Oleh: Achmad Santoso
-Haedar Nashir & Abdul Mu’ti- Jika mendengar istilah dwitunggal, otomatis ingatan kita tertuju pada Soekarno dan Mohammad Hatta. Keduanya mampu menjadi garda depan untuk mengantarkan negeri ini merdeka dari imperialisme penjajah, sebelum kemudian berpisah pasca-kemerdekaan karena perbedaan pandangan politik. Sebab, Soekarno, meminjam istilah Buya Syafii, kala itu teperdaya oleh sistem demokrasi terpimpinnya yang tanpa demokrasi.
Di mata dunia, Soekarno-Hatta juga adalah representasi wajah Indonesia bertahun-tahun silam. Bukan hanya karena menjadi presiden dan wakil presiden pertama, melainkan juga lantaran watak keduanya yang saling mengisi. Bahkan, seperti diulas Tirto.id, mereka saling mendukung dan mengagumi di kala jauh. Saat saya menjelajahi KBBI untuk mencari lema dwitunggal, yang muncul sebagai contoh pun …dwitunggal Soekarno-Hatta. Pendek kata, dwitunggal adalah dua yang menjadi satu.
Kedwitunggalan itu masih lestari hingga kini. Bukan prestasi lagi, melainkan prasasti. Pepatah bijak mengatakan, yang dikenang dari orang mati cukup dua saja: prestasi dan prasasti. Maka, tak heran kalau nama Soekarno-Hatta ada di bandara dan jalan kota-kota di Indonesia. Lalu, wajahnya abadi menghiasi lembaran mata uang Rp100 ribu.
Namun, yang kita pandang dwitunggal bisa saja lantas bertransformasi menjadi “matahari kembar”, yaitu jika sang deputi berupaya mendahului ketuanya, bahkan tampak lebih menonjol. Itulah yang pernah terjadi di era kepemimpinan SBY-JK.
Muhammadiyah dan Wajah Dwitunggal Itu
Dalam konteks Muhammadiyah, sesuai dengan pedoman dan tata kerja, hubungan antar-pimpinan merupakan satu kesatuan yang bulat dalam menjalankan tugas dan dilakukan secara kolektif dalam sistem kepemimpinan kolegial. Ketua umum dibantu oleh 12 jajaran ketua sesuai dengan bidang masing-masing. Sementara dalam hal kelembagaan, ketua umum didampingi sekretaris umum.
Salah satu tugas ketua umum ialah mewakili pimpinan pusat ke dalam dan ke luar persyarikatan. Untuk sekretaris umum, salah satu tugasnya adalah memimpin dan menyelenggarakan penerbitan berita resmi Muhammadiyah. Dilihat dari sisi keorganisasian, tanpa bermaksud menafikan yang lain, Haedar Nashir dan Abdul Mu’ti galib menjadi representasi pimpinan pusat Muhammadiyah dalam hubungan internal, lebih-lebih eksternal. Perihal kolaborasi duet ini, saya merasa perlu untuk mengulasnya.
Suatu kali saya iseng bertanya kepada teman, apakah mengenal, atau setidak-tidaknya tahu, siapa sekretaris umum PP Muhammadiyah mulai zaman Amien Rais, Syafii Maarif, Din Syamsuddin, sampai Haedar Nashir? “Tidak tahu, kecuali sekarang, Abdul Mu’ti,” kira-kira begitu jawabannya. Sependek pengetahuan saya, memang di era Amien Rais, Syafii Maarif, maupun Din Syamsuddin, peran sekretaris umum tidak cukup menonjol. Wajar jika kemudian hanya tiga ketua umum itulah yang menjadi “the one and only” representasi Muhammadiyah di periode masing-masing.
Namun, pimpinan umum PP Muhammadiyah 2015-2020 ini berbeda. Ketika melihat harmonisasi duet Haedar Nashir dan Abdul Mu’ti, ingatan saya terlempar pada dwitunggalSoekarno-Hatta. Tiga watak yang saya simpulkan dari dua tokoh Muhammadiyah itu: saling melengkapi, tidak tumpang-tindih, dan berbagi peran dakwah. Testimoni tersebut, salah satunya, datang dari Raja Juli Antoni setelah muktamar 2015. “Selamat kepada Haedar Nashir sebagai ketua umum PP Muhammadiyah dan Abdul Mu’ti sebagai sekretaris umum PP Muhammadiyah. Mereka adalah pasangan ideal untuk menakhodai Muhammadiyah lima tahun ke depan,” katanya (Detik,Sabtu, 8/8/2015).
Haedar Nashir: Low Profile dan Arif
Haedar Nashir dikenal sebagai ideolog Muhammadiyah. Azaki Khoirudin pernah mengulasnya dengan judul Haedar Nashir: Bapak Ideologi Muhammadiyah (IBTimes). Dikatakan bapak ideologis karena sejak kecil memang sudah berkecimpung di organisasi ini, mulai PP IPM (1983-1986), PP Pemuda Muhammadiyah (1985-1990), hingga PP Muhammadiyah (2000-sekarang). Sosoknya juga dikenal low profile, tekun, berhati-hati, meneduhkan, dan arif. Ihwal kesederhanaan Haedar Nashir, saya jadi teringat sosok Buya Syafii. Haedar Nashir pernah terlihat sendirian di Stasiun Kediri untuk menunggu kereta api ke Yogyakarta, Buya Syafii pernah antre seorang diri di PKU. Tanpa pengawalan, tanpa privilese.
Hasnan Bachtiar mengelaborasikannya lebih detail dalam Tujuh Alasan Warga Muhammadiyah Mencintai Haedar Nashir (IBTimes). Pertama, penyabar dan tenang. Kedua, moderat dan mampu menjadi penengah. Ketiga, karismatis dan memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Keempat, penjaga ideologi Muhammadiyah garis depan, bukan pemain politik praktis. Kelima, memiliki track record berorganisasi yang bersih. Keenam, tidak sekadar memiliki intelektualisme yang tinggi, tetapi juga mampu menjadi teladan umat. Ketujuh, mencintai Muhammadiyah, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Maka, sosoknya sangat representatif menjadi ketua umum di kala Muhammadiyah terkena gejala “virus” politik seperti beberapa waktu lalu dan mungkin di masa-masa mendatang.
Abdul Mu’ti: Smart dan Humoris
Abdul Mu’ti ialah sosok yang smart, komunikatif, dan humoris. Mencari sosok smart sekaligus humoris tidaklah gampang. Dalam sebuah ceramah di Kendal, Jawa Tengah, Mu’ti pernah bergurau, tetapi mengena, “Kalau orang yang suka sama polisi, komentarnya bagus. Polisi itu hebat, ya. Jangankan melek, tidur pun masih kerja. Tapi kalau yang tidak suka, sebaliknya, polisi itu memang kerjaannya mengganggu. Jangankan melek, tidur pun masih mengganggu orang.”
Orang seperti Abdul Mu’ti tidak banyak. Figur kelahiran Kudus tersebut juga kerap tampil di ruang publik (khususnya layar kaca) untuk menjadi pembicara, sebagaimana tugas menerbitkan berita resmi Muhammadiyah. Berbagi peran itulah yang menjadi ciri khas duet pemimpin persyarikatan tersebut. Abdul Mu’ti mampu menggenapi kinerja seorang Haedar Nashir. Yang mutakhir, di salah satu stasiun televisi, ia dimintai pendapat pula ihwal pelarangan cadar yang tengah berpolemik itu. Singkatnya, jika Haedar Nashir lebih cocok berdakwah di forum-forum akademik, Abdul Mu’ti lebih “menjual” untuk tampil di forum informal. Satu lagi, keduanya sama-sama produktif menulis. Baik berupa buku maupun artikel di media massa. Haedar Nashir kali terakhir menerbitkan buku Indonesia dan Keindonesiaan, sedangkan Abdul Mu’ti menganggit buku Pluralisme Positif.
Meski begitu, keduanya tak luput dari sasaran perundungan bahkan dari kalangan warga Muhammadiyah sendiri. Pernah pula Haedar Nashir hendak “dijewer” oleh Amien Rais karena perbedaan sikap politik. Abdul Mu’ti lebih malang lagi. Ia pernah dituduh liberal, sama seperti yang pernah dialamatkan kepada Buya Syafii, hanya karena pilihan sikap moderat dan toleran. Namun, keduanya tak lantas bersumbu pendek: tetap tenang di tengah ombak besar.
***
Haedar Nashir dan Abdul Mu’ti adalah wajah dwitunggal, bukan “matahari kembar”. Dwitunggal karena keduanya kompak, harmonis, tidak tumpang-tindih dalam berbagi tugas, dan mampu merepresentasikan wajah Muhammadiyah. Bukan “matahari kembar” karena Abdul Mu’ti tidak ingin melangkahi kewenangan sang ketua umum ataupun tampak lebih menonjol. Tidak ada pula warga Muhammadiyah yang pengikut Haedar ataupun pengikut Mu’ti. Mereka merupakan pasangan yang serasi dan ideal, bukan hanya untuk warga Muhammadiyah, melainkan juga seluruh umat. Maka, kalau tidak dianggap berlebihan, bolehlah saya ibaratkan Haedar Nashir-Abdul Mu’ti ini “reinkarnasi” dari Soekarno-Hatta dalam wujud dan dimensi yang lain.