Para jamaah haji gelombang pertama telah tiba di Tanah Air tercinta secara bertahap. Sementara itu, jamaah haji gelombang kedua juga mulai didorong menuju Madinah. Berbagai pengalaman ruhani dibawanya sebagai modal untuk melangkah lebih baik dalam mengarungi kehidupan ke depan dibandingkan sebelum memperoleh pencerahan selama di Masjidil Haram, Arafah, Muzdhalifah, dan Mina.
Pengalaman ruhani antar jamaah tentu tidak sama sesuai latar belakang pendidikan dan pemahaman, dan penghayatannya tentang manasik haji. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar dan menjadi catatan bersama baik para penyelenggara, para petugas, pihak terkait, dan para jamaah haji itu sendiri.
Berbagai kajian sebelumnya menyebutkan bahwa mayoritas jamaah haji, khususnya jamaah haji Indonesia perjalanan ke Tanah Suci merupakan pengalaman pertama pergi ke luar negeri. Jika hal ini benar, maka tidak bisa dipungkiri terjadi “shock culture” yang luar biasa. Akibatnya banyak jamaah sering “silaturahim” ke tempat lain alias tersesat, bahkan ingin segera pulang kampung karena rindu terhadap ternak peliharaannya. Fenomena seperti ini hampir setiap tahun terulang dan terulang dengan modus yang berbeda.
Sepanjang pengamatan penulis selama berada di Tanah Suci. Sebetulnya kasus “silaturahim” ke tempat lain bukan semata-mata perilaku jamaah Indonesia. Jamaah dari negara lain pun juga mengalami hal yang sama. Perbedaannya terletak pada kemampuan berkomunikasi. Jamaah negara lain mampu berkomunikasi dengan bahasa Internasional. Sementara jamaah haji Indonesia mayoritas kurang mampu berkomunikasi.
Ketika mereka silaturahim ke tempat yang berbeda nampak raut wajahnya tersimpan ketakutan. Disinilah para petugas kloter dan non kloter berjibaku untuk mencari informasi memulangkannya sesuai hotel yang ditempati.
Perilaku Jamaah: Antara Pesan Nas dan Realitas
Ibadah haji merupakan salah satu implementasi dari Q.S. al-Hujurat ayat 10-13. Dalam ayat-ayat ini disebutkan bahwa umat Islam bersaudara, tidak boleh merendahkan pihak lain, dan merasa paling baik. Begitu pula tidak boleh berburuk sangka, dan selalu mengintai apa yang dilakukan saudaranya.
Allah memerintahkan agar saling mengenal peradaban lain dan global agar terbuka wawasan yang dimiliki. Semakin luas wawasan yang dimiliki akan semakin luas cara pandang dan akan berpengaruh dalam diri seseorang ketika berhadapan dengan peradaban dunia yang beragam.
Pada musim haji, umat Islam sedunia berkumpul di Tanah Suci. Di sini setiap jamaah membawa peradaban dan kebudayaan negara masing-masing. Di sini pula terjadi dialog peradaban tingkat global untuk saling mengenal dan memahami antara satu dengan lainnya. Ada yang bertutur kata sejuk dan menyenangkan. Ada pula yang keras dan kadangkala “kurang” menyenangkan. Namun semua itu harus disikapi secara asertif dan tidak boleh memberi stigma yang berlebihan.
Realitas ini menggambarkan semua pihak harus memahami budaya masyarakat di dunia agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Seringkali muncul stigma bahwa jamaah haji Indonesia jamaah yang suka berbelanja dan berselfi berlebihan di depan Kakbah. Stigma ini perlu diluruskan dengan memperhatikan kondisi objektif di lapangan. Perilaku berbelanja dan berselfi ria sesungguhnya dilakukan tidak hanya jamaah Indonesia. Jamaah haji negara lain juga melakukan hal yang sama.
Setiap selesai salat lima waktu bisa disaksikan berbagai jamaah haji luar negeri membawa perbelanjaan dari Bindawood, zam-zam tower, dan sekitarnya. Lalu mengapa stigma terebut hanya diarahkan pada jamaah haji Indonesia? Salah satu jawabnya adalah jumlah jamaah haji Indonesia paling banyak. Hampir setiap sudut Masjidil Haram ditemukan jamaah Indonesia. Begitu pula di hotel-hotel sekitar Mekah sehingga yang nampak membawa perbelanjaan hanya orang Indonesia.
Perilaku berbelanja jamaah haji Indonesia sebetulnya bukan untuk kepentingan diri pribadi. Para jamaah berbelanja untuk memberi oleh-oleh kepada keluarga, tetangga, teman sejawat, dan lain sebagainya sebagai tanda bersyukur bisa menunaikan ibadah haji secara sempurna. Namun dalam praktiknya, seringkali membebani dan melupakan substansi haji.
Tentu saja pola pikir seperti ini perlu dievalusi agar substansi haji tidak tergerus dengan persoalan duniawi yang berlebihan. Tidak ada salahnya mencoba memahami tradisi negara lain agar dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan.
Jika ada hal-hal yang positif, maka tidak segan untuk mengadopsinya. Dengan demikian, para jamaah memperoleh pencerahan dan bermanfaat bagi masyarakat luas nantinya. Hal ini sebagaimana dikisahkan para jamaah haji zaman dulu.
Dari Tawaf Syar’i Menuju Tawaf Ruhani
Patut dimaklumi, bertemunya kebudayaan dan peradaban global di Tanah Suci tentu berdampak dalam praktik manasik haji. Salah satunya adalah pelaksanaan tawaf. Seringkali muncul pemandangan yang kurang indah saat pelaksanaan tawaf. Untuk itu perlu dipikirkan bersama bagaimana memadukan aspek syar’i dan irfani agar diperoleh pengalaman ruhani yang lebih mendalam ketika melakukan tawaf.
Perjalanan tawaf tidak hanya persoalan fisik semata, namun perlu mempertimbangkan aspek ruhani sehingga setiap langkahnya selalu diselimuti akhlak yang mulia dalam bangunan persaudaraan yang kuat. Saling menghargai, saling berbagi dalam keadaan apapun ketika saudaranya memerlukan, dan tidak egois.
Dalam perjalanan tawaf ada dua kelompok yang silih berganti, yaitu kelompok yang mengawali dan kelompok yang mengakhiri tawaf. Fenomena ini seringkali menimbulkan gesekan bahkan keributan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Masing-masing pihak seharusnya berlapang dada karena akan mengalami hal yang sama.
Jika ada saudaranya yang selesai tawaf dan meminta jalan keluar, maka dengan berjiwa besar memberi ruang kepada mereka yang memerlukan dan berhenti sejenak. Namun dalam praktiknya, seringkali menahan jamaah yang ingin keluar. Perilaku semacam ini kurang mencerminkan jiwa persaudaraan sebagaimana diisyaratkan dalam Q.S. al-Hujurat di atas.
Selain persoalan tawaf, praktik mencium hajar aswad juga perlu menjadi bahan renungan bersama. Setiap habis salat wajib, para jamaah yang berada di Saf pertama depan Ka’bah langsung bertebaran dan melompat menuju hajar aswad. Bahkan kadangkala imam salat belum selesai mengucap salam, para jamaah sudah berlari. Semangat untuk bisa mencium hajar aswad perlu diapresisasi. Namun situasi berhamburan ini kurang indah, apakah perilaku seperti ini dicontohkan oleh Rasulullah?. Mencari sunah “mengabaikan” yang wajib.
Kesadaran jamaah untuk berbagi kepada jamaah lain agar bisa menikmati salat di depan Ka’bah perlu menjadi kesadaran kolektif. Salah satu caranya mengkaji ulang pola pikir memperbanyak “tawaf sunah” di lantai bawah agar bisa salat di depan Ka’bah.
Semangat memperbanyak tawaf sunah dapat dipahami, namun mengingat kondisi Masjidil Haram sebaiknya jamaah tidak “egois” sehingga pelaksanaan tawaf lebih nyaman dan dapat dirasakan. Memang belum ada data yang valid berapa jumlah jamaah yang melakukan tawaf sunah.
Jamaah yang memburu “kesempurnaan” cenderung bersikap egois dan intoleran, sedangkan jamaah yang fokus pada “kemabruran” lebih toleran dan menghargai sesama jamaah. Ijtihad produktif-asertif sangat dibutuhkan untuk menciptakan suasana tawaf yang substantif.
Pedoman Manasik Haji dan Tantangan Zaman
Tidak dapat dipungkiri, perkembangan bangunan fisik perluasan Masjidil Haram memang luar biasa. Bangunan nampak megah dan indah. Baik dari segi gaya arsitektur dan kaligrafi gaya thulus yang mendominasi di atas bangunan. Pintunya didominasi warna hijau tua dihiasi ornamen khas Islam warna kuning emas. Kombinasi warna yang mengagumkan dan memiliki nilai seni yang tinggi.
Bangunan baru juga didukung keberadaan toilet untuk pria dan wanita yang sangat bersih dan bergaya modern. Situasi ini berbeda dengan keberadaan toilet-toilet sebelumnya. Terobosan yang luar biasa di bidang bangunan gedung di sekitar Masjidil Haram perlu diimbangi “pembaharuan” di bidang manasik haji.
Untuk itu, sudah saatnya dunia Islam melalui Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mengkaji ulang pedoman manasik haji yang selama ini dipedomani. Indonesia sebagai negara terbanyak jumlah jamaahnya berkepentingan dan perlu menginisiasi dengan mempersiapkan naskah akademiknya.
Pedoman baru disusun berdasarkan realitas kekinian dan hasilnya disosialisasikan kepada seluruh dunia Islam. Disinilah peran para pembimbing ibadah haji sangat besar. Untuk itu, mereka perlu ditingkatkan wawasannya melalui berbagai pelatihan sehingga menjadi penyambung lidah yang berwawasan luas dari pihak kementerian terkait. Dengan demikian, untuk mewujudkan “haji substantif” kolaborasi berbagai pihak sangat diperlukan.