Review

Atas Nama Kemanusiaan: Mengambil Hikmah dari Film In Darkness (2011)

4 Mins read

In Darkness (2022) | Gus Mus menyimpan renungan tentang perdamaian, dalam puisinya “Atas Nama”. Gus Mus menggambarkan ada yang atas nama Tuhan melecehkan Tuhan. Ada yang atas nama negara merampok negara. Ada yang atas nama rakyat menindas rakyat. Ada yang atas nama kemanusiaan memangsa manusia. Ada yang atas nama keadilan meruntuhkan keadilan. Ada yang atas nama persatuan merusak persatuan. Ada yang atas nama perdamaian mengusik perdamaian. Ada yang atas nama kemerdekaan memasung kemerdekaan. Maka atas nama siapa saja kirimlah laknat kalian atau atas nama perangilah mereka dengan kasih sayang (Aziz, 2017).

Gus Mus mengajak kita semua untuk melihat segala masalah dan kekerasan dengan cinta. Kita harus melawan dan mengutuk segala jenis perang, penindasan, dan kekerasan dengan cinta, kasih sayang, dan kemanusiaan.

Puisi Gus Mus ini nampaknya tergambarkan dalam film berjudul In Darkness tahun 2011. Sebuah film Polandia yang didasarkan dari buku yang ditulis oleh Robert Marshall berjudul “In The Sewers of Lvov”. Buku ini disusun atas dasar testimoni penyintas kaum Yahudi yang mengalami kekerasan dan penindasan Nazi Jerman di Polandia.

Perisitwa Perang Dunia II (PD II) memang sudah lama berakhir. Namun sampai saat ini masih dikenang sebagai kejadian yang extraordinary dalam sejarah peradaban kehidupan manusia. Banyak cerita luar biasa yang terjadi akibat dari perang dunia II.

Sinopsis Film In Darkness

Peristiwa ini dimulai di kota Lvov perbatasan Polandia dan Ukraina. Saat ini kota Lvov masuk ke dalam wilayah Ukraina. Pada saat itu kaum Yahudi sudah dilokalisir ke area pemukiman kamp konsentrasi Getho.

Kehidupan kaum Yahudi mulai morat-marit atas tindakan yang dilakukan oleh Nazi. Seperti diketahui bersama, Nazi di bawah kepemimpinan Adolf Hitler sangat benci terhadap kaum Yahudi dan orang-orang berkebutuhan khusus yang tidak sesuai dengan ras Arya yang sempurna. Sehingga semua hal yang berbau Yahudi akan meminjam bahasa George Orweell “diuapkan”.

Baca Juga  1984: Buku Favorit Tokoh Dunia yang Meramal tentang Totalitarianisme

Tetapi tidak dengan Leopold Socha alias Poldek, ia merupakan petugas kebersihan saluran pembuangan air atau gorong-gorong kota Lvov. Poldek setiap hari sangat rutin memeriksa gorong-gorong jangan sampai ada saluran air yang macet.

Suatu hari ketika Poldek sedang bertugas, ia tak sengaja bertemu orang Yahudi yang bersembunyi di dalam gorong-gorong. Ignacy Chiger seorang profesor Yahudi yang bersembunyi di gorong-gorong kemudian melakukan kesepakatan dengan Poldek yang menawarkan jasa menyembunyikan kaum Yahudi di gorong-gorong dengan imbalan uang dari orang Yahudi, prof Ignacy Chiger selaku tokoh Yahudi setempat pun setuju.

Suatu hari Poldek melakukan rutinitas seperti biasa memeriksa gorong-gorong. Ketika suara jeritan histeris terdengar dari gorong-gorong, Poldek segera memeriksa orang Yahudi yang disembunyikannya. Kini orang Yahudi yang bersembunyi di gorong-gorong jumlahnya sudah terlalu banyak. Para Yahudi ini hidup di dalam himpitan gorong-gorong yang gelap dan bau.

Setiap harinya Poldek selalu membawa makanan untuk orang Yahudi ini. Tetapi karena jumlahnya terlalu banyak. Makanan yang dibawa Poldek tidak cukup. Poldek pun mengajak sebagian orang untuk pindah ke tempat yang lebih aman dan dalam dari gorong-gorong, tetapi maksimal hanya 11 orang saja yang dibawa.

***

Di antara 11 orang itu, ada dua anak Prof. Ignacy, yaitu Pavel dan Krysya Chiger. Krysya Chiger ini kelak akan menulis buku memoar tentang pengalamannya tinggal di gorong-gorong berjudul The Girl the Green Sweater: A Life in Holocauts Shadow yang terbit pada tahun 2008.

Suatu ketika Poldek pulang ke rumah, tetapi ia terkejut ketika sahabat lamanya bernama Bornik komandan tentara Ukraina sekaligus kolaborator Nazi menanyakan tentang kaum Yahudi yang bersembunyi di gorong-gorong. Tetapi Bornik bertanya pada orang yang salah, sebab Poldek telah melakukan kesepakatan dengan orang Yahudi untuk tidak memberitahukan keberadaan kaum Yahudi di gorong-gorong. Kaum Yahudi pun selamat, tetapi istri Poldek yang mengetahui bahwa Poldek menyembunyikan orang yahudi tidak setuju atas tindakan Poldek. Sebab resikonya sangat besar, yaitu dibunuh.

Baca Juga  Kisah Tim Kemanusiaan Muhammadiyah Tembus Gaza di Tengah Perang

Tetapi Poldek tetap pada pendiriannya untuk melindungi orang-orang Yahudi. Waktu telah berjalan beberapa bulan. Prof Ignacy pun mengeluh pada Poldek bahwa ia sudah tidak sanggup lagi untuk membayar Poldek. Tetapi Poldek yang naluri kemanusiaannya terpanggil sudah tidak memperdulikan lagi harta dan uang dari orang Yahudi. Justru malah sekarang Poldek yang memberikan beberapa uang kepada orang-orang yahudi itu.

***

Suatu hari, kota Lvov mengalami hujan yang sangat besar, saat itu Poldek tengah menghadiri acara anaknya di gereja. Dalam gereja hati Poldek gelisah memikirkan nasib kaum Yahudi di gorong-gorong.

Saat bersamaan, tentara Nazi sedang menaruh bom di bawah gorong-gorong. Tetapi Poldek mencegahnya karena dapat membakar pipa gas yang mampu menghancurkan seluruh kota. pemasangan bom pun urung dilakukan. Poldek pun bergegas pergi ke dalam gorong-gorong memastikan nyawa kaum Yahudi itu selamat. Pada saat bersamaan, Bornik juga memeriksa gorong-gorong apakah benar ada pipa gas?

Tetapi tanpa disadari Bornik melihat gayung, pakaian, panci, dan baskom milik para Yahudi mengambang melewati mereka. Bornik pun langsung menodongkan senjata. Tetapi Poldek langsung mendorongnya dan Bornik terjatuh serta terbawa arus di dalam gorong-gorong.

Poldek langsung menghampiri orang Yahudi untuk memastikan keselamatannya. Poldek pun lega semua orang Yahudi yang ditolongnya selamat. Tidak lama dari kejadian itu, pasukan Nazi pergi dari kota Lvov dan pasukan Soviet pun datang.

Dari permukaan, Poldek memanggil orang-orang Yahudi itu untuk segera naik ke atas. Dan untuk pertama kalinya, sejak berbulan-bulan tinggal di gorong-gorong yang gelap dan bau, orang-orang Yahudi itu pun tersenyum bisa menikmati alam dunia.

Ulasan Film In Darkness

Dari film ini banyak hal yang dapat dipelajari terutama terkait tentang nilai-nilai kemanusiaan. Meski berbeda keyakinan, Poldek yang tadinya masih melihat bahwa para Yahudi ini sumber uang, tetapi seiring perjalanan waktu naluri kemanusiaannya muncul dan menghilangkan keegoisan pribadinya akan harta.

Baca Juga  Membaca Disertasi Amien Rais (1): Kritik atas Teori Sekularisasi

Apa yang dilakukan Poldek, sesuai dengan yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib, “Mereka yang tidak saudara dalam iman, adalah saudara dalam kemanusiaan”. Dari film ini, saya sempat bertanya dalam hati, “Apakah seseorang harus tertekan dulu baru kemanusiaan itu muncul?”

Pertanyaan ini terlontar bukan dari ruang kosong melainkan dari konteks sosial kehidupan masyarakat hari ini yang dengan mudahnya, yang dengan kuasanya mampu melenyapkan orang-orang yang tidak bersalah.

Maka sesuai puisi Gus Mus di atas “Atas Nama”, sudah sepantasnya orang melawan dan menunjukkan rasa kemanusiaan terhadap sesama melalui cinta dan kasih sayang. Film ini juga menjadi pelajaran bagi orang yang memiliki kuasa untuk segera menyadari dirinya sendiri bahwa segala bentuk penindasan dan kekerasan itu sangat merugikan banyak orang.

Daftar Referensi

Aziz, M. (2017). Merawat Kebinekaan (Pancasila, Agama, dan Renungan Perdamaian. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Dimas Sigit Cahyokusumo
20 posts

About author
Alumni Pascasarjana Studi Perdamaian & Resolusi Konflik UGM
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *