Dewasa ini, pembagian warisan menjadi masalah tersendiri dalam masyarakat. Tentunya hal-hal yang bersangkutan dengan pembagian warisan sudah diatur dan disahkan dalam perundang-undangan Indonesia. Namun, dengan suku-suku dan daerah di Indonesia yang beragam, maka setiap suku atau daerah tentu memiliki aturan tersendiri mengenai kaumnya. Salah satunya suku Minangkabau di Sumatera Barat yang secara khusus memiliki aturan tersendiri mengenai hukum kewarisannya yang tentu saja tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Hukum Adat
Hazairin berpendapat dalam bukunya Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadis (15), bahwa hukum warisan itu mencerminkan suatu sistem kekeluargaan, di mana berlaku sistem keturunan yang Patrilineal atau Matrilineal atau Bilateral. Kekeluargaan ditimbulkan pada prinsipnya karena perkawinan. Untuk mempertahankan bentuk masyarakat yang Patrilineal atau Matrilineal, maka bentuk perkawinan antara laki-laki dengan perempuan haruslah perkawinan seklan.
Eric dalam tulisannya yang berjudul “Hubungan Antara Hukum Islam dan Hukum Adat dalam Pembagian Warisan di Dalam Masyarakat Minangkabau” (Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora dan Seni UNTAR Vol. 3, No. 1 April 2019 hlm. 61-70) menyebutkan sistem hukum waris di Indonesia ada tiga jenis, yaitu Hukum Waris Barat, Hukum Waris Adat, dan Hukum Waris Islam.
Hukum waris di Indonesia belum ada unifikasi (penyeragaman aturan) karena masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai macam etnis (suku), agama, dan adat istiadat yang tunduk kepada masing-masing hukumnya. Dalam hal ini, mengenai masalah waris, masing-masing orang yang terdiri dari berbagai macam etnis (suku), agama, dan adat istiadat tunduk kepada hukum warisnya masing-masing. Oleh karena itu, hukum adat Minangkabau mempunyai asas-asas tertentu dalam kewarisan. Asas-asas itu banyak bersandar pada sistem kekerabatan dan kehartabendaan, karena hukum kewarisan suatu masyarakat ditentukan oleh struktur kemasyarakatannya.
Adat Minangkabau
Adat Minangkabau menganut sistem kekeluargaan Matrilineal, yaitu garis keturunan berdasarkan garis keturunan ibu. Asas-asas hukum waris yang bersandar pada sistem kemasyarakatan Minangkabau adalah asas Unilateral dan asas Kolektif.
Asas Unilateral, yang kewarisannya berdasarkan pada satu garis keturunan, yaitu garis keturunan kekeluargaan ibu (Matrilineal), dan harta warisannya diturunkan dari nenek ke ibu lalu ke cucu perempuan. Asas Kolektif yang berarti bahwa harta pusaka tersebut diwarisi secara bersama-sama, tidak dapat dibagi kepemilikannya tetapi hanya penggunaannya yang dapat dibagi. Sistem kewarisan di Minangkabau menganut sistem kewarisan Kolektif.
Dalam adat Minangkabau, dikenal istilah Harato Pusako atau Harta Pusaka ialah sesuatu yang bersifat material yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang yang jika kematiannya dapat beralih kepada orang lain semata akibat kematiannya itu. Pembagian harta pusaka ada dua, yaitu harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah.
Harta pusaka tinggi merupakan hak bersama seluruh kaum, masing-masing anggota kaum tidak dapat memilikinya secara hak pribadi tetapi dapat mengambil manfaat dari padanya secara hak pakai yang pemakaiannya diatur oleh Penghulu dari kaum itu. Harta pusaka rendah merupakan harta yang diperoleh seseorang melalui proses pewarisan yang asal usulnya jelas atau pasti.
Dua Sistem Warisan
Jadi, apakah hukum kewarisan adat Minangkabau bertentangan dengan hukum Islam? Yelia Nathassa Winstar dalam artikelnya yang berjudul “Pelaksanaan Dua Sistem Kewarisan pada Masyarakat Adat Minangkabau” (Jurnal Hukum dan Pembangunan UI Tahun ke-37 No. 2 April-Juni 2007) menyatakan pasca masuknya Islam, masyarakat Minangkabau melaksanakan dua sistem kewarisan, yaitu untuk harta pusaka tinggi diwariskan dengan sistem kewarisan kolektif-Matrilineal dan untuk harta pusaka rendah diwariskan dengan sistem kewarisan individual-Bilateral.
Dengan ini, hukum adat dan agama Islam di Minangkabau tidaklah bertentangan tetapi agama Islam menyempurnakan adat Minangkabau. Jadi, tidak hanya menganut hukum adat dalam pewarisannya, masyarakat Minangkabau juga menganut hukum Islam dalam hal kewarisan. Karena masyarakat Minangkabau menganut falsafah “adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah”.
Harta warisan atau di Minangkabau disebut dengan Harato Pusako terbagi menjadi dua, yaitu Harato Pusako Tinggi dan Harato Pusako Randah. Harato Pusako Tinggi atau harta pusaka tinggi terdiri dari dua jenis, yaitu pertama benda berwujud yang disebut pusako dan yang kedua adalah harta yang tidak berwujud (Immateril) disebut sako, yang berasal dari ninik atau nenek moyang.
Harta Pusaka Tinggi
Harta yang digolongkan ke dalam harta pusaka tinggi adalah harta yang telah diwariskan secara turun temurun yang biasanya sudah melalui beberapa generasi. Harta pusaka tinggi, Pusako diwariskan dari nenek ke ibu dan dari ibu ke anak perempuannya. Hal ini berupa kekayaan materil atau harta benda yang berkaitan dengan sekelompok kaum seperti tanah, rumah gadang ataupun tanah garapan.
Yang berkuasa terhadap Pusako dalam lingkungan kaum itu secara praktis adalah perempuan tertua dalam rumah gadang, karena dalam sistem kekerabatan matrilineal, ibu tertua itu berkedudukan sebagai kepala keluarga dalam rumah gadang. Sehingga peran laki-laki atau mamak hanya mengawasi penggunaan harta itu.
Harta pusaka tinggi, Sako atau pusaka kebesaran adalah segala kekayaan asal yang tidak berwujud harta tua. Sako merupakan sebuah Gelar kebesaran dalam kaum. Dalam hal ini yang dapat mewarisinya ialah mamak ke kemenakan laki-laki. Harta pusaka tinggi tidak dapat dijual ataupun dibagi-bagi menjadi hak pribadi karena merupakan hak milik kaum, namun dalam hak penggunaannya bisa digunakan bersama-sama oleh kaum tersebut.
Bisa Digadaikan
Namun harta ini dapat digadaikan atas persetujuan ninik mamak dengan alasan: pertama, “Gadih Gadang Balum Balaki” seorang perempuan yang tidak laku (perawan tua) atau belum memiliki suami dan tidak memiliki biaya pernikahan, maka sebagian dari harta pusaka boleh digadaikan untuk keperluan menikah si perempuan.
Kedua, “Mayik Tabujue Ditangah Rumah” apabila ada mayit (orang meninggal) dalam kaum terletak di rumah dan tidak ada biaya untuk menyelenggarakannya, maka harta pusaka boleh digadaikan untuk keperluan penyelenggaraan si mayit.
Ketiga, “Rumah Gadang Katirisan” untuk biaya memperbaiki rumah gadang yang merupakan tempat berteduhnya kaum, maka biaya perbaikan dapat diperoleh dari penjualan harta kaum.
Keempat, “Mambangkik Batang Tarandam” bila gelar Sako belum diwariskan dan apabila hendak diwariskan kepada pewaris maka upacara penyerahan gelar ini di dalam adat dikenal sebagai penghulu, biayanya dapat diperoleh dari penjualan sebagian hak pusako kaum.
Harta Pusaka Rendah
Harato Pusako Randah atau harta pusaka rendah merupakan harta yang masih jelas asal usulnya. Pemakaiannya yang bersifat individual atau hak milik pribadi berbeda dengan harta pusaka tinggi. Pewarisan harta pusaka rendah ini dapat berupa harta pencaharian atau harta bersama milik suami istri yang pembagiannya sesuai menurut ajaran Islam. Ahli waris dari harta pusaka ini adalah para ahli waris sah yang telah disebutkan dalam al-Quran.
Jadi, dalam adat Minangkabau jenis Harato Pusako yang dapat diwarisi dengan pembagian sistem warisan dalam Islam adalah Harato Pusako Randah. Sedangkan Harato Pusako Tinggi dalam pewarisannya sesuai dengan hukum adat itu sendiri.
Editor: Arif