada pembaharu, tapi misi utamanya tetap berusaha memperbaharui pemahaman kita untuk membumikan Islam sebagai ajaran. Salah satu upayanya yaitu dengan organisasi Muhammadiyah” imbuhnya.
Kiai Dahlan dan Al-Ashr
Haedar Nashir mengatakan bahwa Kiai Dahlan memahami makna Al-Ashr sebagai konsep dan konteks menghadirkan peran kita di ruang dan waktu yang terus berubah.
“Kiai Dahlan mengajarkan surat Al-Ashr dalam waktu yang cukup lama, yakni 7 hingga 8 bulan menurut Kiai Syuja” ujar Haedar.
Haedar Nashir kemudia mengutip perkataan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah:
النَّاسُ هَذِهِ السُّوْرَةَ سَعَتْهُمْ لَوَ تَدَبَّرَ
”Seandainya setiap manusia merenungkan surat ini, niscaya hal itu akan mencukupi untuk mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir 8/499].
“Menurut Yusuf Qaradhawi dari “al-ashr” terbentuk ‘Ashariyah’ yakni kemoderenan. Menurut Quraish Shihab, pada surah ini Allah bersumpah demi waktu dengan menggunakan kata ‘aṣr yaitu untuk menyatakan bahwa demi waktu (masa) di mana manusia mencapai hasil setelah ia memeras tenaganya” terang Haedar.
“Pada Muktamar ke-37 tahun 1968 di Yogyakarta ditetapkan kebijakan “Re-Tajdid”, Memperbarui kembali Muhammadiyah. Retajdid di bidang “Ideologi” menghasilkan “Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah” (1969), Retajdid bidang “Perjuangan” yaitu “Khittah Muhammadiyah 1971”, Retajdid bidang “Dakwah” menghasilkan “Gerakan Jamaah dan Dakwah Jamaah” (1968), Retajdid “Amal Usaha” menghasilkan sejumlah kebijakan dan program, serta yang belum tergarap Retajdid bidang “Organisasi” imbuhnya.
Haedar Nashir: Makna Tajdid Tak Hanya Purifikasi
Haedar Nashir menerangkan bahwa, apa yang dilakukan Kiai Dahlan dengan surat ini (Al-Ashr), surat Al-Ma’un, surat Ali Imaron 110 dan 17 pokok surat Al-Qur’an serta tujuh ajaran yang dia tanamkan kepada para sahabat dan temannya dulu di generasi awal Muhammadiyah, menunjukkan usaha untuk melakukan tajdid agama Islam dalam pelaksanaannya dalam berbagai makna, sejak al-i’adah, al-ihya’, al-ba’ts, bahkan juga al-ishlah.
“Bukan tajdid dalam makna yang purifikasi semata” tegas Haedar.
Tajdid, lanjut Haedar, bukan hanya mengembalikan umat pada ajaran Islam yang murni, tapi lebih dari itu, melakukan rekonstruksi terhadap pelaksanaan ajaran Islam, alam pikiran, dan orientasi tindakan seluruh umat Islam yang dipelopori oleh Muhammadiyah
“Tajdid organisasi itu juga akan terkait dengan alam pikiran para aktor; yakni kita para kader dan pimpinan Muhammadiyah di seluruh tingkatan dan struktur organisasi dan juga terkait dengan struktur organisasi itu sendiri. Lebih dari itu, juga terkait dengan value atau nilai-nilai yang menjadi pondasi organisasi dan membawa organisasi menjadi lebih maju. Bahkan tidak lepas dari budaya dan lingkungan di mana oang itu berada” jelas Haedar.
Dengan kata lain, ketika kita membahas tentang tajdid organisasi, maka aspeknya adalah pada aspek struktur organisasi itu dalam berbagai kaitannya, aktor, nilai, budaya, dan juga lingkungan di mana Muhammadiyah itu berada.
“Maka, kita harus mencoba memposisikan kembali bagaimana dan seperti apa organisasi Muhammadiyah itu sekarang dan kedepannya” ujar Haedar.
Reporter & Editor: Yahya FR