Haedar Nashir, Ketua Umum PP. Muhammadiyah adalah kader otentik Muhammadiyah yang tidak ada irisan ideologis dengan organisasi lain di luar Muhammadiyah. Sejak di usia yang masih belia, aktif sebagai Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PP. IPM) 1983-1986 (sebagai Ketua I, Bidang Pengkaderan), kemudian Departemen Kader PP. Pemuda Muhammadiyah 1985-1990, Sekretaris Badan Pendidikan Kader (BPK) PP. Muhammadiyah 1985-1995, Ketua Badan Pendidikan Kader dan Pembinaan Angkatan Muda Muhammadiyah (BPKPAMM) PP. Muhammadiyah 1995-2000, Sekretaris PP. Muhammadiyah, 2000-2005, Ketua PP. Muhammadiyah 2005-2015, dan Ketua Umum PP. Muhammadiyah 2015-sekarang.
Dilihat dari riwayat organisasinya, sosok Haedar Nashir terlihat sangat konsisten dan benar-benar menekuni Muhammadiyah. Sejak muda, tidak ada organisasi lain, selain organisasi internal Muhammadiyah yang digeluti. Sosok Haedar tergolong sangat produktif menulis, terutama berkaitan dengan pemikiran ideologi Muhammadiyah.
Bagi pelanggan majalah Suara Muhammadiyah, sudah pasti sangat akrab dengan tulisan-tulisannya dalam rubrik khusus bernama “bingkai”. Melalui karya-karya tulisnya, Haedar mampu membingkai pikiran warga Muhammadiyah dalam nuansa “Islam Washatiyah”. Pikiran-pikirannya senantiasa menjadi rujukan wajib, bagi siapapun yang ingin membicarakan Muhammadiyah.
Haedar dikenal sebagai pimpinan Muhammadiyah yang low profile, tidak suka bermanufer politik. Sehari-hari cukup mengurus Muhammadiyah, mengajar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sebagai dosen. Banyak aktivis Muhammadiyah, memandang tokoh ini sebagai adalah penjaga gawang ideologi Muhammadiyah. Haedar sosok yang beralisan “khitois” karena ketaatannya pada garis-garis haluan organisasi. Haedar memiliki wawasan kebangsaan, keislaman, dan kemuhammadiyahan yang luas serta mendalam.
Politik Nilai
Dalam bukunya yang berjudul, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan (2010), Haedar mengungkapkan betapa Muhammadiyah sungguh “kenyang” dengan hiruk pikuk dunia politik. Muhammadiyah merasakan betul betapa rumitnya bersentuhan dengan dunia politik.
Sekali melibatkan diri dalam pergumulan politik kekuasaan, ketika itu pula guncangan konflik di dalam maupun keluar akan terjadi, yang pada ujungnya akan membawa Muhammadiyah melenceng dari kepribadian dan peran utamanya sebagai gerakan Islam yang menjalankan fungsi dakwah dan tajdid untuk menyebarkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamien di muka bumi ini. Kegelisahan Haedar menunjukkan pengalaman panjang Muhammadiyah bersentuhan dengan politik. Muhammadiyah semacam ada ketakutan terhadap bahaya politik kekuasaan.
Meskipun demikian Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang bercorak sosio-keagamaan tidak boleh alergi terhadap politik. Wawasan keagamaannya justru harus menyatu dengan wawasan kekuasaan. Akan tetapi, yang perlu dijaga adalah bagaimana agar Muhammadiyah tidak terjebak oleh isu-isu politik praktis yang tidak menguntungkan. Melainkan berfikir strategis dalam rangka menatap masa depan yang agak jauh dari diri kita sekarang (PP Muhammadiyah, Islam dan Dakwah).
Muhammadiyah adalah gerakan Islam Non-politik. Pelibatan politik di Muhammadiyah sangat dikhawatirkan, untuk tidak mengatakan ditakuti. Hal ini menjadikan Haedar sangat memegang teguh kepada khittah organisasi, sehingga ia menyatakan:
“Khittah Muhammadiyah juga dapat dijadikan sebagai pagar pembatas agar naluri “primitif” (syahwat politik) perseorangan untuk berkiprah dalam perjuangan politik kekuasaan (power struggle) atau disebut “politik praktis” tidak menyeret-nyeret Muhammadiyah secara kelembagaan. Partai politik itu sebagaimana juga kekuasaan negara sangatlah penting dan strategis, termasuk untuk menegakkan dakwah Islam melalui tangan negara. Tetapi wilayah yang penting itu sengaja tidak dipilih oleh Muhammadiyah yang sejak kelahirannya telah memposisikan diri sebagai gerakan Islam nonpolitik dengan keyakinan bahwa dakwah di bidang pembangunan masyarakat pun tidak kalah penting dan strategisnya dengan perjuangan politik di jalur kekuasaan negara” (Haedar Nashir, 2010).
Karena itu, membawa Muhammadiyah kepada satu pilihan politik, dalam hal ini memilih calon Presiden hanya akan membawa kepada political game. Dampaknya dapat menjatuhkan Muhammadiyah kepada low politics (politik rendah), dan bertentangan dengan konsep high politics (politik adiluhung) yang dahulu digagas oleh M. Amien Rais saat menjadi Ketua Umum PP. Muhammadiyah dalam periode yang relatif singkat 1995-1998. Karena Amien mencalonkan sebagai Presiden, jabatan Ketua Umum PP. Muhammadiyah dilanjutkan oleh Ahmad Syafii Maarif selama 1998-2005.
Sikap memperjelas pilihan politik warga Muhammadiyah kepada salah satu calon Presiden ini justru berlawanan dengan prinsip high politics. Konsep high politics merupakan politik adiluhung, politik luhur, politik nilai yang berdimensi moral etis, sedangkan low politics adalah segala cara meraih atau melanggengkan kekuasaan. Asumsi ini berdasar pada seringnya politik diasosisikan pada cara-cara meraih kekuasaan “menggunting dalam lipatan”, sehingga politik menjadi rendah kehilangan nilai-nilai luhur. Padahal politik adalah seni berkompromi (the art of compromises), yang dalam bahasa Arab disebut al-siyasah yang bermakna positif.
Keberpihakan Haedar kepada khittah Muhammadiyah merupakan kebanggan tersendiri segenap warga Muhammadiyah. Gaya politik ini dapat disebut sebagai politik kebangsaan, high politics atau politik nilai. Pengalaman panjang berorganisasi di Muhammadiyah sejak muda, keterlibatan pada perumusan keputusan-keputusaan organisasi Muhammadiyah, membuat Haedar sebagai seorang nahkoda memahami betul ideologi dan khittah Muhammadiyah, termasuk memahami kemana hendak membawa sikap dan pandangan Muhammadiyah.