Yogyakarta-IBTimes.ID- Saat memberikan pidato iftitah pada acara Pengajian Ramadhan Pimpinan Pusat Muhammadiyah 1440 H/2019 M, Haedar Nashir juga mengulas agenda pencerahan Muhammadiyah dalam mengarungi perjalanannya yang sudah memasuki abad kedua.
“Pencerahan menjadi diksi memulai abad kedua, karena punya dasar dari institusi tanwir, sebagai mata rantai dari apa yang dipelopori KH Ahmad Dahlan yang dulu menggunakan kata kemajuan” ungkap Haedar.
Pencerahan
Kata “pencerahan” itu sendiri diambil dari kata “tanwir”. Penggunaan kata tanwir ini diilhami dari sidang Tanwir sejak tahun 1931 yang dilaksanakan di Banjarmasin. Ketika menjelaskan kata Tanwir, Haedar Nashir merujuk pada makna tanwir yang terdapat pada kamus Munjid. Di sana terdapat tiga makna; (1) nur, dari kata nawwara-yunawwiru-tanwiran, bermakna cahaya, (2) nar, api yang memercikkan cahaya, (3) ar-ra’yu (pemikiran) ‘aqlun niyar yaitu pemikiran yang mencerahkan.
Pencerahan yang dikehendaki oleh Muhammadiyah ialah pencerahan dalam konteks gerakan, teologis dan ideologis yang berlandaskan asas Islam sebagai agama peradaban.
“Frase awal disebut Islam sebagai din at-tanwir (agama pencerahan). Ada 48 kata dalam Alquran yang mengambil kata dari nur dan turunannya” ujar Haedar.
Maka, karya tafsir Alquran yang dinamai Tafsir At-tanwir, menurut Haedar, sangatlah tepat untuk digunakan karena sarat dengan makna pencerahan Muhammadiyah.
Haedar Nashir juga berharap kepada Majelis Tarjih untuk melakukan istikhraj maknawi terhadap 48 kata Alquran yang diderivikasi dari kata nur dalam Alquran.
Tajdid
Selain itu, Haedar Nashir memberikan kritik terhadap makna, yang saat ini, terdistorsi secara makna.
“Ada sesuatu yang terpenggal ketika menjelaskan Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid. Makna tajdid terdistorsi bahwa makna pembaruan adalah pemurnian. Padahal ketika KH Ahmad dahlan melakukan pembaharuan. Sejak tahun, 2000 kita perbuat dimensi dinamisasi, menjadi bagian utuh dari dua sayap tajdid: purifikasi dan dinamisasi” kata Haedar. Dengan ini, Muhammadiyah mampu mengaktualkan diri dalam konteks kekinian.
Haedar Nashir mengapresiasi Majelis Tarjih, yang dalam prakteknya, menggunakan pendekatan bayani, burhani, dan irfani. Karena dulu Kiai Dahlan menggunakan pendekatan ini dalam prakteknya menjelaskan makna Alquran.
“Ratusan tahun orang membaca al-Ma’un, namun tidak menghasilkan sesuatu. Kiai Dahlan secara orisinil menemukan teologi pembebasan al-Ma’un” Katanya.
Sejarah Pencerahan
Haedar menyatakan bahwa umat Islam mempunyai konteks sejarah pada masa Rasulullah dalam memprakarsai din al-tanwir, dari masyarakat jahiliah menjadi masyarakat madinah al-munawwarah (kota peradaban yang tercerahkan), disebutkan dalam Qur’an sebagai takhrij min al-dzulumat ila al-nur (mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya).
Haedar menyatakan bahwa, konteks pencerahan yang diusung Muhammadiyah berbeda dengan pencerahan yang berkembang di Barat. Eropa pernah mengalami masa kelam ketika gereja melakukan hegemoni atas nama agama yang menafikan kemajuan pengetahuan.
Era tersebut disebut era kegelapan (the dark age), semangat perlawanan pada otoritas agama ini melahirkan renaissanve yang kemudian disempurnakan pada era pencerahan di Jerman (Aufklarung). Pencerahan di Barat lahir dari belenggu dan hegemoni agama menuju rasionalisme yang melahirkan gerakan humanisme sekuler. Implikasinya, agama dianggap sebagai luka masa lalu yang harus ditinggalkan dan beralih ke semangat ilmu pengetahuan secara ekstrem. Kiai Dahlan mengambil metode dari Barat, namun mengkontekstualisasikan dengan rujukan al-Quran dan Sunnah.
Haedar Nashir menemukan adanya gejala tumbuh-kembanya neomodernisme dan neotradisionalisme dalam perkembangan mutakhir menjelang reformasi. Terjadi perubahan dalam arus pemikiran neomodernisme. Neotradisionalisme, yang lebih berpijka pada penguasaan tradisi atau turats, malah mulai berpikir maju melampaui kaum modernis.
Neomodernisme Islam tampil progresif namun pada titik tertentu menjadi liberal dan diidentikan dengan gerakan Islam Liberal. Sementara modernisme Islam justru gagap membaca realita dan cenderung kaku. Selain itu, mereka juga mengalami kemandekan pemikiran, sehingga cenderung reaksioner.
Di sinilah pentingnya Muhamammadiyah sebagai pelopor modernisme Islam bangkit kembali melakukan gerakan pencerahan untuk menampilkan pembaruan Islam abad kedua yang bertumpu pada purifikasi dan dinamisasi yang lebih kaya dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani guna menampilkan Islam Berkemajuan yang lebih progresif menghadapi dunia posmodern abad ke-2.
“Kita harus bisa kita lebih maju lagi dalam menjawab kebutuhan umat untuk kembali ke agama yang memberi keteduhan dan sekaligus memberi kepastian atau pencerahan dalam menghadapi masa depan. Dalam konteks ini, kita membutuhkan api pencerahan Kiai Dahlan,” ujar Haedar Nashir.