Islam ialah sebuah agama yang memiliki metode tersendiri dalam menentukan suatu hukum fikih. Dengan adanya metode ini, Islam bisa mengakomodir setiap perkembangan zaman dan bisa menentukan hukum dari setiap kejadian yang ada. Itulah mengapa, Islam yang dibawa Nabi Muhammad ini dinobatkan sebagai ajaran terakhir yang akan tetap eksis sampai akhir zaman.
Para ulama dan cendekiawan muslim terus mengembangkan keilmuwan Islam ini. Salah satunya ialah dengan terus memperdalam dan mengembangkan ilmu usul fikih.
Mengapa usul fikih? Karena, melalui ilmu usul fikih ini lah, suatu hal bisa dihukumi halal atau haram.
Melalui ilmu ini pula, seorang muslim diharapkan bisa menentukan apakah suatu hal itu boleh ia lakukan atau tidak. Dari sekian pembahasan ilmu usul fikih yang sangat menarik untuk dibahas, ialah qiyas dan istihsan.
Qiyas
Qiyas ialah sebuah metode yang dipakai ulama dalam menentukan suatu hukum yang tidak disebutkan secara spesifik dalam Al-Qur’an maupun hadis. Menurut Dr. Wahbah az-Zuhailiy, qiyas ialah menyamakan hukum suatu hal yang belum disebutkan hukumnya dalam Al-Qur’an dan hadis dengan suatu hal yang telah disebutkan hukumnya dalam Al-Qur’an dan hadis atas dasar suatu ‘illah (sebab) yang sama (Usul fikih Islamiy, 1/574).
Berkaitan dengan riba dan bunga bank, dalam surat Al-Baqarah ayat 278 dan 279, disebutkan, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan tinggalkanlah apa yang tersisa dari riba jika kalian beriman. Jika kalian tidak melaksanakannya, maka umumkanlah suatu perang dari Allah dan Rasul-Nya.”
Ayat ini secara spesifik menyebutkan bahwa riba itu hukumnya haram. Menjadi haram karena Allah memerintahkan untuk meninggalkannya dan Dia akan memerangi orang-orang yang tidak mau berhenti dari hal itu.
Imam Asy Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm menjelaskan bahwa riba itu ada dua macam, riba fadhl dan riba nasi’ah. Riba fadhl terjadi dengan adanya tambahan pada takaran atau timbangan, sedangkan riba nasiah itu terjadi dengan adanya tambahan pada hutang karena mundur dalam pembayaran (Al Umm, 3/15).
Dengan adanya dalil yang menunjukkan haramnya riba fadhl dan riba nasi’ah ini, mayoritas ulama meng-qiyas-kan bunga bank dengan riba fadhl. Bunga bank itu ialah tambahan dari pihak bank atas uang yang kita titipkan atau uang yang kita pinjam. Sedangkan riba fadhl asalnya ialah tambahan dari jual beli emas dengan emas.
Karena sama-sama ada ‘tambahan’ inilah, mayoritas ulama berpendapat bahwa bunga bank itu haram, sebagaimana haramnya riba fadhl. Ini ialah salah satu contoh pengaplikasian metode qiyas oleh ulama.
Yang mengharamkan bunga bank di antaranya ialah Nahdlatul Ulama melalui fatwanya pada tahun 1982, MUI dalam fatwanya pada tahun 2003, Syekh Ibnu Baz dari kalangan ulama Arab Saudi dan keputusan OKI pada sidang keduanya di Karachi 1970.
Istihsan
Istihsan menurut Dr. Wahbah Az Zuhailiy ialah “berpindah dari suatu hukum kepada sesuatu yang serupa dengannya berdasarkan suatu dalil yang lebih kuat” (Usul fikih Islamiy, 2/21).
Ulama pun berbeda pendapat tentang kebolehan menentukan suatu hukum dengan metode istihsan. Ulama madzhab Malikiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa menentukan suatu hukum dengan istihsan itu boleh.
Bahkan Imam Malik mengatakan, “Istihsan itu sembilan dari sepuluh bagian ilmu.” Sedangkan Imam Syafi’I berpendapat bahwa menentukan suatu hukum dengan istihsan itu sama saja dengan menentukan suatu syariat baru selain syariat Islam. Man istahsana faqad syara’a, begitu ucapan beliau.
Berkaitan dengan bunga bank, seseorang yang berpegang dengan istihsan dalam menentukan hukum bunga bank, pasti akan mengatakan bahwa bunga bank itu halal dan bukan termasuk riba.
Mengapa demikian? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dapat diilustrasikan sebagai berikut. Seseorang pada tahun ini (2022) meminjam uang seratus juta rupiah dari bank dan menurut perjanjian, akan dilunasi dalam jangka waktu 10 tahun.
Pada tahun ini, uang seratus juta rupiah itu dapat digunakan untuk membeli sebidang tanah dengan luas 100 m2 dengan harga tanah permeternya satu juta rupiah. Namun ternyata, sepuluh tahun lagi, ketika uang itu dilunasi, uang seratus juta rupiah tidak cukup untuk membeli sebidang tanah 100 m2 tersebut. Hal itu karena nilai uang semakin menyusut, harga barang semakin naik dan adanya inflasi.
Karena adanya hal-hal tersebut dan supaya pihak peminjam serta yang meminjamkan sama-sama tidak dirugikan, maka perlu ada tambahan dalam mengembalikan uang.
***
Dalam ayat 279 dari surat Al-Baqarah, Allah berkalam dalam ayat yang berkaitan dengan riba, “Kalian tidak menzalimi dan tidak didhalimi” (Laa tadhlimuuna wa laa tudhlamuun).
Tambahan ini adalah bentuk istihsan, karena adanya maslahat (sisi positif) yang didapat oleh peminjam dan yang meminjam ketika bunga bank itu ditambahkan. Sehingga keduanya sama-sama tidak dirugikan. Atas dasar inilah, bunga bank itu boleh.
Yang berpendapat halalnya memanfaatkan bunga bank ialah Darul Ifta’ al-Mishriyyah (Lembaga Fatwa Mesir) dan beberapa ulama lain, seperti Dr. Yusuf Al-Qaradawi, dll.
Adapun Majelis Tarjih Muhammadiyah menfatwakan bahwa bunga bank ini masuk dalam ranah mutasyabihat (sesuatu yang belum jelas hukumnya). Ini hanya berlaku di bank milik pemerintah. Sedangkan bank swasta, Majelis Tarjih Muhammadiyah memutuskan bahwa bunga bank itu haram. Perbedaan ini didasari sebuah pemahaman bahwa bunga bank dari bank swasta, keuntungannya kembali pada personal pemilik bank tersebut. Sedangkan bunga bank itu milik pemerintah, maka maslahat yang didapatkan akan kembali ke pemerintah dengan manfaat yang dihasilkan lebih banyak.
Istihsan dan Qiyas yang Tidak Bisa Disatukan
Dari contoh kasus bunga bank ini saja, terlihat perbedaan yang sangat jauh antara aplikasi istihsan dan qiyas. Kedua metode dalam usul fikih ini tidak mungkin berjalan selaras dan seirama. Ia pasti akan selalu menghasilkan keputusan yang bertentangan.
Maka, sikap yang perlu direnungkan ialah apakah kita akan mengambil istihsan atau qiyas. Bagi yang mengambil qiyas tentu ia berpendapat bahwa bunga bank itu haram. Sedangkan bagi yang mengambil istihsan, ia akan berpendapat bahwa bunga bank itu halal.