“Labbaik Allahumma labbaik. Labbaik laa syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk laa syarika lak. Ya Allah, aku memenuhi panggilan-Mu, Ya Allah aku memenuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, sesungguhnya pujian dan kenikmatan hanya milik-Mu, dan kerajaan hanyalah milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu.”
Mengucap kalimat di atas sembari memasuki Masjidil Haram dan mengitari Ka’bah adalah harapan tiap Muslim. Bukan hanya muslim yang tak pernah haji dan umrah. Kenikmatan ibadah di Tanah Haram membuat semua yang pernah hadir di sana pun rindu untuk kembali.
Maka, tak jarang mereka yang memiliki kelebihan harta akan berkunjung ke sana lagi dan lagi. Termasuk deretan artis tanah air diberitakan beberapa kali umrah dan haji dalam kurun waktu yang berdekatan. Bagi Sebagian orang, hal itu pun dijadikan tanda keseriusan mereka berhijrah. Atau bukti tingkat keimanannya lebih tinggi dari lainnya. Benarkah demikian?
Haji Tathawwu’
Syekh M Nawawi Al-Bantani dalam karyanya menyebutkan bahwa ibadah haji hanya wajib dilakukan sekali seumur hidup. Kalaupun lebih dari sekali, maka itu haji nazar, haji qadha, dan haji fardhu kifayah mensyiarkan Ka’bah setiap tahunnya.
Syekh M Khatib As-Syarbini mendasarkan pandangan kewajiban haji dan umrah seumur hidup sekali pada hadits fi’li dan qauli. Hadits fi’li meriwayatkan bahwa Rasulullah saw hanya melaksanakan haji sekali seumur hidupnya. Adapun hadits qauli meriwayatkan tanya jawab antara sahabat dan Rasulullah Saw terkait kewajiban ibadah haji yang dilaksanakan cukup sekali seumur hidup.
لأنه صلى الله عليه وسلم لم يحج بعد فرض الحج إلا مرة واحدة، وهي حجة الوداع ولخبر مسلم أحجنا هذا لعامنا أم للأبد؟ قال لا بل للأبد
“Karena Rasulullah Saw tidak berhaji setelah datang kewajiban haji kecuali sekali, yaitu haji wada; dan karena hadits riwayat Muslim, ‘Apakah haji kita untuk tahun ini atau untuk selamanya?’ sahabat bertanya. ‘Tidak (untuk tahun ini), tetapi selamanya,’ jawab Rasul.”
Urgensi Fikih Prioritas
Salah satu pemikiran Yusuf Al-Qaradhawi yang masyhur adalah tentang fikih prioritas (fiqh al-awlawiyyaat). Pemahaman yang dimaksud adalah meletakkan segala sesuatu pada kedudukannya (martabatnya) yang tepat. Sehingga tidak mengakhirkan sesuatu yang seharusnya diutamakan atau sebaliknya, tidak mengecilkan urusan yang besar dan membesarkan perkara kecil. Sebagaimana hadits Rasulullah Saw dari Abu Hurairah yang berbunyi:
الإيمان بضع وسبعون شعبة: أعلاها: لا إله إلا الله، وأدناها: إماطة الأذى عن الطريق
“Iman itu memiliki tujuh puluhan cabang. Cabang yang paling utama ialah ucapan Laa ilaaha illallah (tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah), dan cabang yang paling rendah ialah menyingkirkan bahaya dari jalan.”
Hadits tersebut menandakan bahwa iman pun ada tingkatannya. Ada yang lebih rendah, lebih tinggi, juga di tengah, dan Allah Yang Maha Tinggi berfirman dalam At-Taubah ayat 19:
أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ ٱلْحَآجِّ وَعِمَارَةَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ كَمَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَجَٰهَدَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ لَا يَسْتَوُۥنَ عِندَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلظَّٰلِمِينَ
“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta bejihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang dzalim.”
Rasulullah Saw juga pernah bersabda, “Dia bukan dari kami,” dan dalam sebuah riwayat: “Dia bukan orang beriman yang tidur kenyang dan tetangganya lapar.” Maka, bagaimana mungkin seseorang membenarkan ziarah ke Baitullah berkali-kali dengan meninggalkan tetangganya terpikat oleh kelaparan, dan kemiskinan?
***
Dalam kisah yang lain, seorang pria mendatangi Bishr Ibn Al-Haris, yang terkenal di antara para sufi dan orang-orang zuhud. Pria itu berkata, “Berapa banyak uang yang telah Anda siapkan untuk haji?” “Dua ribu dirham,” jawabnya. Seribu dirham pada waktu itu merupakan jumlah yang sangat besar. Dia berkata lagi pada Bishr, “Apakah Anda ingin haji karena menjauhkan diri dari keduniawian (zuhud), merindukan Baitullah, atau mengharap ridla Allah?”
Dia berkata, “Demi Allah, mencari keridhaan Allah.” Pria tersebut membalas, “Maukah saya beritahu hal apa yang dapat Anda lakukan untuk meraih keridhaan Allah meski Anda berada di rumah Anda? Pergilah dan berikan uang ini kepada sepuluh orang, pada orang miskin untuk mengentaskan kemiskinannya, pada anak yatim untuk memenuhi kebutuhannya, para gharim untuk melunasi hutangnya, dan pencari nafkah untuk meringankan beban anak-anaknya. Bishr pun berkata, “Wahai Abu Nasr, safar (ke Baitullah) lebih kuat di hatiku.”
Artinya, bisa jadi orang yang ingin kembali ke sana berkali-kali hanyalah untuk kesenangannya sendiri. Bukan untuk mencari ridha Allah. Padahal ada yang lebih baik dan lebih bermanfaat bagi umat Islam saat ini, yaitu berempati dan turut berkontribusi dalam penyelesaian masalah umat.
Sebagaimana ciri haji mabrur yang disebutkan Rasulullah adalah memberi makanan dan menebarkan kedamaian. Maka yang dimaksudkan dari manfaat berhaji tak melulu urusan manusia dengan Tuhannya, namun juga berbuah pada kepedulian sosial antarsesama.
Alhasil, cukuplah sekali berhaji dan umrah jika masih ada ribuan anak putus sekolah, wanita korban KDRT tak hidup layak, serta lembaga pendidikan yang membutuhkan uluran tangan. Inilah yang disebut fikih prioritas. Haji untuk kedua kalinya adalah sunnah. Sedangkan menolong sesama yang sedang kesulitan adalah wajib.
Haji tathawwu’ merupakan ibadah qashirah yang maslahatnya kembali pada diri sendiri. Sedangkan bersedekah merupakan ibadah muta’adiyah, karena di samping bermanfaat bagi diri sendiri juga memberi maslahat bagi orang lain.
Alangkah lebih baik jika para artis yang disebut di atas ingin meningkatkan ibadahnya tak perlu berkali-kali haji dan umrah. Lembaga amil zakat atau penggerak sosial lainnya dapat menawarkan ibadah yang lebih diprioritaskan. Jika banyak yang berpemahaman demikian, masalah sosial dan kemiskinan akan mendapat titik terangnya.
Editor: Soleh