Tajdida

Harlah NU dan Milad Muhammadiyah: Di Atas Keduanya Adalah Ukhuwwah Islamiyyah

1 Mins read

Lima tahun silam, saya tawarkan kepada Gus Siradz ( KH Hasyim Siradjudin), Ketua Tanfidziyah PC NU Kota Batu, untuk memperingati Harlah NU ke-92 di Masjid Gedhe Padhang Makhsyar, tempat saya. Jawaban beliau sungguh menyenangkan. Beliau tersenyum sambil menggenggam tanganku dan bilang, “syukran,” sambil matanya berkaca-kaca.

Dua tahun setelahnya, saat Musyawarah Daerah Muhammadiyah Kota Batu, Gus Siradz adalah undangan yang pertama datang dan terakhir kali pulang. Kami juga naik kereta yang sama, saat kirab bersama Walikota dan Wawali, Ketua DPRD, Kapolresta. Juga Ketua MUI dan para ulama dari berbagai organisasi.

Setahun yang lalu hingga hari ini,  bersama Kiai Abdullah Thahir, Ketua Syuriah NU Kota Batu, bersama kami manggung di sebuah televisi untuk acara rutin ba’da Isya setiap malam Jumat— “Jendela Fatwa.” Kami bahas banyak hal, bahkan soal-soal yang dianggap sangat tabu yang kerap menjadi pembeda dua ormas besar itu. Kami membincang santai dan malah saling ‘mentertawakan.’

***

Entah berapa puluh kali Kiai Abdullah Thahir berkunjung ke rumah dan beberapa kali mengisi kajian. Dan entah berapa puluh yang sama, saya datang berta’dzim, makan tumpeng ingkung di ‘ndalemnya.’ Saya kerap menanyakan beberapa hal yang kebetulan saya belum paham, pun sebaliknya.

Pertalian saya dengan ulama-ulama NU di Kota Batu hampir merata. Saya biasa berta’dzim dan berkunjung kepada Habib Jamal bin Thaha Baaqil, Kiai Munir Fathullah, Kiai Abu Said, dan Romo Kiai Nuryasin Muhtadi, guru dan sahabat ayahku. Pun dengan ketua PWNU Jatim, Kiai Marzuqi Mustamar Nggasek. Dan juga kepada ulama-ulama NU di kota lain.

Tradisi ini juga saya lakukan di Persyarikatan. Kepada para ulama Muhammadiyah dan dzuriyah-nya untuk bersilaturahim. Bagiku, di atas semuanya adalah Ukhuwwah Islamiyyah—persaudaraan, saling membawa hadiah meski sekedar oleh-oleh sarung BHS.

Baca Juga  Pluralitas Indonesia: Harapan atau Ancaman?

***

Apa salahnya Masjid Gedhe menawarkan perayaan Harlah NU, nonton film Jejak Langkah Dua Ulama sambil ngopi bareng. Dan apa rendahnya jika panitia Harlah NU ‘menolak’ dengan halus sebagai tanda ta’dzim, sebagaimana dilakukan Gus Siradz saat menolak tawaran saya. Kami berdua telah membuang ‘aku’ dan menggantinya dengan ‘kita.’

Bukankah para guru dan ulama-ulama panutan kita terdahulu lebih mengutamakan adab dan akhlak karimah, daripada perbedaan dan kebanggaan atas simbol dan atribut? Di atas semuanya adalah Ukhuwwah Islamiyyah.

Editor: Arif

Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds