Mana jalan yang pendek dan mudah itu? Jalan itu ialah Agama. – Hamka
Hamka adalah singkatan dari nama Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang lahir di Sungai Batang Maninjau Sumatra Barat pata tanggal 17 Februari 1908M atau 14 Muharram 1326 H. Beliau putra dari pasangan Dr. Haji Abdul Karim Amrullah dan Shaffiah. Ayah Hamka dikenal dengan sebutan Haji Rasul, yaitu yang pembawa paham pembaharuan ke Minangkabau.
Sewaktu kecil berumur enam tahun sang ayahlah yang mengajari Hamka mengaji Al-Qur’an saat malam hari. saat berumur tujuh tahun Hamka dibawa dan dimasukkan di sebuah sekolah desa oleh ayahnya. Kemudian Hamka juga belajar ilmu agama di sekolah Diniyah School dan Sumatera Thawalib.
Sepak Terjang Hamka
Sekitar umur 16 tahun, Hamka berangkat ke Yogyakarta. Sejak saat itu Hamka mulai belajar pergerakan Islam yang mendapat kursus dari H. Fakhruddin, R.M Suryopranoto, AR St. Mansur, dan Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Hamka pulang kembali ke Paddang Panjang pada tahun 1935 dan mulai menjadi pengarang sejak saat itu.
Karangan pertamanya berjudul “Khatibul Ummah” kemudian disusul karangan dan bukunya yaitu yang berjudul Si Bariyah, Agama dan Perempuan, Pembela Islam, Adat Minangkabau dan Agama Islam, Kepentingan Tabligh, dan lain-lain. Dalam agama dan filsafat buku karangan Hamka adalah Tasawuf Modern, Lembaga Hidup, Lembaga Budi, Falsafah Hidup, dan lain-lain (Hamka, 2017).
Menurut Hamka dalam bidang keagamaan, agama Islam adalah agama yang menyerukan pada umatnya untuk memungut kebaikan di manapun ia menemukan, mencari rezeki, menjadi yang dipertuan dalam alam dengan dasar keadilan, mengambil sebab-sebab dalam mencapai kemuliaan, mengambil peluang dalam mencari kesenangan yang diizinkan, dan keagungan dalam perjuangan hidup bangsa-bangsa (Hamka, 2017).
Agama, Teori Bahagia dan Tasawufnya
Dalam pemikirannya Hamka tidak hanya berwarnakan filsafat akan tetapi juga tasawuf. Tidak dipungkiri bahwa beberapa karangan buku-buku beliau bernuansakan tasawuf, sepertihalnya buku Tasawuf Modern dan Tasawuf Perkembangan dan Pemurnian.
Bagi Hamka yang sebelumnya belajar dan bergejolak akan pergerakan Islam menyatakan bahwa orang yang belajar tasawuf bukanlah yang karam dalam khalwatnya, dengan pakaian sufi tapi tidak peduli apa-apa, tidak menangkis serangan, dan merasa lezat dalam kesunyian tasawufnya sendiri.
Tasawuf dan gerakan zuhud yang demikian adalah bukan dari pembelajaran Islam, karena semangat Islam merupakan semangat perjuangan (Hamka, 2017). Hal ini menerangkan bahwa materi itu juga dibutuhkan untuk hidup dan membantu perjalanan menuju kebahagiaan.
Sebuah teori menarik tentang bahagia dari filsafat Stoa. Biasanya bahagia yang kita pahami adalah keadaan senang dengan hati yang tenang dan damai, akan tetapi filsafat Stoa mengusung kebahagiaan adalah situasi di mana tidak ada lagi gangguan. Menurut kaum Stoa bahagia adalah ketika terbebas dari emosi dan perasaan yang mengganggu.
Emosi negatif atau yang mengganggu di sini didefinisikan dengan pikiran atau rasio yang keliru atau salah menilai. Sehingga kunci mencapai kebahagiaan adalah mengindari nafsu tidak jelas, kecanduan zat yang merusak, dendam, angkara murka, rasa kesal, dan emosi-emosi negatif yang lain (Manampiring, 2019).
Pikiran keliru akan menghasilkan emosi negatif dan mengganggu jalan menuju kebahagiaan. Maka pikiran atau rasio ini perlu diluruskan dan dilatih agar menjadi emosi yang positif (Manampiring, 2019). Hal ini sejalan dengan pemikiran Hamka bahwa perlu ikhtiar pikiran dan ikhtiar kerja yang mesti diusahakan dan dipelajari agar mencapai keutamaan otak dan keutamaan budi.
Kesempurnaan budi dan otak ini perlu untuk mencapai kesempurnaan ibadah dalam Agama. Pikiran adalah yang membanding dan menimbang, sedangkan Agama adalah yang merentangkan jalan (Hamka, 2017). Jalan yang dimaksud disini adalah jalan menuju kebahagiaan.
Menurut Hamka jalan untuk menuju bahagia bisa mudah, bisa juga sulit. Banyak ahli filsafat dan tasawuf yang mendefinisikan tentang bahagia dan jalan menuju bahagia. Tapi bagi Hamka jalan untuk menuju bahagia adalah Agama. Agama menjadi jalan yang pendek dan mudah, akan tetapi perlu juga diketahui bahwa banyak juga rintangan atau durinya. Maka tidak sulit mencapai bahagia manurut Hamka jika sudah tercapai empat perkara. Empat perkara tersebut yakni sebagai berikut:
Definisi Bahagia ala Hamka
Pertama, I’tikad. Berarti ikatan, dalam bahasa Indonesia berarti suatu tekad. Orang yang beri’tikad adalah yang berpikir, kemudian kesimpulan dari pikirannya adalah i’tikadnya. Pendapat yang timbul bukan dari pertimbangan pikir dan masih dengan taklid buta belum dikatakan i’tikad.
Kedua, yakin. Yakin adalah lawan dari ragu-ragu. Yakin menjadi sifat ilmu yang ketiga setelah ma’rifat dan dirayat. Ma’rifat berarti tahu, dan dirayat berarti dialami. Ilmu yang timbul dari pendapat yang lahir setelah mengetahui dalil adalah Ilmul Yaqin. Kemudian diujikan akan timbul Haqqul Yaqin, setelahnya disaksikan sendiri akan menuju Ainul Yaqin. Yakin tidak hanya timbul dari pintu yang lahir, akan tetapi didorong juga dari yang batin (Hamka, 2017).
Ketiga, Iman. Iman berarti percaya. Iman dapat tumbuh subur di dalam hati dan mesti terhindar dalam hati sifat-sifat takabut, hasad, dan mencari kemegahan.
Keempat, Agama. Agama merupakan hasil dari kepercayaan yang ada dalam hati, ibadah yang timbul akibat i’tikad, dan menurut serta patuh karena iman yang ada dalam hati (Hamka, 2017).