In-DepthNews

Hamim Ilyas: Konsep dan Karakteristik Ummatan Wasathan

4 Mins read

Yogyakarta-IBTimes.ID- Pengajian Ramadhan Pimpinan Pusat Muhammadiyah (11/5), kali ini diisi oleh Hamim Ilyas, Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Beliau banyak menjelaskan tentang doktrin umat sebagai masyarakat dalam kehidupan universal.

Menurut Hamim, sembari mengutip surah al-Baqarah, 2: 143, umat Islam ditegaskan sebagai ummah wasath (ummatan wasatha). Ummah adalah kumpulan orang yang dihimpun oleh suatu ikatan berupa  agama, waktu dan tempat.” ujar Hamim, mengutip pendapat al-Ashfahani.

Dalam ayat itu (al-Baqarah, 2: 143) Ummah menunjuk kepada sekumpulan orang yang dihimpun oleh ikatan agama dan menjalankan peran atau tugas tertentu (litakunu syuhada alan nas). Dengan tugas ini, kumpulan itu menjadi kelompok yang membentuk perikehidupan berbudaya dan dikenal dengan masyarakat.

“Jadi pengertian ummah dalam ayat tersebut adalah masyarakat. Adapun wasath dalam bahasa berarti tengah dan digunakan dengan pengertian adil (menurut al-Asfahani) dan pilihan (menurut Zamakhsyari)” imbuhnya.

Dengan demikian  ummatan wasatha adalah masyarakat tengah, adil dan pilihan  Apabila ketiga kualitas  ini digabung  maka pengertiannya bisa  masyarakat tengah dan adil sehingga  menjadi masyarakat pilihan. masyarakat pilihan berada di tengah dan adil di antara  dua kecenderungan ekstrem dalam gerakan sosial-politik dan kebudayaan. Misalnya gerakan kanan dan kiri dan kebudayaan materialisme dan spiritualisme.

Kualitas pilihan ini menjadi tanda keberadaan umat Islam  dan karenanya menjadi identitas yang diidealkan bagi mereka  sebagai masyarakat.

“Dengan identitas itu umat Islam sebagai ummatan wasatha memiliki tugas yang berat ke luar (eksternal) dan ke dalam (internal)” ulas Hamim.

Tugas eksternal yang harus mereka laksanakan diungkapkan dengan litakunu syuhada alan nas (supaya kamu menjadi saksi atas manusia). Tugas ini menurut Ibn Katsir adalah  tugas umat  memberi kesaksian atas umat-umat  lain yang mengakui keutamaan mereka pada hari kiamat.

Di dunia, umat Islam sebagai ummatan wasatha memiliki tugas menjadi  saksi sejarah atas masyarakat-masyarakat yang lain. Dengan tugas ini, mereka harus mampu memahami realitas masyarakat lain secara obyektif dan mengambil tanggung jawab sebagai konsekuensi atas pemahaman itu.

Baca Juga  Ashoka dan Kok Bisa Ajak Masyarakat Memitigasi Krisis Iklim Melalui Gaharu Bumi Innovation Challenge

Kemudian tugas internal yang harus mereka jalankan diungkapkan dengan wa yakunar rasulu alaikum syahida (dan Rasulullah Muhammad menjadi saksi atas kamu sekalian). Ungkapan ini menunjukkan bahwa umat Islam harus melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang membuat mereka bisa  menjadi masyarakat pilihan yang diharapkan oleh Nabi.

Sistem dan Struktur Masyarakat

“Setiap masyarakat, betatapun sederhananya, pasti memiliki sistem dan struktur sosial” kata Hamim.  Menurutnya, Sistem sosial adalah seperangkat unsur dalam masyarakat yang saling berhubungan dan berfungsi untuk mempertahankan batas-batas atau kesatuan bagian-bagiannya. Adapun struktur sosial adalah pola-pola yang dapat dilihat dalam praktek sosial dan prinsip-prinsip yang mendasari susunan sosial yang mungkin tidak terlihat.

Sistem dan struktur sosial Masyarakat Islam ideal disebutkan dalam al-Baqarah, 2: 148 dengan ungkapan wa li kullin wijhah huwa muwalliha yang biasa diterjemahkan dengan “masing-masing umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya”. “Pada ayat itu terdapat pengalihan pembicaraan (al-istithraf) dari kiblat ke masyarakat Islam ideal”  tandasnya.

Berdasarkan munasabah bentuk istithraf dan arti ini. Ungkapan tersebut terjemahnya bisa menjadi “masing-masing masyarakat memiliki orientasi yang dia mengarah kepadanya”.

Dengan demikian berdasar munasabah dan arti itu, ayat tersebut berbicara tentang masyarakat yang memiliki orientasi dalam membentuk perikehidupan berbudaya.

“Jiwa masyarakat ummatan wasatha dipahami dari  munasabah antara ayat 142 dengan 143. Dalam ayat pertama disebutkan as-sufaha’, jamak dari safih yang dalam bahasa digunakan dengan arti orang yang mengalami keterbelakangan mental karena kurang akal atau idiot” ujar Hamim.

Ia menambahkan keterangan bahwa kata as-sufaha’ dalam ayat itu menunjuk kepada orang yang membodohkan diri sendiri dengan tidak mau menerima Millah Ibrahim yang disebutkan dalam al-Baqarah, 2: 130. Mereka mempunyai jiwa yang sangat kerdil.

Baca Juga  IMM UNY Semarakkan Kurban Lewat Agenda Bakti Sosial Idul Adha 2024

“Umat Isalm tidak diperbolehkan  memiliki jiwa kerdil seperti itu” pungkas Hamim.

Mereka, tambah Hamim, harus menjadi antitesa dari as-sufaha’, yakni menjadi orang-orang yang berjiwa besar. Makna antitesa ini merupakan makna yang ditemukan dari munasabah antara dua ayat di atas yang berpola tadladd, menyebutkan dua hal yang berlawanan secara berurutan.

Kepribadian masyarakat ummatan wasatha dipahami dari ungkapan fastabiqul khairat dalam al-Baqarah, 2: 148. Fa adalah kata penghubung untuk menyatakan jawaban (harf al-jawab) yang berarti “”maka”” dan secara bebas bisa diterjemahkan dengan ““karena itu””.

Istabiqu merupakan kata perintah dari kata kerja bentuk lampau istabaqa, dibentuk dari sabaqa yang berarti mendahului atau berada di depan. Jadi istabaqa merupakan tsulatsi mazid (kata terdiri dari tiga akar yang diber tambahan huruf) dengan tambahan hamzah dan ta’ yang bermakna lit thalab, menyatakan usaha. Adapun al-khairat adalah jamak dari al-khair,  berarti kebaikan yang disenangi semua orang” ulas Hamim.

Berdasarkan ini, ungkapan itu berarti “maka (karena itu) berusahalah kamu sekalian untuk berada di depan dalam semua kebaikan yang disenangi semua orang”. Ungkapan ini merupakan perintah kepada umat Islam untuk merespon idealitas sistem sosial egaliter dan struktur sosial masyarakat negara yang diidealkan oleh al-Qur’an yang telah dijelaskan di atas.

Karakter Masyarakat  

Karakter masyarakat ummatan wasatha meliputi sifat-sifat melekat yang disebutkan dalam al-Baqarah, 2: 151-152.

Hamim berpendapat, bahwa terdapat delapan karakter masyarakat ummatan wasatha diantaranya; Pertama, pencerah. Sifat ini dipahami dari ungkapan yatlu ‘‘alaikum ayatina (membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu sekalian) dalam al-Baqarah, 2: 151).

Kedua, bersih. Sifat ini dipahami dari ungkapan wa yuzakki kum (dan dia mensucikan kamu sekalian) dalam al-Baqarah, 2: 151. Nabi mensucikan mereka dari segala kotoran yang melekat pada batin dan lahir mereka di zaman jahiliah. Jadi ungkapan ini menunjukkan sifat bersih yang harus  dimiliki umat sebagai pribadi dan kelompok.

Baca Juga  Siapa Jemaah yang Bisa Diwakilkan Hajinya? Ini Penjelasan Kemenag

Ketiga, unggul. Sifat ini dipahami dari ungkapan wa yu’’allikumul kitab (dan dia mengajarkan al-Qur’’an kepadamu). Dengan diberi pengajaran al-Qur’’an oleh nabi, bangsa Arab menjadi sejajar dengan bangsa-bangsa lain di sekitarnya yang terlebih dahulu telah diberi wahyu kitab suci.

Keempat, arif. Sifat ini dipahami dari ungkapan wal hikmah [dan (dia mengajarkan) hikmah kepadamu]. Al-hikmah adalah mendapatkan kebenaran secara tepat  dengan ilmu dan akal. Dalam prakteknya mereka yang mendapatkan hikmah dapat menjadi orang yang memiliki pikiran jernih, hati bening, kecerdasan tinggi dan kemampuan mengelola secara bijaksana.

Kelima, berwawasan luas. Sifat ini dipahami dari ungkapan wa yu’’allimukum ma lam takunu ta’lamun (dan dia mengajarkan apa-apa yang kamu tidak ketahui). Dengan mengajarkan apa yang sebelumnya tidak diketahui, umat Islam bisa memiliki wawasan yang luas. Secara tersirat ungkapan itu berisi perintah kepada mereka untuk terus belajar.

Keenam, religius. Sifat ini dipahami dari ungkapan fazdkuruni adzkurkum (ingatlah aku, maka Aku ingat kepada kamu sekalian). Ungkapan ini tidak hanya menganjurkan umat Islam untuk berizikir dengan membaca kalimat puji-puji, tapi menganjurkan mereka untuk bisa memiliki kesadaran yang tinggi terhadap Allah sehingga bisa menghadirkan-Nya dalam kehidupan yang nyata.

Ketujuh, efektif. Sifat ini dipahami dari ungkapan wasykuru li (bersyukurlah kepada-Ku). Ungkapan ini memerintahkan umat Islam untuk bersyukur. Syukur demikian hanya bisa dilakukan dengan memanfaatkan segala anugerah, yang dalam bahasa populer sekarang disebut sumber daya, secara efektif, memberikan efek atau membuahkan hasil  yang jelas.

Kedelapan, efisien. Sifat ini dipahami dari ungkapan wa la takfurun (dan janganlah kamu serkalian ingkar kepada-Ku).  Ungkapan ini menyatakan larangan bagi umat Islam melakukan kekufuran. Kekufuran yang dilarang bisa pengingkaran dalam akidah dan pengingkaran anugerah. Pengingkaran ini menunjukkan ketidakmampuan menjalankan tugas dengan baik dan tepat.

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
News

28.536 Guru PAI di Sekolah Ikuti PPG 2024 untuk Tingkatkan Kompetensi dan Kesejahteraan

1 Mins read
IBTimes.ID, Jakarta (20/12/24) – Kementerian Agama Republik Indonesia melalui Direktorat Pendidikan Agama Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, telah sukses melaksanakan Pendidikan Profesi…
News

Adaptif Terhadap Zaman, Dosen Ilmu Komunikasi UNY Adakan Pelatihan Pelayanan Prima di PCM Depok Sleman

2 Mins read
IBTimes.ID – Menghadapi perubahan era yang berjalan sangat cepat dan dinamis, serta membutuhkan adaptasi yang juga cepat, diperlukan keahlian khusus untuk menghadapi…
News

Festival Moderasi Keindonesiaan: Menyemai Moderasi Beragama di Kalangan Milenial dan Gen-Z

2 Mins read
IBTimes.ID, Yogyakarta (15/12/24) — Yayasan Pegiat Pendidikan Indonesia (PUNDI) bekerja sama dengan Kementerian Agama Republik Indonesia menyelenggarakan acara Festival Moderasi Keindonesiaan yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds