IBTimes.ID – Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah menyingggung tentang Yuval Noah Harari di Forum Guru Besar Muhammadiyah (FGBM) mengadakan Pengajian secara daring (Rabu/24/6). Harari adalah seorang profesor yang namanya menjadi buah bibir masyarakat akhir-akhir ini. Harari menulis dua buku yang begitu menghipnotis dunia yang berjudul Sapiens: A Brief History of Humankind dan Homo Deus: A Brief History of Tomorrow.
Dua buku ini menghentak kesadaran masyarakat. Dalam Sapiens, Harari berbicara tentang revolusi, yaitu revolusi kognitif, revolusi agrikultur, dan revolusi ilmiah. Haedar menyebut bahwa dalam ceramahnya, Harari membagi realitas menjadi dua, yaitu realitas objekif dan realitas fiksi. Agama, politik, dan ekonomi adalah realitas fiksi. Sedangkan manusia, hewan, dan tumbuhan adalah realitas objektif.
Dalam konteks globalisasi, penting mengamati bagaimana kehidupan kita pasca perang dingin. “Bagaimana ketika globalisasi mengkoneksikan semuanya, tetapi membuat manusia kehilangan sukma. Kehilangan ruh kemanusiaan dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Adakah kehadiran negara-negara baru pasca keruntuhan Soviet memberikan paradigma baru pada relasi kemanusiaan semesta? Atau justru menambah aura perang, kekerasan, dan pertarungan ideologis yang tersebar oleh globalisasi?” tanya Haedar Nashir.
Haedar mengatakan bahwa berbagai forum dunia yang ia hadiri, selalu membawa isu perdamaian dan kemanusiaan. Namun, ketika kembali ke realitas, tokoh-tokoh dunia tetap membawa ide-ide perseteruan antar golongan, kelompok, suku, dan agama yang tidak pernah usai.
Gugatan Harari
Dalam hal ini gugatan-gugatan Harari layak untuk didiskusikan. Masa depan manusia, menurut Harari, mampu membuat manusia dari homo sapiens menjadi homo deus yang mampu merekayasa banyak hal. Bahkan, manusia akan mampu hidup sampai 500 tahun. Kecerdasan buatan dan rekayasa genetika sudah bisa merekayasa usia.
“Di sini para ahli rekayasa genetika dan kecerdasan buatan harus mendiskusikan kerangka berpikir apa yang digunakan oleh Harari, sehingga bisa memikirkan hal-hal yang kontroversial. Ia juga mengatakan manusia ke depan adalah manusia yang bisa melawan kematian. Kematian hanyalah persoalan teknis. Para tokoh agama meletakkan kematian sebagai persoalan metafisik. Tapi kalau kematian hanya persoalan teknis, maka bisa dicarikan solusi teknis,” ungkap Haedar.
Di depan puluhan guru besa Muhammadiyah, Haedar Nashir berpesan agar mereka ikut memberikan catatan terhadap teori-teori Harari. Bagaimana posisinya dengan konsep yang dimiliki Islam tentang aql, qolb, ruh, dan lain-lain. Bagaimana para ahli agama menjelaskan realitas aql, qolb, dan ruh, sehingga bisa berdialog dengan Harari soal ini.
Kemudian Haedar Nashir menyebut Kiai Haji Ahmad Dahlan sejak awal sudah berbicara tentang akal murni. Dimensi ini sangat penting untuk dijelaskan, dan ini jarang dielaborasi oleh para pemikir Muhammadiyah. Satu-satunya pidato Kiai Dahlan yang utuh berjudul “Tali Pengikat Hidup” pada tahun 1921 membahas tentang akal murni.
Realitas Politik Islam
Adapun dalam diskursus politik Islam, Haedar bertanya bagaimana para guru besar tersebut memasuki wacana-wacana keislaman, tetapi tidak hanya untuk kemegahan, namun untuk memperkaya khazanah keilmuan di Muhammadiyah.
“Muhammadiyah, pada landasan historisnya sudah cukup kokoh. Kiai Dahlan sudah relatif menyelesaikan fondasi. Tarjih di abad kedua sudah jauh melompat ke depan dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani. ‘Irfani yang masih kurang. Bayani, burhani, dan ‘irfani sudah lebih dari cukup untuk membaca realitas politik, sosial, dan kemanusiaan,” jelasnya.
Haedar Nashir mengutip Bachtiar Efendy yang mengatakan pasca reformasi, politik Islam tidak mengalami kemajuan. Bahkan terbayang-bayang oleh hantu politik lama. “Apakah kita akan berkutat pada format politik Islamisme dimana keseluruhan dogma dan norma politik ingin diciptakan dalam realitas keindonesiaan tanpa berdialog dengan realitas keindonesiaan? Yang sebenarnya di dalam realitas keindonesiaan juga ada nilai-nilai keislaman,” tanyanya.
Menurutnya referensi politik Islam di Indonesia masih sangat text book. Mayoritas muslim sudah selesai dengan pancasila. Tetapi di tubuh umat Islam masih ada semangat kekhalifahan. Konstruksi ini diselesaikan oleh Iqbal dan Maududi dengan adanya Negara Pakistan. Tetapi menurutnya di Indonesia tidak bisa dengan seperti itu. Soal bentuk itu adalah soal ijtihad. Masyarakat harus membiarkan Arab dengan Mamlakah, Iran dengan syiahnya, Mesir dengan republiknya, dan Indonesia dengan pancasila.
“Ketika dogma politik Islam berbenturan dengan negara, mestinya ini sudah selesai sejak persidangan BPUPKI. Maka, perlu tawaran baru dimana ada negosiasi, akomodasi, dan adaptasi. Sebaliknya juga, dalam konteks keindonesiaan, tidak bisa negara diformat menjadi negara sekular. Termasuk negara komunis atau apapun itu. Dalam waktu yang sama kita tidak setuju dengan khilafah,” tegasnya.
Reporter: Yusuf R Y.
Selanjutnya – di sini