Oleh: Ali Audah
Saya tertegun membaca esai Hendra Hari Wahyudi (2/2/2020) berjudul, “Apa Saya Masih (Dianggap) Muhammadiyah Sedangkan Saya Merokok?” Beliau adalah seorang guru di MI Lamongan yang menjadi perokok aktif. Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid yang mengharamkan rokok membuatnya bertanya: “Apa saya dan para warga Muhammadiyah yang merokok berdosa ketika tidak ‘menggubris’ fatwa tersebut? Apakah saya (yang perokok) ini masih ‘dianggap’ menjadi bagian dari warga Persyarikatan? Dan, apakah saya masih pantas disebut warga Muhammadiyah sedangkan saya merokok?”
Persoalan fatwa ‘haram merokok’ memang tidak sesederhana fatwa ‘haram makan babi.” Ada banyak aspek kajian teologis, ekonomis, dan sosiologis yang terlibat. Tidak hanya aspek teknis fiqhiyah semata. Saya mantan perokok berat dan bahagia saat bisa berhenti. Saya berdoa, semoga banyak sahabat saya juga bisa berhenti merokok. Tapi saya tahu, fatwa ‘haram merokok’ ini lebih dominan diputuskan oleh mereka yang memang sebelumnya sudah anti merokok. Ini semacam pemanfaatan agama untuk mendukung posisi satu kelompok yang tidak senang dengan kelompok lain.
Hal yang tidak dipedulikan atau tidak disadari oleh para pendukung fatwa ‘haram merokok’ ini adalah bahwa itu dapat menyakiti hati mereka yang berjuang untuk agama dan persyarikatan, namun masih menjadi perokok. Kata ‘haram’ seakan menempatkan mereka pada kelompok yang ‘terbuang’ atau dikucilkan dalam barisan jamaah. Di-bully seakan-akan mereka telah keluar dari agama Islam, bahkan dianggap ahli neraka. Ini tidak bisa dirasakan oleh mereka yang non-smokers dan anti rokok, apalagi jika mereka secara kaku berpegang pada fatwa ‘merokok itu haram.’
Saya sering melihat situasi ini, terutama pada pasangan suami-isteri yang isterinya begitu sengit mencela kebiasaan suaminya, hingga terkadang sang istri lupa untuk menjaga adab penghormatan pada suaminya.
Saya sangat mengerti jika banyak kaum ibu atau isteri yang bersikap anti pada kaum perokok, tak jarang bahkan menjadi salah satu sumber keributan rumah tangga. Dari sudut isteri, mungkin tidak sekedar soal halal-haram, tetapi juga ada pertimbangan khawatir cepat ditinggal mati suami, bau mulut tak sedap, mengurangi jatah uang belanja bulanan, mengganggu kenyamanan di dalam rumah, dan sebagainya. Suami yang egois memang tidak mau tahu keberatan-keberatan semacam ini, sekalipun cucu atau anak bayinya terpapar asap rokok.
Artinya, fatwa haram merokok ini seharusnya tidak berhenti pada ‘bunyi diktum atau putusan’ yang kering narasi. Mungkin ini terdengar aneh. Bagaimana bisa matan putusan hukum harus disertai narasi. Tapi memang persoalan ini tidak selesai dengan menjatuhkan putusan ‘bersalah atau tidak’, ‘halal atau haram.’
Jika perlu, ada model ‘pengandaian atau conditioning’ pada butir putusan. Jadi, kira-kira bunyinya seperti ini:” Dalan hal aktivitas merokok ini tidak mengganggu kesehatan dan kenyamanan sang perokok dan orang di sekitarnya, maka hukum merokok menjadi mubah atau halal.”
Editor: Nabhan