Feature

Hamka, Laku Hidup yang Selalu Diteladani

3 Mins read

Pengkerdilan terbesar bagi manusia adalah membiarkan tubuh yang jernih dan sehat berdiam diri dan melakukan istirahat sebelum lelah. -Hamka-

Hamka, hilir mudik perjalanan telah ia susuri dari menjadi seorang konsul Muhammadiyah, Wartawan, Sastrawan, Ulama, Tokoh Pejuang yang juga aktif di partai politik, yang akhirnya berujung pada hal yang tidak kita bayangkan sebelumnya, nama yang mentereng membawa ia pada tuduhan fitnah yang keji. Tapi semua itu ia lewati dengan laku hidup yang kontemplatif (baca: Reflektif) sehingga bisa melahirkan karya-karya yang monumental.

Hamka adalah tokoh kontemplatif bagi bangsa Indonesia. Kenapa ia saya beri label seperti itu, karena kalau kita menggunakan terminologi atau paradigma bahwa kontemplatif adalah perenungan, berpikir jernih, dan dalam melakukan satu keputusan dengan pertimbangan yang matang. Maka itulah Hamka.

Hamka bukan tokoh yang flamboyan, tapi ia adalah tokoh yang reformis tanpa menghitung laba untung rugi, yang tercermin pada sifat dan cara pikir sebagian dari para pemimpin bangsa hari ini.

Hamka selalu menjadi tokoh yang indah dan menakjubkan dalam kacamata saya, bergerak dalam kesenyapan namun dapat mengorganisir massa dengan ribuan juta. Hamka bagi masyarakat melayu adalah Icons Pembaharu Islam dengan tangan dinginnya.

Proses yang dilalui hamka bukan hanya proses kaleng ikan sarden (Baca: Instan). Kenapa seperti itu? jawabannya adalah perjuangan harus ditegakan dengan lurus lewat hati dan pikiran yang jernih dan semua itu akan terejawantahkan dalam kurun dan perjalanan yang panjang dan berliku.

***

Hamka juga selalu menjadi sosok panutan dalam laku hidup dan cara pikir orang Muhammadiyah. Pernah menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar, membawa istri demi menegakan tauhid yang murni dan jelas. Hanya kesungguhan akan nilai tauhid yang mengantarkan Hamka pada titik yang paling teguh, yaitu kebersihan hati karena selalu melakukan refleksi atau bahasa gaulnya evaluasi diri.

Baca Juga  NINO (1): Berkembang Bersama Ranting

Tapi dewasa ini terlihat jelas dan gamblang agama digunakan sebagai sarana politisasi yang bobrok, dan kurang ajar. Kenapa seperti itu? Diakibatkan ketidaklurusan akan niat yang dibawa. Kalau kata salah satu pengamat politik, sudah terjadi jabat tangan di belakang layar atau opsin. Sehingga yang dihasilkan adalah remah-remah, bukan daging wawasan keseriusan untuk membangun bangsa. Agar cara seperti itu tidak terjadi, maka Hamka menggunakan deretan huruf untuk menjernihkan dan menerangkan hal yang gelap itu.

Pandji Masyarakat salah satu surat kabar yang Hamka gunakan sebagai sarana untuk menyebarkan nilai Islam rahmatan lil ‘alamin. Islam yang damai Islam yang berpikir dengan kemajuan, bukan hanya duduk enak di teras rumah dan berpikir akan ada uang atau makna yang jatuh dari langit, karena telah menyebarkan agama.

Malahan kata Hamka, pengkerdilan terbesar adalah membiarkan tubuh yang sehat dan pikiran yang jernih, kepada tubuh yang malas mendahulukan istirahat sebelum lelah dan istirahat sebelum bekerja. Ini merupakan satu kritikan yang pedas Hamka keluarkan kepada para kaum sufi yang waktu itu Hamka pikir sibuk beribadah dan tidak berpikir tentang dunia (dalam artian bagaimana menghidupi diri sendiri dan keluarga).

Padahal kata Hamka Zaid yang dimaksud dalam dunia Tasawuf adalah konsepsi dimana seorang hamba merendahkan diri dan hati kepada Allah, atau simpelnya tidak dan tidak berbuat sombong, bukan merendahkan diri dan berserah diri secara terus menerus. Dari itu pula tulisan seri Tasawuf Modern ia tulis sebagai bentuk untuk meluruskan akan pandangan yang menyimpang tentang dunia.

***

Hamka kalau saya meminjam kalimat dari Muhidin adalah sosok pecinta sejati. Bukan pencinta amatiran, kenapa seperti itu, Hamka dalam membangun Panji Masyarakat di Medan, anak laki-lakinya dipanggil Tuhan tapi apa yang dilakukan Hamka.

Baca Juga  Hal-hal yang "Haram" bagi Penulis

Sedih pasti, karena itu sifat alamiah dari manusia, tapi meronta dan menghakimi Tuhan tidak adil ia tidak lakukan, karena kalau meminjam kata Muhidin Hamkah telah selesai Hamka dengan dirinya. Ia bukan sosok mencintai dengan fisik, tapi ia adalah sosok yang mencinta dengan kedalaman hati dan pikiran.

Cinta yang membebaskan cinta yang memerdekakan diri dari belenggu-belenggu kemunafikan akan wajah yang ditunjukkan aktor dunia.

Tuduhan bukan hanya ia rasakan, tapi fitnah dan penjara ia lalui dengan badan yang mulai ringkih dan kulai. Ia melewati semua fitnah dari koleganya sendiri dengan hati yang lapang, sampai mampu menghasilkan tafsir Al-Quran yang fenomenal.

Kalau dari sesi ini, saya berpikir lewat cara pikir Hamka, bukan tempat yang menentukan kita produktif dan dekat dengan Tuhan, tapi pikiran kita yang menuntun hati dan pikiran untuk bertindak secara adil dan arif.

Menulis laku hidup Hamka tidaklah akan cukup dengan dua lembar kertas A4, tapi kalau meminjam bahasa Al-Qur’an, “seumpama ranting-ranting kami (Baca: Tuhan) jadikan pena, dedaunan kami jadikan kertas dan lautan kami jadikan tintanya untuk menulis karunia dan nikmat dari kami maka sesungguhnya tidak akan cukup”.

Begitu juga dengan Hamka, bukan menyamakan Hamka dengan Tuhan, tapi bagaimana melihat Hamka dengan kacamata yang jernih terbebas dari segala macam dentuman tak berkesudahan. Karena hati Hamka dan jiwa Hamka adalah baja yang harus ditumbangkan dengan semburan api yang memiliki tekanan besar. Tapi apa lah api kalau Hamka adalah airnya.

Air mata adalah garam kehidupan. Bila tak ada air mata, maka gambarlah kehidupan. -Buya Hamka-

Editor: Soleh

Avatar
1 posts

About author
Ikatan Pelajar Muhammadiyah Mahasiswa Universitas Bina Taruna Gorontalo Minat Kajian Politik, Kebudayaan, Filsafat, Sastra
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds